Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Kebenaran Menerjang Badai
“Arlan,” Raya memulai, suaranya bergetar, tetapi matanya penuh tekad. “Ada sesuatu yang harus kau ketahui… semuanya. Tentang Damar, tentang bagaimana Langit bisa ada…”
Arlan menarik napas dalam, wajahnya keruh. Ada bayangan kegelisahan di matanya yang indah, yang selama ini hanya memancarkan cinta. Raya tahu, malam ini, bayangan itu akan berubah menjadi badai. Ia memegang tangan Arlan, dingin dan gemetar.
“Dulu, saat kita mencoba punya anak, aku sempat melakukan serangkaian tes kesuburan…” Raya memulai, suaranya tercekat. Ia menjelaskan setiap detail, dari proses IVF yang mereka jalani, hingga tes DNA Langit yang baru-baru ini ia lakukan secara diam-diam. “Langit… dia bukan anak kandungku, Arlan. Darah dagingku tidak mengalir di tubuhnya.”
Kata-kata itu bagaikan palu godam yang menghantam keheningan malam. Arlan terhuyung mundur, seperti menerima pukulan telak yang tak terlihat. Matanya membelalak, pupilnya melebar karena syok.
“Apa… apa maksudmu, Raya?” Suara Arlan rendah, nyaris tak terdengar, namun dipenuhi getaran amarah yang tertahan. “Jangan bercanda tentang hal seperti ini.”
“Aku tidak bercanda, Arlan.” Air mata Raya menetes, membasahi pipinya. “Aku sudah menelusuri ini berbulan-bulan. Aku punya semua buktinya. Dokter yang menangani kita, catatan klinik… ada kejanggalan besar. Embrio yang diimplantasikan ke rahimku, yang kita yakini adalah hasil perpaduan sel telurku dan spermamu… itu bukan punya kita.”
Arlan terdiam membeku, mencerna setiap kata yang dilontarkan Raya. Otaknya seperti korslet, mencoba menghubungkan titik-titik yang sangat menyakitkan. Langit, putra mereka, sumber kebahagiaan mereka, adalah hasil dari sebuah kebohongan? Bukan anak kandung Raya? Dan dia, Arlan, juga bukan ayah biologisnya? Dunia Arlan runtuh.
“Siapa? Lalu anak siapa dia?” tanya Arlan, suaranya pecah, matanya menyala marah. “Apakah ini ulahmu? Ada pria lain yang…?”
“Tidak!” Raya menyela dengan cepat, terluka oleh tuduhan itu. “Aku tidak akan pernah mengkhianatimu, Arlan! Aku mencintaimu! Aku mencintai Langit!”
Ia meraih wajah Arlan, mencoba menangkap tatapan matanya yang kini memancarkan kebencian. “Aku juga korban di sini, Arlan. Aku juga hancur. Aku mencari tahu, Arlan. Aku menelusuri semua benang merahnya…” Raya menarik napas dalam, mempersiapkan diri untuk bom berikutnya. “Semua petunjuk mengarah ke Damar.”
Seolah waktu berhenti berputar. Arlan mematung, mendengarkan nama yang paling ia benci. Nama yang selalu menjadi bayangan di antara kebahagiaan mereka. Damar.
“Damar? Mantan suamumu?” Arlan berbisik, nadanya begitu rendah, dingin, dan penuh racun. “Apa hubungannya Damar dengan semua ini, Raya? Jelaskan!”
Raya menceritakan semuanya, dari masa lalunya dengan Damar yang tidak bisa memiliki anak, hasrat Damar yang begitu kuat untuk menjadi seorang ayah, hingga kecurigaan bahwa Damar, melalui koneksinya atau bahkan ancaman, mungkin telah mengatur manipulasi di klinik IVF.
“Damar… dia tahu aku sedang menjalani IVF. Ada kemungkinan… dia entah bagaimana, mencuri salah satu embrionya, atau menukar embrio kita dengan embrionya sendiri yang dibuat dengan sperma dan sel telur donor… dan kemudian memastikan embrio itu diimplantasikan kepadaku,” Raya menjelaskan, suaranya penuh keputusasaan. “Dia menggunakan aku sebagai… inkubator. Dia ingin memiliki anak dariku, anak yang secara genetik miliknya, tapi yang dibesarkan olehku. Aku… aku melahirkan anak mantan suamiku sendiri, Arlan.”
Hening menyelimuti ruangan, begitu pekat hingga Raya bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang. Arlan berdiri kaku, tangannya terkepal erat, urat-urat di lehernya menegang. Wajahnya yang tampan kini gelap, dipenuhi kemarahan dan rasa dikhianati yang teramat dalam.
“Kau… kau melahirkan anak Damar?” Arlan mengulangi, suaranya kini dipenuhi kepedihan yang menusuk. “Kita membesarkan anak Damar? Kau menyembunyikan ini dariku selama berbulan-bulan, Raya? Kau tahu ini semua dan kau membiarkanku hidup dalam kebohongan ini? Membiarkanku mencintai anak yang ternyata adalah anak dari pria yang paling kubenci?”
“Aku takut, Arlan! Aku takut kehilanganmu! Aku takut kehilangan Langit!” Raya menangis histeris. “Aku butuh waktu untuk mencerna ini semua! Aku tidak tahu harus bagaimana! Langit… dia putraku, Arlan! Meskipun bukan darah dagingku, dia adalah jantungku!”
“Jantungmu?” Arlan tertawa sinis, tawa yang menyayat hati. “Bagaimana kau bisa mengatakan itu setelah semua ini? Bagaimana bisa kau mencintainya setelah tahu dia adalah hasil dari skema licik mantan suhumu? Bagaimana bisa kau meminta aku mencintainya dengan cara yang sama setelah ini semua?”
Arlan berbalik, berjalan mondar-mandir di kamar, nafasnya memburu. Pikirannya kalut. Ia mencintai Langit dengan seluruh jiwanya. Namun, fakta bahwa Langit adalah anak Damar, hasil penipuan yang melibatkan istrinya sendiri (meski Raya korban), adalah pukulan yang tak termaafkan. Rasa cemburu, marah, dan sakit hati bercampur menjadi satu, melahirkan badai emosi yang mengancam akan menghancurkan segalanya.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Raya? Apa? Berpura-pura tidak terjadi apa-apa?” Arlan berbalik lagi, menatap Raya dengan tatapan hampa. “Pernikahan kita dibangun di atas kebohongan besar ini. Kebahagiaan kita… semua itu palsu.”
“Tidak, Arlan! Cinta kita tidak palsu! Cintaku padamu dan Langit tidak palsu!” Raya merangkak mendekat, memeluk kaki Arlan. “Kumohon, jangan hancurkan kita. Aku akan melakukan apa saja untuk memperbaikinya. Aku akan…”
Tiba-tiba, suara bel pintu terdengar nyaring, memecah ketegangan yang menyesakkan. Keduanya terdiam, saling bertatapan dengan cemas. Siapa yang datang selarut ini?
Arlan melepaskan diri dari pelukan Raya, berjalan ke arah pintu dengan langkah berat. Ada firasat buruk yang merayapi hati Raya. Firasat yang mengatakan bahwa malam ini, kegelapan baru saja dimulai.
Arlan membuka pintu. Di sana, berdiri tegak, dengan senyum tipis yang penuh kemenangan, adalah Damar. Di sampingnya, seorang wanita berpenampilan rapi dengan map di tangan, dan dua orang berbadan tegap seperti pengawal.
Melihat Damar di depan pintu rumah mereka, setelah semua yang Raya ceritakan, adalah hal terakhir yang Arlan harapkan. Mata Arlan menyala merah, dipenuhi amarah yang membara.
“Damar!” desis Arlan, urat di pelipisnya menonjol.
Damar mengabaikan amarah Arlan. Matanya langsung tertuju pada Raya yang berdiri beberapa langkah di belakang Arlan, wajahnya pucat pasi.
“Raya,” Damar menyapa, suaranya tenang, namun penuh otoritas. “Sepertinya kau sudah menceritakan semuanya pada suamimu. Baguslah. Itu menghemat waktuku.”
Raya merasakan dingin menjalar di punggungnya. Ini adalah mimpi buruknya yang menjadi nyata. Damar ada di sini, untuk mengklaim putranya.
“Apa maumu, Damar?” Raya bertanya, suaranya bergetar, namun ia berusaha keras untuk tetap tegar.
Damar tersenyum tipis. “Aku hanya ingin mengambil apa yang menjadi hakku. Putraku. Langit.”
Arlan menerjang maju, namun Damar menahan dengan mengangkat tangan. Dua pengawalnya segera mengambil posisi siaga.
“Jangan coba-coba, Arlan,” Damar memperingatkan, matanya memancarkan ancaman dingin. “Aku datang bukan untuk bertengkar. Aku datang dengan bukti hukum yang sah.” Ia menunjuk wanita di sampingnya. “Ini pengacaraku. Kami punya semua dokumen yang menunjukkan bahwa Langit adalah putra biologisku. Hasil tes DNA yang kau lakukan secara diam-iam, Raya, hanya akan memperkuat klaimku.”
Raya terhuyung. Jadi Damar sudah tahu semuanya. Dia sudah mengantisipasi langkah Raya. Skema ini sudah direncanakan dengan sangat matang.
“Apa yang kau lakukan ini keji, Damar!” Raya berseru, air mata mengalir deras. “Langit sudah kuanggap putraku sendiri! Aku yang melahirkannya! Aku yang membesarkannya! Dia tidak mengenalmu!”
“Fakta biologis tidak bisa dibantah, Raya,” Damar membalas dengan tenang. “Aku adalah ayahnya. Dan kau… kau hanyalah ibu pengganti yang tidak tahu. Sekarang, aku datang untuk mengambilnya.”
“Kau tidak akan pernah mendapatkannya!” Arlan berteriak, amarahnya sudah di ubun-ubun. “Dia anakku! Kau tidak punya hak apa-apa!”
“Oh, aku punya,” Damar menyeringai. “Seluruh dunia akan tahu. Aku punya bukti bahwa Langit adalah anakku. Dan aku siap memperjuangkan hak asuh penuh di pengadilan. Lagipula, Raya, kau sendiri sudah tahu dia bukan darah dagingmu. Bagaimana kau akan membantah fakta itu di depan hakim?”
Pernyataan Damar menusuk hati Raya. Rasa takut dan putus asa menyelimuti dirinya. Ia menoleh ke arah Arlan, yang wajahnya masih dipenuhi amarah bercampur kepedihan. Pernikahan mereka di ambang kehancuran, dan sekarang, putra mereka akan direnggut.
Namun, di tengah semua keputusasaan itu, secercah api muncul di mata Raya. Tidak. Ia tidak akan menyerah. Langit adalah Langit-nya. Anak yang ia cintai dengan seluruh jiwanya. Anak yang ia lahirkan, ia besarkan, ia cintai tanpa syarat. Darah mungkin tidak mengikat mereka, tetapi jantungnya telah terjalin erat.
“Kau salah, Damar,” Raya berbicara, suaranya kini tidak lagi bergetar, tetapi penuh tekad yang membara. Ia maju, berdiri sejajar dengan Arlan, menatap lurus ke mata Damar. “Meskipun kau punya seribu bukti genetik, itu tidak akan mengubah satu fakta. Langit adalah anakku. Dia tahu aku ibunya. Dan aku tidak akan pernah membiarkanmu mengambilnya. Tidak akan pernah!”
Damar mengangkat alisnya, terkejut dengan ketegasan Raya. “Kau yakin, Raya? Itu akan menjadi pertarungan yang sangat panjang dan kotor. Aku punya sumber daya. Aku punya kebenaran genetik. Apa yang kau punya?”
Raya menggenggam tangan Arlan erat, mencari kekuatan dan dukungan. Arlan balas menggenggamnya, meskipun ekspresi wajahnya masih rumit. Mereka mungkin sedang bertarung satu sama lain di dalam, tetapi di hadapan musuh, mereka berdiri bersama. Setidaknya untuk saat ini.
“Aku punya cinta,” Raya menjawab tegas, matanya berkaca-kaca tetapi penuh perjuangan. “Aku punya sembilan bulan di mana dia tumbuh di rahimku. Aku punya setiap detik aku membesarkannya. Aku punya setiap kenangan, setiap tawa, setiap air mata bersamanya. Itu yang aku punya. Dan itu lebih dari cukup.”
Damar tertawa sinis. “Cinta? Pengadilan tidak menerima cinta sebagai bukti kepemilikan. Mereka menerima DNA.”
“Maka biarlah pengadilan memutuskan!” Raya menantang, dadanya bergemuruh. “Aku akan memperjuangkan Langit sampai titik darah penghabisan! Kau boleh memiliki DNA-nya, Damar. Tapi kau tidak akan pernah memiliki hatinya. Dan hatinya… hatinya milikku. Milik kami!”
Kata-kata Raya bergema di udara malam. Damar menatap Raya, lalu melirik Arlan, senyum di bibirnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi serius. Ia tidak menyangka Raya akan sekuat ini.
“Baiklah, Raya,” Damar berkata, nadanya berubah dingin. “Jika itu yang kau inginkan. Sampai jumpa di pengadilan. Jangan salahkan aku jika dunia hancur di kakimu.”
Damar berbalik, mengisyaratkan pengacaranya untuk menyerahkan map berisi dokumen kepada Arlan, lalu pergi bersama rombongannya, meninggalkan Raya dan Arlan dalam kehampaan yang mencekam.
Arlan memegang map itu, tangannya bergetar. Dia menatap Raya, matanya masih dipenuhi pertanyaan dan kepedihan yang mendalam. Mereka telah menghadapi Damar bersama, namun badai di antara mereka sendiri belum reda. Raya sudah memutuskan. Ia akan memperjuangkan Langit. Tetapi dengan keputusan itu, apakah ia akan kehilangan Arlan?
Raya membalas tatapan Arlan, ketakutan mulai merayapi dirinya lagi, namun tekadnya tak tergoyahkan. Ia telah memilih. Ia akan bertarung untuk Langit. Apapun harganya. Bahkan jika harga itu adalah pernikahannya dengan pria yang ia cintai.
Malam itu, di ambang pintu kamar mereka, Raya tahu, inilah awal dari pertempuran yang sesungguhnya. Dan ia harus menghadapinya sendirian… atau mungkin tidak. Arlan masih berdiri di sana, di sampingnya, meski dengan tatapan yang sulit diartikan.
Pertanyaan besar menggantung di udara. Akankah Arlan berdiri di sisinya dalam perang ini, ataukah pertarungan untuk Langit akan menjadi akhir dari cinta mereka?