Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEBUAH PENGAKUAN
"Ashaaa..."
Asha terkejut dan menoleh menatap seseorang. "Hey, Din!" Katanya dengan senyum menyapa.
Rambutnya panjang sebahu, hitam pekat dengan sedikit gelombang di ujung, dibiarkan terurai begitu saja. Kulitnya cerah, dan wajahnya dihiasi riasan tipis yang membuatnya tampak segar meski jelas ada lelah yang tersamar di balik matanya.
Wanita ber-blazer krem itu mengulurkan sebuah gelas kertas dengan tutup hitam matte, uap tipis masih naik dari celah kecil di bagian mulutnya.
“Nih, buat kamu,” Katanya, meletakkan kopi itu tepat di depan Asha. Aromanya langsung menyelimuti udara—campuran manis dan pahit yang familiar.
Dinda, teman Asha semenjak kuliah dan kini sama-sama seorang dosen di kampus mereka itu kemudian menarik kursi perlahan, duduk berhadapan dengan Asha sambil merapikan rambut yang terselip di telinganya. Senyumnya lembut, sedikit lelah tapi hangat.
“Thanks ya, Din,” ucap Asha pelan.
"Kenapa? Hari ini kelihatan pucat gak semangat, gitu?"
Asha menggeleng, "Cuma kecapean."
Dinda tertawa kecil sambil sesekali menyeruput kopinya. "Ayolah, Ash... aku ini teman kamu yang gak sekali dua kali kita baru kenal, lho. Aku tahu banget kalau kamu lagi ada masalah. Ini... ada hubungannya sama suami kamu, ya?" Tebaknya.
"Sikapnya aneh aja hari ini." Jawab Asha singkat.
"Kecapean mungkin. Ya. Kalau menurut aku si wajar. Namanya jug—"
Sepotong kalimat Dinda menggantung, dering suara ponsel terdengar lembut di balik saku blazernya. "Wait." Gumamnya menatap Asha sambil merogoh sesuatu dari balik saku tersebut.
Begitu ponsel itu berada di tangannya, wajahnya langsung berubah—senyum meredup, mata sempat membesar sepersekian detik, lalu menajam seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Ada kegugupan kecil yang berusaha ia sembunyikan.
“Siapa?” Tanya Asha, keningnya berkerut melihat perubahan ekspresi itu.
Dinda tidak menjawab.
Ia hanya menatap layar ponsel itu dalam diam, sebelum menelan ludah dengan tanpa menatap Asha yang hanya mengangguk pelan, anggukan yang tidak menjawab apa pun secara langsung… tapi cukup untuk membuat Asha mengerti.
"Halo?" Kata Dinda, datar, menyambut panggilan di luar sana. "Oke."
Asha tertegun, saat Dinda mengakhiri teleponnya secara sepihak. Matanya menatap lurus menatap Asha, tajam, namun ada kilatan kesedihan yang jelas sulit untuk disembunyikan.
"Aku dan Mas Daniel mungkin akan resmi bercerai." Ungkap Dinda seketika.
Asha tersentak kaget sekaligus bingung. “Kok bisa?” Tanyanya dengan suara tercekat, tubuhnya sedikit condong ke depan tanpa sadar. Matanya membesar, berusaha menangkap setiap perubahan di wajah sahabatnya. "Ma-Maksud aku... Din, apa gak bisa untuk saling memaafkan dan mengalah?"
"Sha..." Ucap Dinda kemudian. Lirih dan pelan. Matanya berpaling, menatap ke tanah taman belakan kampus mereka. Tatapannya kosong, seperti melihat sesuatu yang tidak benar-benar ada. Bahunya sedikit turun, menandakan beban yang sejak tadi ia tahan akhirnya mulai merembes keluar. "Aku pernah bilang sama kamu, dan mungkin kamu masih ingat. Pernikahan itu salah satu gerbang yang bukan hanya pintu masuk kita untuk bahagia bersama pasangan kita, tapi juga ada rasa tanggungjawab yang harus kita miliki sebagai peran kita masing-masing. Terutama untuk saling menjaga hati pasangan kita."
Perlahan, Dinda mengangkat wajahnya.
Tadinya ia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, namun kini matanya langsung mengunci pada Asha—tajam, basah, dan penuh sesuatu yang selama ini ia sembunyikan. Ada kegetiran. Ada ketakutan, serta luka yang baru saja ia izinkan keluar ke permukaan. "Kekurangan bahkan kesalahan apapun yang dia perbuat padaku, masih aku terima. Kecuali, satu. Perselingkuhan."
Hati Asha langsung terenyuh. Seolah seluruh napasnya tersedot keluar. Seolah ia ikut merasakan belahan dada Dinda yang sedang retak.
Ia hanya bisa menatap sahabatnya itu, bibirnya sedikit terbuka, tak ada kata yang sempat keluar. Luka Dinda terasa begitu dekat, begitu menyakitkan, hingga Asha refleks mengepal jemarinya di bawah meja, menahan gelombang emosi yang ikut mengguncangnya.
Seketika, bayangan singkat melintas di benaknya. Bagaimana jika ia yang berada di posisi Dinda? Jika suatu hari seseorang yang ia percaya sepenuh hati… melakukan hal yang sama?
Perut Asha seperti diremas dari dalam.
Ada rasa mual, getir, dan takut yang tiba-tiba menggelayuti hatinya.
Asha memandang Dinda lebih lama, matanya melembut. Bukan hanya karena empati—tapi karena secara tidak sadar, ia sedang menghadapi ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui dengan lantang.
“Din…” Ucap Asha pelan, suaranya nyaris bergetar. Ia ingin meraih tangan Dinda, ingin memberi kekuatan—sekaligus meneguhkan dirinya sendiri yang ikut terguncang oleh bayangan yang tidak pernah ingin ia pikirkan. "Kamu kuat."
****
Mobil akhirnya berhenti di sebuah pelataran rumah sederhana. Rumah yang kembali Adit pijaki atau mungkin ini adalah awal untuk tempatnya pulang.
“Nadiaaa?!” Seru Adit sambil mengetuk pintu rumah itu beberapa kali. Suaranya terdengar cemas sekaligus mendesak. “Nad, ini aku!” Panggilnya lagi, kali ini lebih pelan namun penuh harap.
Tak lama kemudian, terdengar gesekan langkah dari dalam, disusul suara kunci diputar. Pintu terbuka perlahan, dan muncul sosok Nadia di ambang pintu—dengan wajah yang tak jauh berbeda dari biasanya.
Rambutnya berantakan, matanya sembab, dan kulit di sekitar kelopaknya tampak memerah seperti habis menangis lama. Ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Adit sejenak, seperti butuh beberapa detik untuk meyakini bahwa suaminya benar-benar ada di hadapannya sekarang.
"Gimana kondisi paman kamu sekarang?" Tanya Adit memecah setengah lamunannya. "Dia... baik-baik aja, kan?"
Nadia masih tak menjawab. Ia hanya menatap Adit sekilas, tatapan kosong yang sulit diterjemahkan itu, kemudian berpaling.
Tanpa sepatah kata pun, Dinda berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah. Gerakannya pelan, tapi tegas, seperti seseorang yang sudah terlalu lelah untuk menjelaskan apa pun.
Pintu yang tadi terbuka lebar kini tetap menganga, meninggalkan ruang cukup besar… seolah menjadi undangan tanpa suara. Dan, Adit yang terdiam di ambang pintu mulai bergerak ikut masuk ke dalam rumah, sesaat wanita yang usianya tak begitu jauh darinya itu berjalan menjauh, seakan menuntunnya untuk masuk.
Ruang tamu di dalam tampak temaram, lampu hanya menyala setengah, memantulkan bayangan abu-abu di dinding. Nadia terus berjalan pelan menuju sofa, bahunya sedikit turun, tubuhnya tampak rapuh dari belakang. Lalu terduduk tepat disamping Adit.
"Pamanku... dia di bawa oleh polisi setengah jam yang lalu." Ungkap Nadia kemudian. "Mungkin... kamu masih bertanya-tanya siapa bayi yang sebenarnya aku kandung ini,"
Nadia menunduk, begitu dalam hingga dagunya hampir menyentuh dada. Rambutnya yang jatuh berantakan di sisi wajah menjadi tirai, menutupi mata yang sejak tadi enggan bertemu Dengan tatapan Adit—tatapan yang terasa terlalu tajam, terlalu iba, terlalu menyayat.
“Pamanku… yang saat itu tega menjual aku…”
Ia berhenti sejenak, menahan getar di tenggorokannya. “…kepada lelaki yang kini bahkan membuat aku hamil.”
Adit membeku.
Nadia meremas kedua tangannya di pangkuan, jari-jarinya saling menekan sampai buku-bukunya memutih. Tubuhnya sedikit membungkuk, seakan beban masa lalu itu membenamkan bahunya. “Karena pamanku nggak sanggup bayar hutang judinya yang…”
Ia menelan napas tersengal, suaranya makin melemah, makin rapuh. “…yang dia tumpuk demi keserakahan dia sendiri.”
"Nadia..."
"Aku di jual, Mas." Tegas Nadia. "Aku gak punya pilihan apapun saat itu."
Setiap pengakuan itu jatuh seperti serpihan kaca—tajam, dingin, dan menghantam telinga Adit hingga dadanya ikut sesak. Hening yang tadi menyelimuti ruangan itu tiba-tiba pecah oleh suara isak yang begitu dalam, begitu sakit.
Nadia menunduk semakin dalam, bahunya bergetar hebat. Lalu, dengan putus asa yang meledak tanpa bisa ia tahan, ia memukul-mukul perut tipisnya sendiri, lemah tapi penuh kebencian terhadap nasibnya. “Aku nggak mau… aku nggak mau punya anak haram ini…” Suaranya pecah, tersedak di antara tangis. “Aku mau mati, Mas… aku… mau mati…”
Adit sontak tersentak, jantungnya seperti diremas kuat-kuat. Dalam sekejap, seolah ada dorongan kuat untuk ia maju dan menarik tubuh Nadia ke dalam pelukannya, memeluknya erat, menahan kedua tangan Nadia agar tidak menyakiti dirinya lagi.
“Nadia… cukup,” Bisiknya parau, suaranya bergetar karena panik. Ia menenggelamkan wajahnya di rambut Nadia, memeluk wanita itu seakan memeluk seseorang yang hampir hilang. Hampir lupa kalau ia memiliki Asha, bahkan mengkhianati Asha.
“Aku di sini. Kamu dengar?”
Ucap Adit. Napasnya hangat di telinga Nadia, mencoba menenangkan badai yang merobek dada wanita itu. “Kamu ada aku. Kamu nggak lagi sendirian.”
Nadia menangis semakin kencang, tubuhnya melemah dalam dekapan itu.
“Jangan pernah katakan itu lagi…” Lanjut Adit menahan wajah Nadia di antara kedua telapak tangannya, memaksa wanita itu menatapnya meski matanya sembab dan basah.
“Aku suami kamu,” Katanya, tegas namun dipenuhi getir. “Kamu istri aku… dan apa pun yang terjadi, aku bakal jagain kamu.”
Nadia terisak, bibirnya bergetar, tetapi untuk pertama kalinya ia berhenti memukul dirinya.
Dalam pelukan itu, ia menggantung seluruh sisa tenaganya pada seseorang yang setidaknya saat ini menjadi satu-satunya tempat ia bisa bertahan.
****