Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Pagi itu, setelah menyiapkan sarapan seadanya dan memastikan Dea rapi dengan seragam sekolahnya, Nayla mengantar putrinya ke sekolah dengan hati yang setengah kosong. Perjalanan terasa panjang meski jaraknya dekat. Dea berbicara banyak, tentang guru barunya, latihan teater, teman barunya, tapi Nayla hanya membalas dengan gumaman lembut.
“Ma, nanti pulang jemput Dea, ya?”
“Iya, Sayang.”
Itu saja yang ia sanggupi. Setelah Dea turun dari mobil dan berlari kecil menuju gerbang sekolah, Nayla menghela napas panjang, memegang setir erat-erat.
Anton bilang ia berada di luar kota, ada urusan di Balikpapan. Namun, firasat Nayla berkata lain. Firasat yang sejak semalam menjerit, menolak berhenti.
Dia memutar mobil dan menuju kantor Anton. Hatinya berdebar, bukan karena berharap Anton ada di sana, tetapi justru karena takut Anton memang ada di tempat lain, di tempat yang bukan untuk pekerjaannya.
***
Bangunan perusahaan Anton tampak kokoh dan rapi dengan cat abu-abu elegan. Pagi hari biasanya ramai, namun Nayla sampai pada jam di mana karyawan sudah masuk semua. Parkiran sudah penuh. Ia turun dari mobil setelah menarik napas panjang.
Satpam senior yang berjaga malam itu, Pak Darman, sedang berdiri sambil mencatat sesuatu di buku penjagaan. Ketika melihat Nayla, wajahnya langsung berubah ramah.
“Loh, Bu Nayla. Pagi-pagi sudah datang. Ada perlu sama Pak Anton?”
Pertanyaan itu seperti batu besar yang dilempar tepat ke dada Nayla.
Nayla mengerjap. “Pak Anton belum berangkat keluar kota, Pak?”
Pak Darman mengernyit bingung. “Keluar kota? Nggak ada informasi, Bu. Kok keluar kota?”
Nayla menelan ludah. Tenggorokannya tiba-tiba sangat kering. “Katanya ada urusan di Balikpapan sejak kemarin.”
Satpam itu menggeleng cepat, wajahnya semakin heran. “Kemarin Pak Anton masuk seperti biasa, Bu. Malam juga sempat keluar lagi. Tapi, hari ini belum kelihatan. Mungkin agak telat.”
Nayla terdiam. Suaminya, yang katanya keluar kota sejak kemarin, yang bilang baru sampai ke hotel lantai tujuh melewati tangga, dan bilang sedang bersama investor. Padahal Satpam yang menjaga kantor saja tahu Anton ada di kantor kemarin.
“Bu, Ibu mau nunggu beliau di lobby dulu?” tanya satpam baik itu.
Nayla lekas menggeleng.
“Oh, nggak usah Pak. Saya cuma mau ngecek.”
Lututnya terasa lemas saat ia berjalan kembali ke mobil. Tangannya gemetar ketika membuka pintu. Begitu duduk, ia langsung menutup wajah dengan kedua tangan.
Dia tidak salah dengar. Kini jelas apa yang harus dia tahu. Anton tidak ke Balikpapan.
Dia tidak menginap untuk urusan investor ataupun sibuk dengan rapat apapun.
Lalu, Malam itu dia bersama siapa?
Pertanyaan itu naik ke tenggorokan seperti sesuatu yang pahit, menyakitkan, dan sulit ditelan.
Nayla memegangi dada. “Ya Tuhan, apa yang Mas sembunyikan dari aku?”
Mencoba bernapas pun rasanya menyiksa. Dan di tengah kepanikan itu, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
Hotel. Ya! Hotel itu. Aku harus ke Hotel itu sekarang. Tanpa berpikir panjang, Nayla menghidupkan mobil dan melaju menuju hotel tersebut.
***
Perjalanan ke hotel terasa seperti kabut panjang. Ia tidak ingat lampu merah atau mobil-mobil yang menyalipnya. Yang ia fokuskan hanya satu, dia tahu Anton ada di sana.
Begitu sampai, Nayla menepikan mobil di parkiran luar, dekat pintu lobby. Hatinya berdegup sangat keras hingga ia merasa seluruh tubuhnya ikut bergetar. Tangannya memegang gagang pintu mobil, siap turun.
Namun tiba-tiba, Pintu lobby hotel terbuka otomatis. Seorang pria keluar sambil mengusap rambutnya. Dan Nayla merasa jantungnya berhenti berdetak.
Itu Anton. Suaminya sendiri. Dia mengenakan kemeja yang berbeda dari yang ia lihat semalam. Rambutnya tampak sedikit berantakan, wajahnya terlihat lelah namun, bukan lelah bekerja. Bukan lelah rapat. Melainkan, lelah setelah malam yang panjang.
Namun apa yang membuat Nayla hampir pingsan bukan Anton-nya. Tetapi, perempuan cantik dengan gaun hijau muda yang berjalan di sampingnya.
Lestari.
Mamanya Vina. Wanita yang kemarin mengantar Dea pulang sambil tersenyum lembut padanya. Wanita yang selalu terlihat begitu anggun dan sopan.
Wanita yang selama ini Nayla hormati.
Wanita itu berjalan dekat sekali dengan Anton. Terlalu dekat dan kemudian tanpa malu, Lestari menyentuh pinggang Anton, meraih lengannya, dan memandangnya sambil tersenyum kecil penuh rasa puas.
Anton tidak menolak. Justru ia merapatkan tubuhnya pada Lestari, seolah sudah terbiasa melakukan itu.
Nayla membeku. Napasnya tercekat.
Dia sampai tak sanggup mengedipkan matanya lagi ketika tubuhnya kaku seperti patung.
Tidak.
Tidak mungkin!
Tidak mungkin!
Teriak Nayla dalam batinnya yang bergemuruh.
Anton dan Lestari berhenti sejenak di teras hotel, menunggu mobil jemputan mereka. Mereka berbicara sambil tertawa kecil, seperti sepasang kekasih yang tidak khawatir akan dunia.
Lestari bahkan sempat membetulkan kerah Anton, lalu mencium pipi Anton. Terlihat mesra dan Anton menyukainya.
Nayla tidak bisa turun dari mobil. Tangannya kaku di setir dan lututnya tak bisa digerakkan. Dia hanya bisa menatap dan menyaksikan dua orang yang dia kenal, berjalan masuk ke mobil hitam yang berhenti di depan hotel.
Pintu mobil tertutup, dan mobil itu langsung bergerak pergi dari pandangan Nayla. Sementara itu, Nayla masih duduk di tempatnya. Air matanya turun tanpa ia sadari, jatuh ke pangkuannya.
Anton tidak di luar kota.
Anton tidak bersama investor.
Anton tidak sibuk pekerjaan.
Suaminya, Ayah dari anaknya, menghabiskan malam dengan wanita lain.
Nayla memejamkan mata sambil menahan tubuhnya yang tremor.
“Mas. Tapi ini kenapa?” suaranya pecah.
Tidak ada jawaban dan tidak ada penjelasan. Yang ada hanya satu kenyataan yang menamparnya tanpa belas kasih.
Anton selingkuh.
Dan sekarang, Nayla melihatnya sendiri.
Nayla membuka mata perlahan, menatap kaca depan mobil yang tampak buram oleh embun dan air matanya sendiri. Setiap tarikan napas terasa seperti menyayat bagian dalam dadanya. Ia menggenggam setir lebih erat, seolah itu satu-satunya yang menopang dirinya untuk tetap sadar.
Seharusnya tadi dia turun untuk menampar Anton. Seharusnya dia menyeret Lestari keluar dari mobil itu dan membuahtnya malu di hadapan publik. Tapi tubuhnya menolak bergerak.
Mungkin, karena sebagian dari dirinya masih belum siap menerima apa yang baru saja dilihatnya. Karena sekali ia melangkah, sekali ia mengakui kebenaran itu, maka tidak ada jalan kembali.
Tidak ada lagi “mungkin hanya salah paham.”
Tidak ada lagi “Mas pasti punya alasan.” Tidak ada lagi “Mas pasti jujur.”
Semuanya runtuh begitu saja.
Nayla menutup wajah dengan kedua tangannya dan menangis dalam diam. Tangis yang tidak bisa ditahan, tidak bisa dicegah. Ia menunduk dalam, seperti seseorang yang baru saja kehilangan dirinya sendiri.
Setelah beberapa menit, dia mengusap air mata dengan punggung tangan.
Napasnya masih tersengal, namun pandangannya kembali fokus.
“Aku harus pulang,” bisiknya pelan, rapuh.
“Aku harus kuat.”
Nayla menghidupkan mesin mobil dengan tangan bergetar. Dengan hati yang baru saja disayat kenyataan, Nayla meninggalkan hotel itu. Dia membawa uka baru yang tidak akan pernah sama lagi.