Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".
"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
AUTHOR POV
Pagi di Pondok As-Syafir terasa berbeda hari ini. Udara yang biasanya hanya membawa aroma kayu dan tanah basah, kini mengandung rasa gugup yang sulit dijelaskan. Langit Jogja cerah, tapi di hati beberapa orang, ada mendung yang sedang menepi.
Di ruang tamu utama, karpet merah tua sudah digelar. Teh melati mengepul dalam gelas bening. Keluarga Athalla sudah duduk rapi Ahmad Fadlur Athalla dan Dania Rahmawati, duduk berdampingan dengan senyum hangat namun gugup. Di hadapan mereka, duduklah Kyai Ahmad Syafi'i, dengan istrinya, Bu Nyai Fira Adinda, dan di sampingnya...ada Amira.
Gadis itu menunduk. Gamis putihnya jatuh anggun hingga menutupi mata kaki.Wajahnya tersenyum samar, tapi ekspresinya tetap datar. Jari-jarinya saling menggenggam erat di atas pangkuan.
“Zayn sedang dipanggil ya, Kyai,” ucap Dania pelan.
Kyai mengangguk, “Dia sedang bersiap. Mohon dimaklumi kalau dia belum tahu secara utuh.”
Dania tertawa kecil, “Justru itu, kami ingin dia tahu langsung... dari hati ke hati.”
ZAYN POV
Gue dipanggil Yusuf ke aula tamu. Katanya, ada orang tua gue datang. Gue kaget. Deg-degan. Kenapa gak bilang duluan?
Gue pakai koko putih yang agak longgar, sarung yang baru disetrika Falah tadi pagi. Gue jalan pelan ke aula. Langkah gue kayak ditarik-tarik bayangan masa lalu.
Pas gue sampai, pintu aula terbuka.
Dan...
Mereka di sana.
Bokap. Nyokap. Kyai. Dan...
Amira.
Gue beku di ambang pintu.
AUTHOR POV
Tatapan Zayn dan Amira bertemu sepersekian detik sebelum keduanya menunduk bersamaan. Udara di antara mereka bukan dingin, tapi penuh rasa canggung yang belum sempat dirangkai dalam kata-kata.
“Zayn, Nak. Duduk sini dulu,” ucap Fadlur, ayah Zayn, sambil menepuk lantai kosong di dekatnya.
Zayn berjalan pelan dan duduk. Ia mencuri pandang pada gadis di seberangnya. Amira juga mencuri pandang. Tapi tak satu pun dari mereka bicara lebih dulu.
“Jadi begini...” Kyai Syafi'i memulai, dengan suara lembut tapi penuh makna. “Kalian berdua mungkin sudah menduga... atau setidaknya merasa ada yang ingin kami bicarakan hari ini.”
Amira menunduk. Zayn menggenggam ujung sarungnya.
“Kita mau bahas soal perjodohan kalian berdua,Zayn dan Amira,” lanjut Kyai. “Karena Kakek Zayn berharap, kelak cucunya dapat bersanding dengan cucu sahabat lamanya. Dan itu... adalah Amira.”
"Dan semoga kita bisa secepatnya menentukan tanggalnya." ucap Kyai Syafi'i
ZAYN POV
Gue ngangkat kepala pelan. Gue tatap wajah bokap. Dia angguk. Nyokap senyum kecil sambil usap tangannya sendiri. Kyai bicara pelan, tapi kata-katanya masuk sampai dada.
“Gue udah duga,apa gue siap?”
Itu kalimat pertama di kepala gue. Tapi anehnya, gak ada rasa marah. Gak ada rasa pengen kabur. Gue justru bingung karena gue... gak keberatan.
Gue lirikin Amira. Dia masih tunduk. Tapi gue lihat tangannya gemetar sedikit. Wajahnya kalem. Tapi ada sesuatu di matanya. Kayak... cahaya kecil.
AMIRA POV
Suara Ayah terdengar jauh. Padahal aku duduk di sampingnya. Rasanya seperti mimpi, tapi aku gak berani mencubit diri sendiri.
Aku hanya bisa menunduk. Tapi aku mendengar degup jantungku sendiri cepat, nggak karuan. Aku tahu Zayn duduk di seberang. Aku bisa mencium samar aroma sabun cuci dari baju koko putihnya.
"Amira," suara Umi pelan, "Kamu nggak dipaksa. Kami hanya membuka pintu, tapi yang melangkah tetap kalian berdua."
Aku angkat kepala sedikit, menatap bunda... lalu Ayah... dan akhirnya... Zayn.
Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, aku berani menatap dia.
“Kalau ini takdir, semoga Allah pelan-pelan tenangkan hatiku.” ucap batinku.
ZAYN POV
Dia lihat gue. Dan mata gue, gak bisa pindah dari dia.
Nggak ada senyum. Nggak ada kata.
Tapi tatapan itu bilang: “Aku juga nggak siap, tapi aku mau belajar.”
Dan gue ngerasa... kalau tangan gue dan dia lagi-lagi, ditarik takdir.
AUTHOR POV
Percakapan sore itu tak banyak. Tak ada pertanyaan tentang tanggal pernikahan. Tak ada janji-janji manis. Hanya pembicaraan ringan tentang masa depan, tentang proses mengenal lebih jauh, tentang saling menjaga jarak dengan rasa.
Mereka berdua diminta berbicara sebentar di taman belakang pondok, hanya berdua. Tapi dalam jarak aman.
Zayn duduk di bangku batu. Amira berdiri tak jauh dari pohon.
“Gue... gak nyangka ini akan terjadi,” ucap Zayn, pelan.
Amira angkat bahu sedikit. “Aku juga Zayn.”
Zayn senyum kecil. “Tapi kalau lo mau sabar... gue juga mau belajar sabar.”
Amira balas senyum. “Aku gak buru-buru, Zayn. Tapi kalau kamu berusaha... aku akan berdoa supaya kita dipermudah.”
Di langit Jogja, matahari mulai tergelincir. Tapi di dalam hati dua anak muda itu, matahari baru saja terbit. Perlahan. Tapi pasti.
Perjalanan belum selesai. Tapi hari ini, sebuah pintu telah dibuka.
Bukan pintu rumah.
Tapi pintu kepercayaan.
To Be Continued...🫶✨️