Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4.
Jeni gelagapan mendengar ucapan Adam.
'darimana Bang Adam tau uang itu? Itu kan uang hasil nilep dari Mas Bima. Duh, nggak bisa di biarin,' batin Jeni.
"Kamu dapat darimana uang itu, Jen? Itu banyak banget loh. Apa jangan-jangan kamu punya usaha sendiri kayak di tivi-tivi itu ya, diem-diem punya usaha nanti pas suaminya susah tiba-tiba ngasih bantuan banyak. Ya Allah, Abang bersyukur banget kalo misal beneran, Jen." Adam menatap Jeni nanar.
Adam yang terlalu bucin dengan Jeni bahkan sampai tidak menyadari kalau istrinya kini tengah berbagi tubuh dengan pria lain di belakangnya. Adam terlalu percaya apapun yang di katakan Jeni sampai melupakan logika. Padahal Jeni hanya menjadikan Adam sebagai tameng agar kelakuan minusnya tak di endus banyak orang.
"Tcih! Ngapain aku segala harus kerja dan ngasih bantuan buat kamu, Bang? Kalau pun aku punya uang ya itu semua punya aku, ga ada itu bantuan-bantuan segala apalah. Mau uang itu ya kerja! Jangan manja! Udahlah, nggak usah bahas yang bukan hak kamu, Bang. Sekarang ini kamu pikirin aja caranya cepet kasih uang banyak ke aku karna itu kewajiban kamu, nggak ada hubungannya sama uang yang aku punya. Udah ya, aku mau lanjut tidur" Jeni berjalan meninggalkan Adam seorang diri di ruang tamu.
Brakk
Pintu kamar yang hanya terbuat dari kayu itu terhempas di belakang punggung Jeni.
Adam terjingkat, mengelus dada dan beristighfar berulang kali.
"Dih, bisa-bisanya dia bahas uang ku. Dimana ya uang istri ya uang istri, yang suami ya tetep uang istri! Dasar laki-laki miskin nggak guna. Mana kerjanya cuma jualan nasi goreng, bau asap, bau bawang, duitnya dikit lagi!"
Jeni memperhatikan kuku jari tangannya yang tampak cantik sehabis menipedi, kemudian dengan santai dia berjalan menuju tempat tidur.
Sraatt
Jeni menarik bantal miliknya dan terpampanglah berlembar-lembar uang kertas merah di sana.
"Ahahahha, untung aja aku pinter. Semua uang dari Mas Bima bisa aku amankan di sini, yah biarpun si bodoh itu udah tau nggak bakalan sih dia mau ngambil uang aku. Ya itu tadi, dia kan bodoh hahaha," tawa Jeni menggelegar di kamar itu.
Jeni meraup uang itu dan menghamburkannya di atas kepalanya.
"Ahahaha, sekarang ... hanya tinggal menunggu. Setelah Mas Bima memenuhi janjinya sama aku, aku bakalan punya lebih banyak dari ini. Dan akan ku tendang keluar si culun Sarah itu dan suami gak berguna ku itu."
Jeni merebahkan tubuhnya di atas kasur. "Ahhh, indahnya hidup kalau bergelimang harta begini. Dan Mas Bima pasti bisa kasih semua itu buat aku."
Sementara itu di luar kamar, Adam hanya bisa mengelus dada melihat kelakuan Jeni yang semakin hari semakin tidak menghargainya sebagai suami.
Kruukkk
Perut Adam berbunyi nyaring, hanya bisa menahan sabar saat pergi ke dapur dan tak mendapati apapun di sana. Hanya ada sebuah kotak bekas ayam goreng kepci yang sudah kosong, beserta gelas plastik dengan merk minuman Boba terkenal.
"Ya Allah," lirih Adam sedih.
Sejak menikah hingga sekarang, Jeni sama sekali tak pernah mengurusnya. Biasanya hanya menyiapkan makanan saja dia sudah mengomel sepanjang waktu. Bersih-bersih rumah pun jarang, selalunya Adam lah yang akan turun tangan membersihkan seluruh rumah sebelum atau sepulang berjualan.
Adam beranjak ke luar rumah, mengambil termos nasi goreng yang tadi dia bawa dari gerobaknya. Memang Adam berjualan menetap, jadi dia hanya perlu membawa pulang termos berisi nasi saja, sisa barang lainnya dia tinggalkan di gerobaknya.
Sreenggg
Adam memanaskan lagi sisa nasi goreng yang ada di dalam termos, dan menuangnya ke piring untuk dirinya sendiri karna hanya itu yang bisa dia makan untuk mengganjal perutnya yang lapar.
"Hah, Alhamdulillah kenyang. Terima kasih ya Allah," gumam Adam dengan senyum mengembang di bibirnya.
Setelahnya Adam bergegas langsung mencuci piring bekas makannya dan di lanjutkan dengan mencuci pakaian dan membersihkan seluruh rumah.
Adam memulainya dari sebelum subuh, berhenti sebentar untuk sholat subuh dan di lanjutkan lagi sampai matahari naik menyinari bumi.
Adam sedang menjemur baju-baju yang sudah di cucinya saat Jeni keluar dari rumah dan duduk santai di teras yang baru saja di pel Adam.
"Hati-hati, Sayang. Lantainya licin, barusan Abang pel," ujar Adam dengan senyum manisnya yang tulus.
Jeni mencebik. "Iya, iya, di kira aku anak kecil apa? Nggak bisa bedain lantai kering sama lantai habis di pel? Lagi pula kamu itu ngapain sih, Bang? Segala semua urusan rumah kamu kerjain, kamu mau di cap suami teladan gitu? Biar semua ibu-ibu di sini ngehujat aku karna nggak pernah bebersih rumah?" Jeni berucap ketus dan menghempaskan tubuhnya di kursi teras.
Adam mendesah berat mendengar makian Jeni yang sebenernya hampir setiap hari terdengar memekakkan telinga. Tapi walaupun begitu dia sama sekali tak tergugah untuk mulai mengerjakan tugas rumah selayaknya seorang istri, hanya mengomel dan tetap membiarkan Adam mengerjakan semuanya dan akan kembali menyalahkan Adam setelahnya.
Setelah semua baju yang harus di jemurnya habis dan berpindah ke tiang jemuran dengan rapi, Adam gegas kembali ke rumah.
"Mau ngapain lagi kamu, Bang?" tanya Jeni sambil menyapukan bedak setebal aspal jalanan ke wajahnya.
Adam berhenti dan kembali menyunggingkan senyum tipisnya. "Mau ke dalem, nyaiapin bahan buat jualan."
Jeni melirik sekilas. "buatin sarapan sekalian buat aku, Bang. Aku laper."
Adam mengangguk tanpa menjawab apapun, baginya Jeni pulang ke rumah dan selalu ada saja sudah cukup bagi Adam. Dia tau Jeni sejak dulu tak mencintainya, dia terpaksa menikah dengan Adam karna di jodohkan.
Orang tua Jeni mempunyai hutang yang cukup banyak dengan pemilik panti asuhan tempat Adam dulu di besarkan, Jadi setelah Adam cukup umur pemilik panti meminta orang tua Jeni yang miskin dan kekurangan untuk menikahkan Jeni dan Adam saja sebagai penebus hutang-hutang mereka.
Dan itu jugalah, yang menjadi sebab musababnya hingga saat ini Adam tak pernah protes walau Jeni memperlakukannya layaknya babu di rumah itu. Adam merasa bersalah karna sudah merebut hidup Jeni dengan menikahinya. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanya mengikuti kemauan pemilik panti yang sudah berbaik hati padanya.
"Bang! Cepetan dong! Masa bikin sarapan aja lama banget sih?" omel Jeni sambil berjalan masuk ke dapur masih dengan semua alat make up di tangannya.
Adam yang sedang mengaduk nasi goreng di wajan berbalik. "Iya, sebentar ya. Ini sebentar lagi siap."
Jeni mendekati Adam dan membelalakan matanya melihat isi wajan tersebut.
"Kamu mau kasih aku makan ini? Nasi goreng lagi? Kamu ngerti nggak sih, Bang kalo aku tuh bosen tau nggak makan nasi goreng terus?"
Praangggg
"Astaghfirullah!" Adam terjingkat menjauh, saat semua nasi goreng yang dia siapkan sekaligus untuk modal berjualan kini berhamburan di lantai dapur.
"Astaghfirullahaladzim," lirih Adam sembari menatap Jeni dengan mata basah.