Setelah enam tahun menjalani hubungan jarak jauh, Raka dan Viola kembali dipertemukan. Namun cinta tak selalu berjalan mulus, mereka harus menghadapi tantangan dan rintangan yang menguji kekuatan cinta mereka.
Apakah cinta mereka akan tetap kuat dan bertahan, ataukah jarak akan kembali memisahkan mereka selamanya?
"Nggak ada yang berubah. Love only for you, Viola. Hanya kamu..." ~Raka.
🍁🍁🍁
Novel ini merupakan Sequel dari novel yang berjudul 'Sumpah, I Love You'. Selamat menyimak dan jangan lupa tinggalkan jejak. 😇😇😇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : LOFY
"Uuhhuukkk..."
Semua orang menoleh ke arah Viola, termasuk Raka. Dia kembali berdiri dengan tegak dan melangkah cepat, menarik dua lembar tisu yang ada diatas meja dan berjongkok di hadapan gadis itu.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, mengambil alih gelas ditangan Viola dan meletakkannya di atas meja, lalu mengelap ujung bibir Viola dengan tisu.
"Aku nggak apa-apa kok." Viola tersenyum, ingin menunjukkan jika dia baik-baik saja. "Kamu lanjut aja, aku tunggu sini."
Raka melirik Alina sekilas sebelum menjawab, "Bentar ya, nggak lama kok. Habis ini kita pulang."
Viola mengangguk, melihat Raka kembali berdiri dan berjalan menghampiri Willy kembali. Lalu dia menoleh pada Alina yang duduk di sampingnya, ikut menyenderkan tubuhnya pada punggung sofa.
"Lalu... Raka jawab apa?" tanya Viola santai. Dia ingin menunjukkan sisi dewasanya didepan Alina ketika mereka mulai terlibat obrolan yang serius.
Alina tersenyum simpul, "Dia bilang..." rautnya berubah mendung saat melihat cincin yang tersemat di jari manis Viola, sama persis seperti cincin yang selalu dipakai oleh Raka. "Sudah nggak ada tempat lagi."
"Hanya itu?" tanya Viola, tatapannya penuh rasa bangga.
Alina mengangguk, kembali menatap lurus kedepan, mengunci pandangannya pada wajah Raka. Ingatan dua tahun lalu kembali berputar di isi kepalanya. Empat tahun dia memendam perasaan, hingga akhirnya dia berani menyatakan, tapi berakhir dengan penolakan.
"Dia terlalu istimewa jika hanya untuk dijadikan kenangan, lebih baik dipertahankan." Alina kembali menoleh. "Itu yang Raka bilang."
"Kamu beruntung, Vio." Alina tersenyum samar. "Dia begitu setia. Dan dia juga sedang mengupayakan banyak hal buat kamu, buat masa depan kalian."
Keningnya mengernyit, rasa penasaran kembali menghinggapi. "Heeh... maksudnya?"
Alina tertawa kecil, menepuk pundak Viola pelan. "Bukan aku yang harus cerita, tapi waktu yang akan menjawab. Nanti kamu juga akan tahu sendiri jawabannya."
Kepalanya masih dipenuhi dengan begitu banyak pertanyaan, sementara Alina sudah beranjak bangun menghampiri Raka dan Willy. Disisi lain Boy yang sejak tadi sibuk mencari barangnya yang hilang akhirnya berhasil menemukannya setelah mengubek-ubek tempat sampah.
"Sial, jadi lecek kan!" gumamnya sendiri sambil mengusap-usap foto dirinya bersama seorang gadis. "Kalau ada foto ini kan Angela percaya kalau gue masih cinta sama dia dan mau diajak balikan."
Hampir satu jam mereka berada di ruangan kantor, setelah urusannya selesai mereka kembali turun. Willy sudah siap dengan mobilnya, disusul oleh Boy dan Alina yang ikut naik setelah mereka berpamitan pada Raka dan Viola.
Raka menoleh ke arah Viola setelah melihat mobil yang dikemudikan Willy pergi. "Kamu baik-baik aja?"
"Baik, kenapa?" memiringkan kepalanya, memberikan senyuman hangat.
"Alina cerita sesuatu?" tanyanya selidik.
Viola menggeleng cepat, "Nggak kok, cuma ngobrol-ngobrol biasa aja."
Raka mengangguk mengerti, sepertinya Alina memang tidak cerita apa-apa, buktinya Viola tidak menunjukkan ekspresi yang bagaimana. Jika ada sesuatu yang mengganggu hatinya, Viola pasti akan menunjukkan ekspresi yang berbeda dan berwajah masam dihadapannya.
"Kita pulang. Atau kamu masih mau mengunjungi tempat lain dulu?" tanya Raka.
"Nggak." Viola menggeleng. "Kita pulang aja, aku udah capek."
"Oke, cantik."
Begitu melihat Raka berbalik, Viola langsung menghamburkan diri, memeluk Raka dari arah belakang. Sejenak keheningan menguasai, hembusan angin malam bahkan mereka abaikan, seolah hawa dingin yang menyeruak malam itu tidak terasa sama sekali. Hanya debaran jantung yang begitu mendominasi.
"Punggung ini... sekarang terlihat lebih lebar... Lebih hangat... dan lebih nyaman." ucapnya pelan, namun tetap terdengar sampai ke telinga Raka.
"Raka... Makasih ya."
"Makasih?" tanyanya ulang. "Makasih buat apa, cantik?"
"Buat semuanya... Buat enam tahun ini, karena kamu tetap bisa menjaga hati kamu buat aku." sudut bibirnya melengkung, membentuk sebuah senyuman tipis. "Selama ini aku selalu takut, takut kamu akan berbelok... Dan hati kamu sudah tidak ada disana lagi."
Raka tersenyum, menoleh sedikit kebelakang. "Boleh lepas dulu pelukannya? biar aku bisa lihat wajah kamu."
Viola melonggarkan pelukannya, melihat Raka berbalik dan menatapnya. Merasakan tangan Raka menyentuh rambutnya yang tergerai, merapikannya kebelakang.
"Nggak ada yang berubah. Love only for you, Viola. Hanya kamu..."
Kalimat itu terdengar seperti janji, komitmen, perasaan yang kuat tapi dalam.
Malam yang belum begitu larut, terdengar suara beberapa kendaraan yang sedang berlalu lalang, sementara langit cerah dengan banyak bintang bersinar terang. Tatapan mereka saling mengunci dalam diam, ada perasaan lega sekaligus senang.
"Kita pulang?" tanya Raka, memastikan lagi.
Viola mengangguk, menerima uluran tangan Raka, mereka berjalan ke arah mobil yang terparkir tidak jauh dari sana. Setidaknya dia sudah tidak begitu penasaran dengan Alina, justru malam ini dia merasa bahagia setelah mendengar pengakuan dari gadis itu.
-
-
-
"Diannnn...!!!"
Suara bariton seorang pria terdengar memekak telinga. Langkahnya lebar, penuh ambisi. Tatapannya seperti api yang siap membakar. Pria berkumis tebal dan perut yang membuncit seperti bola itu menghampiri meja kerja Dian, menggebrak mejanya dengan keras.
"Mana Vio??? Ini sudah lima hari dia bolos! Mau dipecat apa gimana, hah?!!"
"Eh, Pak bos." Kedua sudut bibirnya melengkung, memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang rata. "Sabar Pak, sabar... Kalau marah-marah nanti perut Bapak yang seksi ini bisa kempes seperti balon meletus."
Pria berjas hitam itu menahan napas, masih berusaha untuk sabar. "Saya sedang tidak bercanda Dian! Mana Viola? Suruh dia masuk besok!!!"
Dian menarik kursinya mundur, berdiri dengan senyuman yang terlihat garing. "Vio kan cuti, Pak. Bapak sendiri kan yang acc waktu itu."
"Kapan Saya acc'nya?" Pria itu, Pak Bambang, yang menjabat sebagai salah satu manajer di kantor itu nampak geram. "Kalian yang memaksa Saya tanda tangan, dengan iming-iming pizza lima box."
Dian menahan tawa, menutup mulutnya dengan tangan, lalu kembali berkata. "Ya tapi kan Bapak makan juga pizza nya, sampai habis lagi. Masa mau Bapak muntahin lagi."
Menahan napas, Pak Bambang berkacak pinggang dan terlihat mengerutkan kening, seperti sedang berfikir keras. "Oke, begini saja. Besok Vio harus sudah masuk kerja, kalau tidak nanti Saya pecat."
"Mana bisa begitu, Pak." protes Dian. "Vio kan masih di London. Tidak mungkinlah besok bisa masuk. Gimana kalau Bapak kasih waktu sedikit lagi. Lima hari, bagaimana?"
"Kelamaan!" tolak Pak Bambang tegas, tidak setuju. "Dua hari. Ini sudah murni kebijakan dari Saya karena Saya sudah memakan pizza dari kalian. Nanti kalau dari atasan nanya kan Saya bingung juga jawabnya."
Pria itu pergi meninggalkan ruangan staff dan kembali ke ruangannya tanpa ingin mendengar protes lagi. Sementara Dian memijat-mijat pelipisnya yang pusing, menjatuhkan tubuhnya duduk kembali diatas kursi, menarik napas panjang, terlihat pasrah.
"Kan... Gue lagi yang kena."
...♥️♥️♥️...
.covernya kelar juga akhirnya👏👏
aaah bapak nya Raka pasti ini...
pengen sleding si papa 😠😠😠😠😠
so sweet 😍😍😍😍
sosor terus Raka, tunjukan klo di hati kamu hanya Viola satu satu nya...
kalian udah sama sama dewasa bukan anak SMA lagi yang marahan atau ada masalah malah lari...
hadapi bersama sama... apalagi masalah si Arman itu,selagi Raka gak berpindah hati pasti kamu tetap satu satu nya Vio