Arya Satria (30), seorang pecundang yang hidup dalam penyesalan, mendapati dirinya didorong jatuh dari atap oleh anggota sindikat kriminal brutal bernama Naga Hitam (NH). Saat kematian di depan mata, ia justru "melompat waktu" kembali ke tubuh remajanya, 12 tahun yang lalu. Arya kembali ke titik waktu genting: enam bulan sebelum Maya, cinta pertamanya, tewas dalam insiden kebakaran yang ternyata adalah pembunuhan terencana NH. Demi mengubah takdir tragis itu, Arya harus berjuang sebagai Reinkarnasi Berandalan. Ia harus menggunakan pengetahuan dewasanya untuk naik ke puncak geng SMA lokal, Garis Depan, menghadapi pertarungan brutal, pengkhianatan dari dalam, dan memutus rantai kekuasaan Naga Hitam di masa lalu. Ini adalah kesempatan kedua Arya. Mampukah ia, sang pengecut di masa depan, menjadi pahlawan di masa lalu, dan menyelamatkan Maya sebelum detik terakhirnya tiba?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon andremnm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30. penyelamatan dari gua...
Suara batu-batu besar yang dijatuhkan oleh drone militer bergema di dalam gua bawah tanah, memblokir celah masuk yang selama ini menjadi satu-satunya jalur keluar laut mereka. Kepanikan adalah kemewahan yang tidak bisa mereka beli.
Rani: (Berteriak, suaranya dipenuhi urgensi) "Dion, hancurkan konsol utama! Jangan tinggalkan jejak data apa pun! Maya, ambil perbekalan medis dan angkat Arya!"
Dion dengan cepat memasukkan flash drive berisi sistem operasi cadangan ke dalam konsol dan menekan tombol penghancuran data. Layar-layar server mulai menunjukkan kode-kode acak sebelum padam total.
Rani: "Cepat! Mereka pasti sudah tahu ada basis di sini. Tim penyusup militer akan tiba dalam satu jam!"
Rani berlari ke belakang server, menarik panel baja yang tersembunyi. Di belakangnya, terkuak sebuah terowongan ventilasi sempit yang mengarah ke atas.
Dion: "Terowongan ventilasi? Itu sangat sempit!"
Rani: "Itu adalah jalur evakuasi terakhir. Arya yang mendesainnya. Kita harus merangkak. Kita harus meninggalkan speedboat. Tidak ada waktu untuk meledakkannya!"
Maya dan Dion dengan hati-hati mengangkat Arya yang terbungkus selimut termal. Arya masih hidup, detak jantungnya stabil berkat intervensi Rani, tetapi dia tetap menjadi beban yang paling rentan.
Rani: "Dion, kau di depan. Kau yang paling kecil, kau bisa merangkak cepat. Maya, kau di belakang, dorong Arya. Aku di paling akhir, memegang senjata dan mengawasi."
Mereka memasuki terowongan yang gelap dan pengap. Ruang itu begitu sempit sehingga mereka harus merangkak dengan siku dan lutut, menyeret Arya di antara mereka.
Dion: (Suara napasnya tersengal) "Terowongan ini... terlalu panjang! Ke mana arahnya, Rani?"
Rani: "Ke puncak tebing. Ke menara pemancar komunikasi yang sudah usang. Di sana ada jalur menurun rahasia ke pantai tersembunyi di sisi lain pulau. Kita harus berhati-hati. Ular dan kalajengking suka tempat seperti ini."
Perjalanan di terowongan itu adalah siksaan fisik. Panas, gelap, dan debu. Setiap kali mereka harus menyeret Arya melewati belokan tajam atau gundukan, Maya harus menahan rasa takutnya akan luka Arya yang bisa terbuka lagi.
Maya: (Berbisik ke Arya) "Tahan, Kapten. Sebentar lagi kita keluar."
Setelah sepuluh menit merangkak yang terasa seperti berjam-jam, mereka tiba di ujung terowongan. Mereka naik ke sebuah ruangan kecil, bekas ruangan generator tua di bawah Menara Pemancar yang berkarat di puncak tebing.
Udara segar langsung menyambut mereka. Mereka berada di puncak tertinggi Pulau Ular, dikelilingi oleh pandangan 360 derajat lautan.
Rani: (Mengambil senapan semi-otomatis dari tas punggungnya) "Kita sudah sampai. Jalan menurun ada di sana. Tapi kita tidak sendirian."
Rani menunjuk ke permukaan air. Di kejauhan, sebuah fregat Angkatan Laut Indonesia berlayar menuju Pulau Ular dengan kecepatan penuh.
Rani: "Fregat itu pasti membawa tim penyergap darat. Mereka akan tiba dalam tiga puluh menit."
Dion: "Lalu apa rencana kita, Rani? Kita ada di puncak tebing yang terbuka! Kita tidak bisa turun tebing dengan Arya yang sakit!"
Rani berlari ke menara pemancar. Dia memeriksa struktur baja yang berkarat itu.
Rani: "Arya meninggalkan persediaan di sini. Dia selalu tahu Rencana B akan menjadi Rencana C. Cepat, Dion, cari kait tali kargo! Itu ada di gudang kecil di bawah menara!"
Dion menemukan gudang kecil itu. Di dalamnya, ada tali kargo tebal, beberapa botol air, dan sebuah ransel militer besar berisi amunisi dan suar.
Dion: "Aku menemukannya! Tali dan suar!"
Rani: "Ambil semuanya! Sekarang pasang tali di tiang menara ini! Kita akan melakukan rappel (menuruni tebing) ke bawah! Maya, kau yang pertama turun. Kau harus membuat area aman di pantai!"
Maya: (Melihat ke bawah tebing curam) "Rappel... sambil membawa Arya?"
Rani: "Tidak. Kau turun dulu. Dion, kau akan mengikat Arya ke tubuhmu. Kau berdua akan turun bersama. Berat badanmu akan menjaga stabilitasnya. Ini sangat berbahaya, tapi ini satu-satunya jalan."
Dion: "Baik. Aku akan mengikat Arya."
Saat Dion mengikat tali ke tubuh Arya yang lemah, Rani mengambil suar.
Rani: "Aku akan menembakkan suar ke arah laut. Ini akan menarik perhatian fregat itu dan membuat mereka mengira kita melarikan diri ke tengah laut. Itu akan membelikan kalian beberapa menit berharga di pantai."
Maya: (Siap di tepi tebing) "Baiklah. Ayo kita lakukan."
Mereka berpacu melawan waktu dan gravitasi, menuju pantai tersembunyi yang menjadi harapan mereka satu-satunya.
Di puncak tebing Pulau Ular, angin laut menderu kencang, menantang gravitasi dan tekad mereka. Rani telah mengikat tali kargo tebal ke tiang menara pemancar yang berkarat, dan Maya adalah yang pertama turun.
Rani: (Berteriak) "Maya! Turun cepat! Amankan area di bawah! Kirim sinyal tangan jika pantai aman!"
Maya mengencangkan pengaman tali dan mulai menuruni tebing curam itu. Batu-batu kecil berjatuhan di sekelilingnya. Matanya fokus ke bawah, mencari tanda-tanda bahaya. Beberapa menit kemudian, dia mencapai pantai tersembunyi. Pantai itu sempit, hanya terdiri dari batu-batu halus dan tersembunyi dari pandangan laut.
Maya: (Memberi sinyal tangan ke atas) "Aman!"
Di atas tebing, giliran Dion dan Arya. Dion mengikat Arya ke dadanya menggunakan perban dan tali cadangan, memastikan luka Arya tidak terbentur.
Dion: "Siap, Rani! Aku akan turun!"
Rani: "Ingat! Jangan pernah biarkan tali terlepas! Aku akan menembakkan suar sekarang!"
Rani menembakkan suar merah ke arah laut, jauh dari Pulau Ular. Suar itu melesat tinggi dan meledak, menjadi titik perhatian yang mencolok di langit pagi.
Rani: "Itu akan menarik perhatian fregat! Mereka akan mengira kita kabur ke tengah laut! Sekarang, Dion, turun!"
Dion mulai menuruni tebing. Menggendong Arya yang berat dan tak sadarkan diri membuat keseimbangannya sangat buruk. Setiap ayunan tali membuatnya berputar.
Dion: (Mengerang, berjuang keras) "Aku hampir... tidak kuat!"
Arya, meskipun koma, tiba-tiba mengerang lemah. Tubuhnya terbatuk, dan Maya di bawah melihat darah tipis keluar dari bibirnya. Luka di bahunya pasti terasa sakit karena tekanan ikatan.
Maya: "DION! Hati-hati dengan lukanya! Perlahan! Aku akan menahanmu dari bawah!"
Maya berdiri di bawah, siap menangkapnya jika Dion tergelincir. Perjalanan menuruni tebing itu terasa seperti keabadian, dengan setiap gerakan Dion berisiko memperburuk kondisi Arya.
Akhirnya, Dion mencapai dasar, terengah-engah dan kelelahan. Dia ambruk di pantai batu, tetapi memastikan Arya tetap tegak.
Dion: "Aku berhasil... Maya, cepat periksa dia!"
Maya segera membebaskan Arya dari ikatan dan memeriksa luka di bahunya. Beruntung, jahitannya bertahan, tetapi demamnya kembali naik karena tekanan.
Di atas tebing, Rani dengan cepat menurunkan persediaan ransel militer mereka, lalu melepaskan tali dari menara dan membiarkannya jatuh ke dalam semak-semak. Dia kemudian mulai menuruni tebing dengan kecepatan dan keterampilan seorang veteran militer.
Dia mendarat di pantai di samping mereka.
Rani: (Melihat ke laut) "Fregat itu mengubah arah! Mereka menuju ke arah suar! Kita punya sepuluh menit, paling lama, sebelum mereka menyadari tipuan kita dan mulai mencari di pantai!"
Dion: "Lalu apa sekarang, Rani? Kita ada di pantai. Tidak ada perahu. Tidak ada jalan keluar!"
Rani menunjuk ke ujung pantai, di mana tebing menyambung ke laut.
Rani: "Arya meninggalkan perahu lain. Perahu nelayan kecil, tetapi motornya sudah dimodifikasi. Itu tersembunyi di balik gua kecil di sana. Aku akan membawakanmu perahu yang cocok dengan pakaianmu!"
Mereka dengan cepat menyeret Arya melintasi pantai berbatu, menuju gua kecil di ujung tebing.
Di dalam gua, tersembunyi di balik jaring ikan usang, terdapat perahu nelayan kayu kecil yang tampak biasa, tetapi motornya terlihat baru dan bertenaga.
Rani: "Dion, kau yang menyetir. Maya, kau di belakang, jaga Arya. Kita akan kembali ke laut. Tapi kali ini, kita tidak akan menuju pulau. Kita akan menuju Sumatra!"
Mereka menaikkan Arya ke perahu. Rani dengan cepat menyalakan motor perahu nelayan itu. Suara mesinnya sangat kecil, dirancang untuk menjadi senyap.
Saat perahu nelayan kecil itu keluar dari gua dan menuju ke laut terbuka, Dion menoleh ke belakang. Di puncak tebing yang baru mereka tinggalkan, dua helikopter militer mulai menyisir area itu.
Mereka telah berhasil melarikan diri dari Pulau Ular, tetapi sekarang mereka adalah nelayan buronan di lautan yang luas, membawa bom waktu hidup.