Mata elang Layla mengamati pria yang akan menjadi suaminya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tindikan di telinga, tato di lengan, dan aura berbahaya yang terpancar, adalah definisi seorang badboy. Layla mendesah dalam hati. Menikahi pria ini sepertinya akan menjadi misi yang sangat sulit sepanjang karir Layla menjadi agen mata-mata.
Tapi untuk menemukan batu permata yang sangat langka dan telah lama mereka cari, Layla butuh akses untuk memasuki keluarga Bagaskara. Dan satu-satunya cara adalah melalui pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alisha Chanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Aku mau yang ini yang, ini, dan ini." Layla menunjuk pakaian yang akan ia beli dengan jari telunjuknya. Setelah melihat Adrian secara langsung, Layla tidak merasa kesulitan lagi dalam memilih pakaian yang harus ia beli untuk menyenangkan hati calon suaminya.
"Apa anda mau gaun merah ini juga nona? Gaun ini, adalah gaun hasil rancangan designer ternama, saya rasa gaun ini akan sangat cocok jika anda yang memakainya." ucap pelayan toko yang melayani Layla. Pelayan tersebut mengatakan hal yang sama pada setiap pelanggan yang datang.
"Boleh, bungkus yang itu juga untukku." Layla merasa gaun berwarna merah tersebut sangat indah, jadi Layla harus membelinya juga.
"Gesek kartu ini untuk membayar semua barang yang aku beli hari ini." setelah selesai berbelanja, Layla memberikan kartu kredit milik sang ayah untuk membayar barang belanjaannya.
"Baik nona." balas sang pelayan, aura kebahagiaan terlihat jelas dari wajah pelayan tersebut karena memiliki pelanggan seloyal Layla.
"Aku ingin lihat seperti apa reaksi papa dan nenek sihir itu setelah melihat tagihan kartu kreditnya." Layla tersenyum licik, sebagai seorang agen mata-mata, tentu saja Layla memiliki banyak uang untuk membayar sendiri barang belanjaannya. Tapi Layla tidak mau melewatkan kesempatan untuk mengerjai ayah dan juga ibu tirinya.
***
Layla terhuyung memasuki rumah, kedua tangannya memegangi kantong belanjaan yang hampir membuatnya kehilangan keseimbangan. Jam dinding di ruang tamu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Keheningan rumah langsung pecah oleh suara bariton yang menggelegar.
"Layla! Dari mana saja kamu?! Apa kamu ingin membuat papa bangkrut?!"
Papa Indra berdiri di depan Layla, wajahnya merah padam. Layla tahu, ini bukan pertanda baik. Tapi inilah yang Layla harapkan, membuat sang ayah marah.
"Seperti yang papa lihat, aku baru saja pulang belanja." Layla memamerkan paper bag hasil buruannya di salah satu mall ternama di ibu kota.
"Papa sudah lihat tagihan kartu kreditnya! Kenapa kau menghabiskan semua limitnya hanya dalam satu hari Layla?!" pekik Indra.
"Maafkan aku pah, aku tidak tahu pakaian seperti apa yang disukai calon suamiku, jadi aku beli semuanya saja." balas Layla dengan wajah tanpa beban.
"Kau ini benar-benar tidak tahu diri! Papamu sudah memberikan saham perusahaan sebesar 20% yang kau minta, tapi kau malah boros seperti ini!" Mita tak bisa menahan diri untuk tidak ikut memarahi Layla.
Dari balik punggung Indra dan Mita, Nadin adik tiri Layla menyeringai sinis. Matanya tertuju pada salah satu kantong belanjaan yang sedikit terbuka. Gaun merah yang sudah lama ia incar terlihat jelas di sana.
"Kak Layla, kenapa kamu membeli gaun itu? Aku menginginkan gaun itu sejak lama. Sedikit lagi uang tabunganku hampir cukup untuk membeli gaun itu." ucap Nadin, kekecewaan terlihat jelas dari wajah cantik itu.
"Gaun ini dijual, tentu saja aku membelinya. Mana aku tahu kalau kamu juga menginginkan gaun ini." ucap Layla tanpa rasa bersalah. Bahkan terkesan mengejek.
"Aku sangat lelah setelah belanja seharian, aku mau istrirahat dulu. Besok aku akan bertemu dengan calon suamiku, jadi aku harus tidur cukup agar besok penampilanku terlihat fresh. Selamat malam semuanya." Kemudian Layla membawa semua barang belanjaannya menuju kamar.
"Awas kau!" tangan Mita sudah gatal ingin memukul gadis kampung itu, tapi Mita menahan diri.
***
Keesokan harinya...
Mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan sebuah rumah sederhana di pinggiran ibu kota. Seorang pria muda dengan wajah tampan dan aura percaya diri keluar dari mobil. Di belakangnya menyusul kedua orang tuanya, dad Kenzo dan mom Anzela, pasangan yang selalu tampil elegan dan berkelas. Mereka datang untuk melamar Nadin, gadis yang selama ini mereka ketahui sebagai calon istri Adrian.
"Rumahnya sederhana sekali," bisik mom Anzela, sedikit mengerutkan kening.
Dad Kenzo menepuk pundak sang istri. "Jangan menilai dari penampilan luar. Yang penting adalah hatinya. Daddy sudah menyelidiki layar belakang gadis ini, sikapnya lembut dan keibuan, sangat cocok untuk putra kita yang..." Kenzo tak kuasa meneruskan kata-katanya.
Adrian hanya tersenyum tipis. Ia sudah siap untuk menjalankan perjodohan ini, meskipun hatinya belum sepenuhnya yakin. Nadin dikenal sebagai gadis yang baik, cantik, dan berasal dari keluarga terhormat. Jauh lebih baik dari Monica mantan kekasih Adrian tentunya.
Pintu rumah terbuka sebelum dad Kenzo sempat mengetuknya. "Selamat datang, tuan Kenzo, nyonya Anzela dan nak Adrian. Silakan masuk." seorang pria paruh baya menyambut mereka dengan senyum ramah.
Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu yang sederhana namun cukup luas untuk menampung mereka semua. Di sana, sudah duduk seorang gadis cantik dengan gaun berwarna merah terang. Namun, gadis itu bukanlah Nadin. Gadis itu memiliki wajah yang mirip dengan Nadin, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Sorot matanya lebih tajam, senyumnya lebih tegas, dan auranya lebih memancar.
"Maaf, di mana Nadin?" tanya Kenzo, dengan nada bingung.
"Perkenalkan, ini Layla, kakak tiri Nadin. Nadin sedang ada urusan mendadak di luar kota, jadi Layla yang akan menemani kalian." ucap Indra dengan nada sedikit canggung. Pagi tadi Indra sudah mengungsikan Nadin ke tempat yang aman.
Dad Kenzo dan mom Anzela saling bertukar pandang. Mereka tidak pernah tahu bahwa Nadin memiliki seorang kakak tiri. Lebih cantik pula. Selama ini, mereka hanya mengenal Nadin sebagai anak tunggal keluarga Budiman.
Suasana menjadi canggung. Dad Kenzo mencoba mencairkan suasana dengan memulai percakapan. "Layla, sudah berapa lama kau tinggal di sini nak?"
"Saya baru kembali dari desa kemarin, om." jawab Layla dengan sopan.
"Desa? Kau tinggal di desa?" mom Anzela mengangkat alisnya
"Ya, nyonya. Saya dibesarkan di desa oleh nenek saya." Layla mengangguk.
Kenzo dan Anzela semakin terkejut. Mereka tidak pernah tahu bahwa keluarga Budiman memiliki latar belakang seperti ini.
"Layla ada hal penting yang ingin papa bicarakan dengan tuan Kenzo dan nyonya Anzela. Tolong temani nak Adrian jalan-jalan ya." titah Indra yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Layla.
Layla berjalan mendekati Adrian dengan penuh rasa percaya diri. Dengan gaun merah menyala dan senyum menawan, Layla telah menjadi magnet bagi setiap mata di ruangan itu.
"Ayo ikut aku." Layla mengulurkan tangannya ke arah Adrian disertai senyuman manisnya.
Adrian merasa ada sesuatu yang Layla sembunyikan. Ia merasakan ada rahasia besar di balik senyum Layla. Tapi kaki Adrian mengikuti ke mana arah kaki Layla melangkah. Layla membawa Adrian ke taman yang teretak di samping rumah keluarga Budiman.
"Hai, namaku Layla. Boleh kita berkenalan?" suara gadis itu terdengar lembut namun menggoda.
Adrian mengangkat alis, menatap Layla dari ujung kaki hingga ujung kepala. Hanya satu kata yang bisa mendefinisikan penampilan Layla saat ini. Cantik.
"Tentu saja, namaku Adrian." jawabnya, mengulurkan tangan.
Malam itu, Layla memainkan perannya dengan sempurna. Layla tertawa pada setiap lelucon kecil yang Adrian buat, berpura-pura tertarik pada cerita-cerita tentang balapan liar dan kehidupan malamnya. Adrian, yang terbiasa dengan wanita yang mengejarnya, tampak terpesona oleh Layla yang misterius dan tidak mudah ditebak.
"Kamu berbeda dari wanita lain," ucap Adrian, matanya menatap intens ke arah gadis cantik di hadapannya.
"Apa kamu menyukaiku Adrian? Kalau iya menikahlah denganku. Jangan menikah dengan Nadin." balas Layla dengan senyuman manisnya.
Adrian tertawa, pria itu sangat suka dengan sikap to the point Layla. "Aku menyukaimu, tapi kalau aku menikah denganmu, lalu bagaimana dengan Nadin?" tanya Adrian seraya menyesap minuman yang di suguhkan pelayan di rumah itu.
"Dengar Adrian, sebenarnya Nadin sudah punya pria pilihannya sendiri. Tapi Nadin merasa tidak enak untuk menolak perjodohan ini, karena itu aku datang dari desa untuk menggantikan Nadin. Itupun kalau kamu tidak keberatan." ucap Layla, senyuman tak pernah berhenti menghiasi wajah cantiknya.
Adrian menatap Layla dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang menarik perhatian Adrian sejak pertama mereka bertemu.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya Layla? Aku merasa wajahmu terlihat tidak asing." Adrian mencoba mengingat-ingat. Namun sekuat apapun Adrian mengingat tak ada sedikitpun memori tentang gadis itu.
Bersambung.