NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:669
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8: Kompas Keluarga yang Terombang-Ambing

Malam yang Dingin dan Kehilangan Simbol Terakhir

Malam itu terasa lebih dingin bagi Bara. Setelah mencurahkan janji spiritualnya untuk Nirmala di Buku Doa Musafir (sebuah janji yang ia anggap sebagai Ikhtiar Tertinggi), ia berusaha tidur. Namun, dingin yang menusuk tulang membuat tidurnya gelisah. Dingin itu bukan hanya datang dari angin laut yang bertiup kencang, tetapi juga dari kekosongan setelah ia menguras energi spiritualnya.

Ia terbangun dan merangkak, berusaha duduk tegak di Cadas Sunyi. Bara menyadari ia harus bergerak, mencari tempat berlindung yang lebih baik.

Saat ia akan berdiri, tangannya meraba tempat tidurnya yang berpasir. Ia mencari sesuatu yang terasa kecil, tumpul, dan akrab. Bara mencari pensil pendek Mala.

Ia panik.

“Pensil itu… ke mana pensil itu?” desis Bara, suaranya parau oleh dehidrasi.

Ia merangkak dengan susah payah, menyentuh setiap inci pasir dan celah batu kapur di sekitar Cadas Sunyi. Ia ingat, ia meletakkan pensil itu di sisi buku doanya setelah ia selesai menulis Janji Terpahit untuk putrinya.

Pensil pendek Mala itu bukan sekadar alat tulis. Pensil itu adalah simbol terakhir yang menghubungkannya secara fisik dengan Mala, dan bukti konkret dari ikhtiar terpentingnya. Kehilangan itu terasa seperti kehilangan jangkar fisik di tengah lautan spiritual.

Aku tidak boleh kehilangannya. Itu satu-satunya yang tersisa!

Bara menggali pasir tempat ia menyembunyikan Buku Doa Musafirnya. Bukunya aman, tetapi pensil itu tidak ada. Ia mencari ke segala arah, mengabaikan rasa sakit pada lututnya yang terluka. Ia mencari di bawah pohon Bakau Gergasi, di antara akar-akar yang menjulur.

Keputusasaan Bara memuncak. Kehilangan pensil itu adalah ujian: bisakah ia beriman tanpa alat fisik apa pun?

“Ya Allah, tolong. Jangan ambil ini dariku,” Bara berbisik, air matanya bercampur dengan butiran pasir yang menempel di pipinya.

Ia merasa imannya diuji. Setelah melewati krisis lapar, krisis dehidrasi, dan kegagalan ikhtiar fisik, kini ia diuji dengan kehilangan simbol kecil yang paling berarti. Jika ia kehilangan pensil itu, ia merasa seperti Tawakal Murni-nya telah dirampas, meskipun doa sudah tertulis.

Bara ambruk kembali ke Cadas Sunyi. Ia menatap bintang-bintang yang terasa dingin dan jauh. Ia telah melakukan Ikhtiar Tertinggi, tetapi alam seolah merampas bukti fisiknya, menuntut kepasrahan total tanpa harapan material.

Tekanan Finansial di Tengah Malam

Ribuan kilometer jauhnya, di rumah yang terasa sepi, Rina tidak bisa tidur. Malam itu terasa berat, dingin, dan menekan. Ia duduk di ruang tamu, di depan meja yang dipenuhi tagihan dan berkas permohonan akta kematian yang belum ia tanda tangani.

Ultimatum Bapak Harjo, agen asuransi yang datang menemuinya, terasa mengikat. Ia tahu, penolakannya terhadap Bunda Ida berarti ia harus segera mencari jalan keluar finansial sendiri, tanpa dukungan logis dari keluarganya.

Rina menoleh ke kamar Arka dan Mala. Mala sudah tertidur pulas, tetapi Arka terlihat gelisah dalam tidurnya, memeluk jaket pelaut usang Ayahnya.

Aku tidak bisa melihat mereka menderita lagi. Aku harus menghentikan ini.

Rina berdiri, berjalan ke kamar. Ia membuka laci tersembunyi dan mengeluarkan kotak perhiasan kecilnya. Perhiasan itu, hadiah dari Bara saat mereka menikah, adalah lambang martabat dan kenangan terindah mereka. Menjualnya terasa seperti pengkhianatan spiritual terhadap janji yang ia pegang teguh, tetapi mempertahankannya berarti mempertaruhkan keutuhan anak-anaknya.

Rina kembali ke sofa, memegang kotak perhiasan itu. Kilauan emas di bawah lampu ruang tamu terasa ironis di tengah keputusasaan yang melandanya.

Aku harus realistis. Aku sudah menolak Harjo. Aku sudah menolak Ibu. Aku harus bertanggung jawab atas anak-anakku.

Ini adalah titik terendah Rina. Ia harus mengorbankan keyakinan spiritualnya (menjual aset) demi memenuhi kebutuhan nyata anak-anaknya.

Rina meletakkan kotak itu di meja. Ia mengambil ponselnya.

“Aku harus melakukannya,” Rina berbisik pada dirinya sendiri, suaranya tercekat. “Aku harus menyerah pada logika. Bara pasti akan mengerti.”

Puncak Konflik Rina

Rina membuka daftar kontaknya. Ia mencari nomor kenalan Bunda Ida, seorang pembeli perhiasan yang pernah disarankan Ibunya. Tangannya gemetar saat ia menekan tombol panggil.

Ia menarik napas dalam-dalam. Jantungnya berdebar kencang, menentang setiap keyakinan yang selama ini ia pegang. Ia mengingat aroma parfum Bara yang sempat ia rasakan di tengah kekalutan. Namun, aroma itu tidak cukup kuat untuk melawan tagihan di meja.

Aku tidak gila, aku tidak berhalusinasi. Tapi aku harus memprioritaskan mereka.

Telepon tersambung. Rina bisa mendengar deringan panjang di ujung sana.

Rina menahan napas, siap mengucapkan kalimat yang akan mengunci takdir Bara secara finansial dan spiritual.

Rina mengangkat ponsel ke telinganya.

“Halo? Saya Rina. Saya... saya mau bertanya tentang penjualan perhiasan,” Rina berhasil berbisik, matanya terpejam. Ia mengakui kekalahan spiritualnya.

“Ya, Bu Rina. Bisa saya bantu?” jawab suara dingin dari seberang.

Rina membuka mata, menatap kotak perhiasan di meja. Ia bersiap untuk mengucapkan detail perhiasannya.

“Saya mau menjual...”

Tok.

Rina menjatuhkan ponselnya ke sofa. Suara itu. Hanya satu ketukan. Sangat pelan, nyaris seperti suara daun jatuh di ambang pintu, tetapi suara itu terdengar sangat jelas di tengah keheningan malam yang sunyi di rumah yang sepi.

Penelepon di ujung sana berkata, “Halo? Bu Rina? Maaf, tadi saya kurang jelas. Anda mau menjual apa?”

Rina tidak menjawab. Jantungnya berdebar kencang. Ketukan itu terasa tidak nyata, seperti sebuah intervensi, menghentikan kalimat fatal yang akan ia ucapkan.

Ketukan tunggal yang misterius itu berhasil mencegahnya menjual perhiasan dan mengubah takdirnya, sebuah konfirmasi non-verbal atas ikhtiar Tawakal Murni yang ia pegang.

Rina bergegas ke pintu depan. Ia melihat melalui lubang intip. Tidak ada siapa-siapa di luar. Hanya kegelapan dan keheningan. Ia membuka pintu dengan perlahan, mengamati teras dan halaman depan. Kosong. Bahkan tidak ada angin yang bertiup kencang.

Rina berdiri di ambang pintu selama beberapa detik, merasakan hawa dingin yang familiar di sekitarnya. Ini bukan halusinasi. Ini adalah sinyal spiritual.

Bara.

Ketukan itu adalah jembatan spiritual yang dibangun dari ikhtiar Bara di pulau sunyi. Rina menutup pintu. Ia membatalkan penjualan. Ia menyadari ketukan itu adalah sinyal spiritual, dan Bara pasti sedang menghadapi krisis besar di pulau. Ia telah memenangkan pertarungan melawan logika terburuknya.

Kembali pada Keyakinan dan Ancaman Badai

Rina kembali ke sofa. Ponselnya masih tergeletak, sambungan telepon sudah terputus. Kotak perhiasan itu tetap terbuka, tetapi niat Rina untuk menjualnya telah hilang sepenuhnya.

Ia mengambil ponselnya, mematikan daya, dan meletakkannya kembali di meja.

“Aku tidak jadi menjualnya,” Rina berkata pada dirinya sendiri, suaranya kini lebih mantap. “Aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan mengkhianati martabat Bara.”

Ia memeluk kotak perhiasan itu. Meskipun secara logika ia tahu tindakannya sangat bodoh dan berisiko—rumah dan masa depan anak-anaknya terancam—ia merasa lega secara spiritual. Keutuhan keyakinannya telah kembali.

Rina menatap pintu kamar Mala. Ia teringat Bara telah melakukan Ikhtiar Tertinggi (doa untuk Nirmala) di pulau itu. Jika Bara berikhtiar sejauh itu, Rina harus mempertahankan martabatnya dan Tawakal Murni-nya di rumah.

Jauh di Pulau Sunyi, Bara, yang putus asa karena kehilangan pensil Mala, tiba-tiba terhenti dari keputusasaan dinginnya.

Bara mendengar suara gemerisik daun yang berlebihan. Ia mendongak ke langit yang gelap. Langit yang tadinya cerah, kini diselimuti awan tebal. Angin dingin mulai bertiup kencang, dan Bara mencium aroma udara lembap yang tajam—aroma hujan deras.

Hujan.

Bukan sekadar hujan. Itu adalah hujan badai yang datang dari laut lepas. Bara tahu. Jika hujan deras datang, itu akan menghancurkan segalanya. Api kecil yang ia buat akan padam, dan lebih buruk lagi, buku doanya yang tersembunyi di pasir akan basah kuyup.

Ia harus menyelamatkan Buku Doa Musafir, buku yang berisi Janji Terpahit untuk Nirmala. Buku itu adalah perwujudan Tawakal Murni-nya.

Bara berusaha merangkak secepat mungkin ke tempat ia menyembunyikan buku itu, mengabaikan rasa dingin yang menusuk tulangnya dan lututnya yang sakit.

Aku tidak boleh kehilangan lagi. Aku sudah kehilangan pensilnya. Aku tidak boleh kehilangan janji yang telah kutulis.

Malam yang baru dimulai itu akan membawa Bara ke dalam krisis baru: kerusakan simbol spiritualnya yang paling berharga.

1
Tulisan_nic
semangat Bara,kamu harus bangkit segera.Keluarga menunggumu
Tulisan_nic
setuju sih,di waktu yg mendesak begitu,apa lagi anaknya demam tinggi. Lebih masuk akal menjual perhiasan dr pada cari kerja
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!