NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:387
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Istana Tanpa Senyum

Sudah tiga hari sejak pesan dari kerajaan utara datang, tapi suasana di istana belum juga tenang.

Semua orang berjalan lebih cepat, berbicara lebih pelan, dan menatap langit dengan gelisah seolah hujan berikutnya akan membawa malapetaka.

Aku mulai terbiasa dengan dunia ini — dengan pakaian kimono yang terlalu panjang, sandal kayu yang selalu membuatku hampir jatuh, dan makanan yang kadang aneh tapi enak.

Tapi yang belum terbiasa adalah atmosfer di istana ini.

Tenang… tapi terlalu tenang, seperti ketenangan sebelum badai.

Yuna, dayang yang paling cerewet sekaligus temanku di sini, datang pagi-pagi membawa baki berisi bubur kacang merah.

“Ini untuk sarapan, Nona Mika!” katanya ceria.

“Terima kasih, Yuna.”

Dia duduk di depanku, wajahnya seperti ingin gosip.

“Dengar-dengar, Pangeran Akira menolak tawaran perdamaian dari utara.”

Aku mengerutkan dahi. “Aku pikir mereka gak minta damai?”

“Awalnya iya. Tapi surat kedua datang kemarin malam.”

“Dan?”

“Mereka menawarkan gencatan senjata, dengan satu syarat: Pangeran harus menyerahkan Putri dari Dunia Lain.”

Sendok kayu di tanganku berhenti. “Putri dari Dunia Lain?”

Yuna mengangguk. “Mereka bilang ada wanita asing dengan kekuatan aneh yang mengacaukan keseimbangan kerajaan.”

Aku menatap buburku, kehilangan selera. “Jadi… mereka bicara tentang aku?”

“Sepertinya iya.”

Aku tertawa kecil, tapi suara itu terdengar hampa. “Hebat juga, baru beberapa minggu di sini, aku sudah jadi masalah diplomatik.”

Yuna menggigit bibir. “Kau harus hati-hati, Mika. Orang-orang mulai… membicarakanmu.”

Aku menatapnya. “Membicarakan apa?”

“Katanya kau membawa nasib buruk. Hujan datang bersamamu, perang pecah setelah kau muncul.”

Aku menghela napas panjang. “Orang selalu cari kambing hitam, bahkan di dunia ini rupanya.”

Yuna menatapku prihatin. “Kau tidak marah?”

“Marah? Sedikit. Tapi lebih capek sih.”

Sebelum aku sempat lanjut makan, pintu kamar terbuka.

Aiko berdiri di sana, membawa gulungan kain dan tatapan yang tidak ramah.

“Yang Mulia ingin bertemu,” katanya datar.

“Sekarang?”

“Sekarang.”

Aku menatap Yuna, yang terlihat khawatir.

“Tenang,” kataku pelan. “Aku bukan penjahat… aku pikir.”

Ruang pertemuan istana luas dan penuh aroma dupa. Di tengah ruangan berdiri Akira, mengenakan jubah hitam dengan sabuk merah, sementara di sisi kirinya berdiri Permaisuri Mei — cantik, lembut, tapi matanya tajam seperti pisau tersembunyi.

Aku menunduk sedikit. “Yang Mulia memanggil saya?”

Akira menatapku beberapa detik tanpa bicara.

“Duduk,” katanya akhirnya.

Aku duduk di atas tatami, mencoba menjaga sikap.

“Surat dari utara sudah sampai lagi,” katanya pelan. “Kali ini, mereka menyebut namamu dengan jelas.”

“Kalimat pastinya?”

“‘Serahkan wanita asing pembawa badai, maka hujan akan berhenti.’”

Aku tertawa sinis. “Wah, jadi aku penyebab cuaca sekarang?”

Permaisuri Mei menatapku tajam. “Kau muncul saat petir menyambar, Mika. Bagi rakyat, itu pertanda buruk. Dan sejak itu, hujan tak berhenti, perang pecah, penyakit merebak.”

Aku menatap balik, menahan diri untuk tidak melawan. “Dan kalau aku pergi, semua akan membaik?”

“Kadang, pengorbanan satu orang bisa menyelamatkan banyak jiwa,” katanya lembut, tapi suaranya dingin.

Ruangan jadi sunyi.

Aku menatap Akira — mencari sedikit pembelaan, tapi wajahnya datar.

“Jadi begitu,” kataku pelan. “Kalian ingin menyerahkan aku?”

Ia menghela napas. “Aku tidak akan menyerahkan siapa pun ke tangan musuh tanpa alasan. Tapi aku butuh waktu. Istana… tidak percaya padaku sepenuhnya.”

Aku menatap matanya. “Tapi kau sendiri, kau percaya padaku?”

Tatapan itu bertemu — abu-abu dan coklat, dingin dan panas.

“Kalau aku tidak percaya, kau tidak akan duduk di sini,” jawabnya singkat.

Setelah pertemuan itu, aku keluar dari aula dengan kepala penuh tanya.

Di koridor, Aiko berjalan di belakangku. Suara langkah kami bergema.

“Jangan terlalu percaya pada belas kasih istana,” katanya tiba-tiba.

Aku menoleh. “Maksudmu?”

“Kadang mereka tersenyum sambil menyiapkan racun.”

Aku mengerutkan kening. “Kau bicara tentang siapa?”

“Semua orang.”

Dia berlalu tanpa menoleh lagi.

Aku berdiri lama di koridor itu, merasa udara tiba-tiba lebih berat dari sebelumnya.

“Istana tanpa senyum,” gumamku. “Terlalu banyak wajah, terlalu sedikit hati.”

Hari-hari berikutnya berjalan aneh.

Prajurit sibuk memperkuat benteng, tabib sibuk menyiapkan ramuan, tapi di antara semua kesibukan itu… aku merasa diawasi.

Beberapa pelayan berhenti bicara saat aku lewat, dan ada bisik-bisik yang selalu berhenti setiap kali aku muncul.

Malamnya, aku duduk di taman, mencoba menghirup udara bebas.

Langit gelap tapi tanpa hujan. Hanya bintang-bintang yang malu-malu muncul di balik awan.

Suara langkah kaki terdengar. Aku menoleh — Akira datang, sendirian.

“Masih terjaga?” tanyanya.

“Aku lebih suka udara luar daripada tatapan curiga di dalam istana.”

Dia duduk di sampingku, menatap kolam.

“Mereka takut pada apa yang tidak mereka mengerti.”

“Dan kau?”

“Aku juga tidak mengerti,” katanya jujur. “Tapi aku tidak takut.”

Aku menatap wajahnya dalam cahaya bulan. Dingin, tapi kali ini… ada kelembutan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

“Kenapa kau tidak takut padaku?”

“Karena matamu tidak berbohong,” katanya tenang. “Mata orang jahat tidak bergetar saat bicara.”

Aku menunduk, tersenyum kecil. “Kau selalu bicara seperti penyair yang terlalu serius.”

“Dan kau selalu tertawa di saat yang salah.”

Kami berdua tertawa pelan. Untuk pertama kalinya, aku melihat pangeran itu tersenyum — bukan senyum tipis atau sarkastik, tapi senyum sungguhan.

“Lihat?” kataku. “Kau bisa juga senyum.”

Dia menatapku, sedikit geli. “Jangan biasakan aku tertawa. Istana tidak terbiasa dengan kebahagiaan.”

“Kalau begitu, biar aku yang biasakan.”

Dia terdiam, lalu berkata pelan, “Berbahaya kalau terlalu lama berada di sisiku.”

“Aku sudah terlanjur,” balasku tanpa berpikir.

Mata kami bertemu, dan dunia tiba-tiba jadi hening.

Hanya ada suara jangkrik dan riak air kecil di kolam.

Lalu langkah tergesa memecah keheningan itu.

Riku muncul dengan napas tersengal. “Yang Mulia! Ada penyusup di halaman belakang!”

Akira langsung berdiri, ekspresinya berubah tegas. “Jaga dia,” katanya pada Riku.

“Tapi—”

“Lakukan.”

Aku belum sempat bicara saat Akira berlari ke arah utara taman.

Riku menatapku. “Kau ikut aku, cepat!”

Kami berlari melewati lorong panjang, sampai tiba di area belakang istana. Di sana, beberapa prajurit sudah mengepung seseorang berpakaian hitam.

Tapi sebelum mereka sempat menahan, orang itu melempar sesuatu ke tanah — bola asap.

Kabut tebal menyelimuti kami.

Aku batuk, mencoba melihat, tapi pandangan kabur.

Riku berteriak, “Lindungi Nona Mika!”

Tapi dari kabut itu, aku melihat sepasang mata merah menyala — menatap langsung ke arahku.

Dan kemudian suara berat berbisik di telingaku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan napasnya.

“Putri dari Dunia Lain… waktu hampir habis.”

Aku berbalik, tapi sosok itu sudah lenyap.

Hanya kabut yang tersisa.

Setelah kejadian itu, penjagaan di sekeliling kamarku diperketat. Tapi rasa aman justru semakin menjauh.

Kata-kata penyusup itu terus terngiang di kepalaku: “Waktu hampir habis.”

Apa maksudnya?

Apakah aku benar-benar bagian dari sesuatu yang lebih besar — atau hanya pion kecil dalam permainan politik istana ini?

Keesokan harinya, Akira memanggilku lagi ke ruang latihan.

Dia berdiri di sana, memegang pedang kayu.

“Aku ingin kau belajar bertahan,” katanya.

“Bertahan? Aku bukan prajurit.”

“Kalau kau ingin tetap hidup, kau harus bisa melindungi diri.”

Aku mendengus. “Kau benar-benar serius?”

Dia melempar pedang kayu ke arahku. Aku hampir menjatuhkannya.

“Pegang,” katanya. “Dan serang aku.”

“Serang?”

“Ya.”

Aku menatapnya lama, lalu mencoba menebas pelan. Dia menghindar dengan mudah, satu langkah, satu gerakan, dan pedang kayuku sudah terlempar jauh.

“Lemah.”

“Ya jelas, aku dokter, bukan ninja!”

Dia menatapku, lalu tersenyum samar. “Tapi kau cepat belajar. Lain kali, serang dengan niat.”

“Aku bisa melukaimu.”

“Coba saja.”

Pelatihan berlanjut sampai matahari turun. Aku jatuh berkali-kali, tapi dia selalu menunggu, kadang menertawai, kadang memegang tanganku untuk membantu bangkit.

Setiap kali kulitnya menyentuhku, ada sesuatu yang bergetar halus di udara — aneh, hangat, tapi menenangkan.

Saat pelatihan berakhir, dia berkata pelan, “Kalau kau benar dari dunia lain… mungkin kau di sini bukan karena kebetulan.”

“Aku juga mulai curiga begitu.”

“Dan kalau takdir yang membawamu, berarti kau juga bagian dari perang ini.”

Aku menatapnya, serius. “Kalau begitu, aku tidak akan lari.”

Dia menatapku lama, lalu mengangguk.

“Kalau begitu, Putri dari Dunia Lain… selamat datang di istana tanpa senyum.”

Aku tersenyum kecil. “Kalau aku di sini, mungkin istana ini akan mulai belajar tersenyum.”

Malam turun lagi. Dari jendela kamarku, aku melihat hujan mulai turun pelan, seperti bisikan halus yang menyapa bumi.

Dan di bawah langit kelabu itu, di istana yang penuh rahasia, aku mulai menyadari satu hal:

Aku bukan lagi sekadar orang asing yang tersesat waktu.

Aku adalah bagian dari cerita ini —

cerita tentang hujan, takdir, dan seorang pangeran yang perlahan mulai belajar… tersenyum.

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!