Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emily Sakit Hati
Zara menghela napas panjang, menatap lurus ke mata sahabatnya, Mila. Ia baru saja menceritakan bagaimana ia, secara diam-diam menikah dengan Erick, suami sah dari Emily.
"Terus kalau soal Emily gimana tuh? Apa ada kejadian yang menegangkan selama kalian diam-diam begitu?"
"Menegangkan sih nggak, La. Cuma aku tuh suka balas chat dari Mbak Emily pakai HP Mas Erick, kalau Mas Erick lagi enggan buat jawab. Jadi seolah-olah itu tuh Mas Erick yang balas."
Mila menyimak.
"Aku cuma pengen di antara mereka nggak ada masalah, dan Mas Erick selalu ada buat dia, baik dalam bentuk komunikasi langsung maupun HP," lanjut Zara. Pikirannya saat itu sederhana, yaitu mencegah keributan, setidaknya sampai Erick siap mengambil keputusan.
"Kalau lewat HP, aku suka balas dengan kelembutan, meskipun Mbak Emily chat yang tidak-tidak. Aku berharap Mbak Emily bakal luluh, tanpa harus Mas Erick yang tersakiti lagi."
Zara tahu tindakannya itu melanggar batas, namun ia melakukannya demi melindungi Erick dari kepahitan terus-menerus. Ia berusaha menjadi penenang, menjadi jembatan komunikasi yang rusak, berharap kelembutan dari balik pesan itu bisa meluluhkan hati Emily yang keras. Yang justru itu menjadikan Emily menyukai balasan-balasan dari Zara.
"Hmm, begitu," respons Mila, menggelengkan kepala pelan. "Jadi Emily tidak tahu desas-desus tentang suaminya. Sampai-sampai yang balas chat dia kamu aja, gak bisa bedakan ya?"
Mila merasa takjub, bagaimana bisa seorang istri tidak mengenali gaya bahasa suaminya, atau memang sedalam itu keretakan hubungan mereka sehingga Emily bahkan tidak peduli dengan perubahan gaya tulisan Erick.
"Tidak tahu juga sih apa yang Mbak Emily rasa. Apa mungkin dia sebenarnya ngerasa beda atau nggak. Cuma balasan dari dia, ya emang sepertinya ia menganggap aku itu Mas Erick."
"Tapi ada satu momen, Mbak Emily balasnya ambigu, kaya kelihatan peduli gitu sama Mas Erick. Aku kasih tahu Mas Erick, tapi ia hanya diam saja, gak ada respons." Lanjutnya.
"Udah biarin aja, Ra. Mungkin Erick dah mati rasa," ucap Mila. a lalu membenarkan duduknya. Sandaran kurai yang empuk pun terasa tidak nyaman karena kekakuan tubuhnya menyimak cerita flashback yang panjang itu. Ternyata mendengarkan penderitaan orang lain juga bisa menguras energi.
"Jangan memaksakan Erick buat terus lembut sama Emily, atau berusaha bikin mereka saling jatuh cinta ya. Kalau emang ada cinta, Emily gak mesti injak-injak harga diri Erick. Nyiksa batinnya, nganggap gak ada," lanjut Mila, menumpahkan kekesalannya pada Emily.
Mila menatap Zara, "Aku kalau ada di posisi kamu juga bakal terima nikah sama Erick. Tapi, aku bukannya menormalisasi kalau poligami tanpa persetujuan istri pertama itu bener ya. Hal itu tetep salah. Salahnya kalian cuma di situ, bukan kamu dan Erick aja, tapi pihak yang terlibat juga."
Ia menarik napas, lalu tersenyum nakal, mengubah suasana yang tegang menjadi sedikit ringan.
"Cuma bedanya kalau aku jadi kamu Ra, aku pas habis tidur sama Erick, aku bakal foto terus kirim ke Emily, caption-nya: suamimu biar aku yang sayangi. Tak apa kau terus-terusan menyakitinya, ada aku yang akan mengeluusnya hehehehe."
Mila tertawa terbahak-bahak. Zara langsung menepuk pelan lengan Mila. "Ada-ada aja kamu, La. Gak boleh gitu."
"Sengaja aku panas-panasin biar anu, Ra. Sebel atuh punya madu gila kaya Emily," kata Mila, memasang wajah bersungut-sungut. "Boro-boro aku mah kepengen baik lemah lembut di hadapan dia, yang ada aku ajak ribut terus!"
Zara hanya geleng-geleng kepala melihat penuturan sahabatnya. Sikap impulsif Mila memang selalu kontras dengan sifatnya yang penuh perhitungan. Zara pun diam tidak menimpali, ia berusaha mencari topik lain, tapi Mila sudah lebih dulu merangkulnya.
"Ra, maafin aku ya, udah mencak-mencak komentar ngatain kamu ini itu, tanpa tahu kondisi sebenarnya gimana." Ujar Mila.
"Gak apa-apa La, wajar kamu begitu karena kamu pernah merasakan pengkhianatan," balas Zara. Ia tahu, rasa sakit karena dikhianati membuat Mila menjadi sangat sensitif terhadap isu perselingkuhan atau poligami. "Aku yang justru minta maaf karena sebagai teman, sudah mengecewakan."
"Tetap aku salah, Ra. Dari pembelajaran ini, aku sadar gak semestinya aku bersikap menghakimi, apapun situasinya. Sebab kita gak tahu apa yang dialami seseorang," Mila mengakui kesalahannya, memetik hikmah dari cerita Zara.
Zara memegang tangan Mila, memberinya kekuatan seorang sahabat sembari tersenyum. Seseorang yang memang tidak mengalami, akan ini itu berkomentar bahkan menghakimi. Dan ketika ia sudah merasakan, barulah ia terdiam.
"Sekarang kamu jangan banyak pikiran, Ra. Soal Emily yang udah tahu tentang pernikahan kamu dan Erick, abaikan saja. Aku tahu dia tipe orang nekat, dan aku juga yang lain yang sayang sama kamu, gak bakalan diam begitu aja," kata Mila, menawarkan dukungan penuh.
"Do'ain aja yang terbaik, La. Semoga aku bisa berbicara baik-baik dengan Mbak Emily," pinta Zara, menunjukkan bahwa di lubuk hatinya ia tetap mendambakan penyelesaian damai.
"Nggak! Aku saranin janganlah dulu dekati dia di situasi yang masih panas ini," potong Mila cepat. Ia sudah terlalu mengenal tipe orang seperti Emily. Mencoba bicara saat emosi memuncak hanya akan memperburuk keadaan.
"Erick pun aku yakin gak bakal ngebiarin itu. Pokoknya kamu jalani aja apa yang semestinya. Waktu kebersamaan kamu sama Erick sedikit kan, jadi kamu manfaatin itu buat quality time. Sabar Ra, dikit lagi kan Erick cerai dengan Emily. Waktu Erick akan sepenuhnya untukmu."
Tiba-tiba saja, pintu kamar terbuka. Ada suara berat yang memotong ucapan Mila.
"Bukan dikit lagi, tapi memang sudah detik ini."
Erick melangkah masuk dengan wajah khawatir. Ia lekas menghampiri Zara.
"Aku sudah menalak Emily. Dan gugatan cerai sudah didaftarkan ke pengadilan."
Baik Zara maupun Mila, sama-sama terkejut.
"Kok bisa?" Ucap Zara dan Mila berbarengan.
"Ceritanya panjang," jawab singkat Erick.
...***...
Di sisi lain,
Emily yang saat ini menyandang status baru, mondar-mandir di dalam kamarnya yang mewah. Nafasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Matanya berkilat-kilat. Pikirannya menerawang, mencari pembenaran atas rasa sakit yang ia tolak untuk akui.
"Nggak! Aku nggak sedih. Emily tidak sedih hanya kehilangan laki-laki macam Erick," kata Emily menyemangati dirinya sendiri.
"Aku masih ada Darren, iya, Darren pun tak kalah menyayangiku. Aku pun menyukainya," ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa nilai dirinya tidak ditentukan oleh Erick. Darren sang pria simpanannya, adalah pelarian yang ia anggap sebagai bukti bahwa ia masih berharga dan diinginkan.
Akan tetapi respon tubuhnya menolak narasi palsu itu. Hatinya bahkan tidak berbicara begitu.
"Aku tidak sakit. Apa itu sakit hati? Cih! Aku hanya merasa perlu membalas perbuatan Erick dan Jalaang itu."
.
.
Bersambung.
🤔🤔🤔 kira kira rencana apalagi yg disusun Emily
sekarang koq malah jadi obsesi ya kesannya😔😔
jadi lebih baik kau perbaiki dirimu sendiri bukan untuku TPI untk masa depanmu sendiri
bay