Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Sejak pagi, Quin merasa ada sesuatu yang aneh. Biasanya, setiap ia bertemu Dima di gerbang sekolah, cowok itu entah akan melemparkan komentar sinis atau sekadar membuat masalah kecil untuk memulai perdebatan rutin mereka. Tapi hari ini, Dima hanya lewat begitu saja tanpa suara, tanpa sapaan, bahkan tanpa tatapan. Seolah Quin hanyalah tiang bendera yang berdiri diam dan tak layak diperhatikan.
Saat istirahat, Quin kembali mencoba membuka percakapan. Ia berhenti di meja Dima, setelah beli roti coklat.
“Dim, udah ngerjain mat no 3?" tanya Quin memancing respon Dima. Biasanya Dima suka membicarakan soal yang paling susah.
Dima hanya mengangguk pelan. “Hmm.”
"udah?"
"udah"
"bisa?"
"hmm"
Tidak ada “emang lo gak bisa?” atau “tumben nanya,” bahkan tidak ada gerutuan mengejek. Ia hanya kembali sibuk dengan somainya.
“sakit gigi lu?” tanya Quin akhirnya.
“Ha ha ha.” Dima berdiri, membawa bungkusan somai, lalu pergi sambil membuang bungkusan somai itu ke tong sampah.
Quin menatap punggung Dima yang menjauh. Aneh. Biasanya Dima yang memancing keributan. Sekarang malah menghindar. Sumpah, ini lebih mengganggu daripada kalau dia nyebelin seperti biasa.
–
Sorenya, Quin pulang dan memutuskan latihan vokal sendiri. Ia menyetel instrumental lagu pilihan Dima lewat laptop. Ia mencoba menyanyi beberapa kali, tapi suaranya kacau—parau, nggak stabil, dan terasa sangat jauh dari sempurna.
Ia duduk di lantai, memeluk lutut, frustasi.
Ia bisa meminta bantuan Pak Adam, guru seni musik. Tapi bayangan harus berdua saja di ruang studio yang sepi membuat Quin tidak nyaman. Nggak ding, makasih.
Akhirnya ia mengambil ponselnya dan menelpon Nisa.
“Nis, Dima kenapa sih? Dia aneh banget hari ini. Cuek parah seharian,” keluh Quin.
Biasanya Nisa akan langsung meledak, membela Quin, dan ikut marah-marah. Tapi kali ini nada suaranya dingin dan pendek.
“Ya udah biarin aja. Emang biasanya kamu pengen dia ajak berantem?”
“Tapi… dia beda banget. Mau aku ajak nemenin latian, tapi.”
“Jadi kamu maunya dia gimana? Nanya kamu? Kalau nanyain kamu, biasanya kamu yang malah cuek.”
Quin terdiam beberapa detik. Ada yang terasa janggal. “Nis, kamu kenapa? Suaramu aneh.”
“Oh… aku—”
Lalu terdengar suara laki-laki di latar belakang, tertawa kecil.
Nis, coba lihat—
Quin membelalak. “Nisa?”
“Hmmm…”
“itu suara Arka?”
“Iya, dia minta aku dengerin lagu versinya dia,” jawab Nisa cepat. “Nanti aku telpon lagi ya—”
Tut. Sambungan terputus.
Quin menatap layar ponselnya lama, perasaan kesal dan bingung bercampur jadi satu. Semua orang hari ini sepakat jadi aneh apa bagaimana?
Akhirnya, tanpa pikir panjang, Quin mengambil jaket dan berangkat ke rumah Dima. Ia tidak tahu apa tujuannya. Mungkin ingin protes, mungkin ingin memastikan Dima bukan kena kutukan alien, atau mungkin hanya ingin seseorang yang mendengarkan.
Tidak seperti biasanya ia ragu mengunjungi Dima, kali ini ia langsung berdiri di depan pintu rumah Dima. Mengucapkan salam dan menghiraukan Robert si Ayam milik Haji Berkah.
Pintu rumah Dima terbuka.
“Quin, kan ya?” Tanya ibunya ramah.
“Iya, tante. Dima ada?” Tanya Quin tersenyum.
“Dima belum pulang. Mungkin sebentar lagi, mau tunggu di dalam?” tanya Ibu Dima ramah.
Quin ragu sebentar, tapi akhirnya mengangguk.
“Duduk dulu. Mau dibikinkan teh, kopi?” Tanya ibunya Dima ramah.
“Ngga usah, Tante. Aku cuma sebentar aja.”
“ya udah, air putih ya? Sebentar ya,” Ibunya
Dima masuk ke dapur, lalu keluar lagi membawa segelas air putih.
“Makasih, Tante,” kata Quin yang langsung meminumnya.
“Tante seneng loh nonton YAMI! Kamu bagus sekali, Quin.”
“Makasih, Tante,” jawab Quin malu-malu.
“Sebenarnya ikut You Are My Idol itu bukan karena saya mau. Itu Dima yang daftarin saya. Saya udah bilang nggak mau, tapi dia maksa. Katanya saya punya bakat dan saya harus nyoba. Tapi saya bahkan nggak yakin saya mau nyanyi.”
Ibu Dima mengangguk pelan, tanpa memotong. “Oh gitu.” katanya. “Dima cerita sih. Katanya dia cuma pengen kamu mencobanya. Tapi tante paham sih, pasti berat juga ya kalau sebenernya kamu nggak begitu mau.” ”
“Nenek saya dulu pengen banget jadi penyanyi. Tapi nggak pernah kesampaian. Mama saya juga dipaksa nyanyi kecil-kecilan tapi mama jadi benci musik. Terus mama jadi memaksa saya juga… sebelum nenek meninggal, beliau bilang saya harus jadi penyanyi. Harus meneruskan impian beliau.” Suaranya bergetar. “Tapi saya nggak mau. Saya marah.”
Leher Quin sesak. Seperti ada air mata yang ingin naik ke matanya, tapi tertahan di lehernya.
“Setiap kali nyanyi, saya cuma ingat aku sempet berantem sama Nenek sebelum nenek meninggal.”
Ibu Dima diam sejenak, lalu menepuk tangan Quin perlahan. “Mama kamu mungkin menolak nyanyi karena tekanan Nenekmu. Dan sekarang, tanpa sadar, beliau melakukan hal yang sama ke kamu. Kadang orang tua begitu karena takut anaknya gagal seperti mereka.”
Quin sudah bisa mengusai dirinya. Ia tidak lagi ingin menangis, malah terlihat bingung “Aku jadi bingung harus gimana?” Entah kenapa ia merasa harus bertanya pada ibunya Dima yang baru kali ini berdua saja.
“Menurut tante sih, yang sudah ya sudah. Tapi sekarang yang tahu hidup kamu ya kamu sendiri, Quin. Kamu berhak memutuskan. Kalau kamu mau nyanyi—nyanyilah karena kamu mau. Kalau tidak, bilang tidak. Kamu tidak harus menjalani hidup orang lain. Hidupmu milikmu.”
Quin mengangguk pelan. Rasanya ada sedikit beban terangkat dari dadanya, walaupun masih tersisa banyak yang belum selesai.
Suara langkah kaki terdengar dari arah teras. Dima muncul di ambang pintu, masih memakai seragam dan membawa tas sekolahnya.
“Itu Dima!” Kata ibunya Dima bersamaan dengan Dima masuk ke rumah dan salim.
“Quin udah dari tadi loh!”
“Diajak mabar sama Jejen.”
“Mabar melulu.” Kata Ibunya lalu masuk ke dapur.
Dima duduk di kursi,”Ada apa?”
“Harusnya aku yang tanya, ada apa?” Tanya Quin. “Aku pengen minta bantuin latihan. Masa aku minta tolong Pak Adam?”
Dima menghela napas, tidak tahu harus berkata apa.
“Sori kalau ganggu. Ya udah, nggak apa-apa kalau kamu lagi nggak bisa bantuin,” kata Quin bersiap berdiri.
“Tunggu. Bukannya aku nggak mau bantuin, tapi Arka itu siapa?”
Quin kaget. Ia tidak menyangka Dima seperti cemburu menanyakan Arka. “Arka? Kamu liat YAMI kan? Dia peserta.”
“Iya, tapi siapanya kamu?”
“Tumben kamu peduli siapa orang yang ada di sekitar aku?”
“Semua orang ngomongin ini,” kata Dima. Nada suaranya tidak marah, tapi jelas tidak tenang. Dima menunjukkan medsos di hapenya pada Quin. “Netijen bilang kamu dekat dengan dia?”
Quin mengangkat alis. “Serius pengen tau?”
“Ng—nggak! Aku cuma heran aja..."
Quin menegang. Ia merasa lelah, bosan ditanyai soal hal yang bahkan tidak ia pahami diri sendiri. “Aku pulang.”
Ia pergi tanpa menoleh lagi.
Dan Dima hanya berdiri di ambang pintu, menatap punggung yang menjauh—menyadari bahwa untuk pertama kalinya, ia tidak tahu harus melakukan apa. Yang ia yakin, ia merasa sangat bodoh sekali untuk merasa cemburu padahal ia bukan siapa-siapanya Quin.
queen Bima
mantep sih