Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Sorot Mata dan Jejak Masa Lalu
Pagi itu, koridor kampus terasa lebih panjang dari biasanya.
Bagi Yuri, baru jadian dengan Ezra—salah satu most wanted kampus—sama saja dengan meneken kontrak untuk mati muda. Rasanya semua pasang mata tertuju padanya, menilainya dari ujung kepala sampai kaki, seolah dia adalah spesimen langka yang sedang dibedah di bawah mikroskop.
Hah…
Helaan napas itu keluar begitu saja. Keras, pasrah, dan berat. Yuri bahkan bingung mendeskripsikan perasaannya saat ini; bangga, takut, atau ingin menghilang saja.
Ia melangkah pelan, berusaha menyejajarkan kaki dengan Ezra yang berjalan di sampingnya. Tangan laki-laki itu menggenggam jemarinya erat, seolah menegaskan kepemilikan. Kebetulan—atau kesialan—ruang ujian mereka hari ini berada di lantai yang sama, jadi Yuri kehabisan alasan untuk menolak diantar sampai depan kelas.
"Kenapa dari tadi menghela napas terus?" tanya Ezra lembut tanpa menghentikan langkah.
Yuri menoleh, mendapati Ezra menatapnya teduh.
"Ada aku. Jangan gugup. Kalau nanti ada yang jahatin kamu lagi, bilang sama aku, ya? Honey," lanjutnya setengah berbisik, seraya meremas pelan tangan Yuri dalam genggamannya.
"Mhm," hanya kata itu yang mampu keluar dari tenggorokannya.
Ia sibuk menetralkan ekspresi wajah. Dagu sedikit diangkat, tatapan lurus ke depan—berusaha memasang topeng "aku-biasa-saja-dan-nggak-terintimidasi", meski jantungnya berdegup kencang sejak turun dari mobil tadi.
Mereka berhenti di depan kelas Yuri.
"Dah, sampai. Kabari nanti kalau sudah selesai ujian. Oke, Sayang?"
"Iya. Makasih, Bang Ez," jawab Yuri dengan senyum manis yang ia paksakan biar nggak terlihat kaku. Semoga senyumnya barusan nggak terlihat kayak Joker.
Begitu Ezra berbalik pergi dan Yuri melangkah masuk ke kelas, sorakan itu langsung meledak.
"Cieee…!"
"Uhuyyy! Pasangan baru nih!"
"PJ (Pajak Jadian) bisa kali, Ri! Ihirrr!"
Kelas yang tadinya hening karena tegangan pra-ujian mendadak riuh.
"Heh! Jangan gangguin Yuri! Gue tandain muka lo pada satu-satu, ya!" ancam Isa tegas, berdiri dari kursinya bak ajudan setia Yuri.
"Sini, Ri," panggil Widya, menepuk kursi kosong di sebelahnya, di pojok kelas.
Yuri berjalan cepat menuju kedua sahabatnya sambil menyengir nggak enak pada seisi kelas. "Hehehe, iya… nanti gue traktir kalian tenang aja di kantin jurusan pas makan siang. Tapi jangan bikin gue bokek, ya?" candanya untuk mencairkan suasana.
Mata Isa membulat saat Yuri duduk. "Lo serius mau mentraktir sekelas?"
"Mereka kan kayak piranha kelaparan, Ri," bisik Widya ngeri.
"Biarin, lah. Biar seneng dan pada diam mulutnya," sahut Yuri santai sambil mengeluarkan alat tulis. "Sudah ah, belajar lagi. Sa, makasih ya contoh soalnya. Lo sudah dapet jawaban dan penjabaran teori yang dijelasin Widya, kan?"
"Sudah. Ternyata cowok lo pinter juga ya, Ri. Cocok jadi tutor privat," goda Isa sambil menaik-turunkan alisnya.
Yuri hanya tertawa kecil, pipinya sedikit memanas.
***
Selesai ujian sesi pagi, Yuri menepati janji. Kantin jurusan mendadak penuh sesak. Yuri, Isa, dan Widya mojok di meja paling ujung, menikmati ketenangan relatif di tengah kekacauan yang Yuri ciptakan sendiri (baca: traktiran gratis).
Tiba-tiba, Ningrum muncul dengan nampan makanannya.
"Guys, boleh gabung?"
"Eh, Rum! Sini, sini," Isa menggeser duduknya, memberi ruang.
"Makasih, Isa." Ningrum duduk dengan senyum lebar, alisnya main naik-turun menggoda ke arah Yuri. Jiwa jurnalistiknya jelas sedang meronta-ronta.
"Jadi, Ri… Beneran lo jadian sama Bang Ezra? Wih… Gara-gara jadi model buletin itu, ya?" tanyanya antusias, persis reporter infotainment yang mengejar klarifikasi eksklusif.
Yuri mengaduk es tehnya, tersenyum simpul. "Hehehe, ya… gitu deh."
"Manis banget, sih! Pantes aja pas sesi foto, anak-anak dokumentasi bilang kalian chemistry-nya dapet banget. Natural. Jangan-jangan Bang Ezra udah lama naksir lo, Ri?"
"Masa sih?" tanya Isa polos. Dia memang yang paling kudet (kurang update) di antara mereka.
"Dari Komdis (Komisi Disiplin) Ospek jadi Komdis Hati ya, Ri?" ledek Widya sambil melet, membuat Isa dan Ningrum terbahak sampai tersedak makanan.
"Sorot matanya itu, lho… Nggak kuat gue," lanjut Widya makin kompor. "Kalau Bang Ezra sudah fokus lihat Yuri, rasanya dunia ini cuma milik berdua. Yang lain cuma ngontrak!"
"Wid, ada Bang Bi—"
Belum sempat Yuri menyelesaikan kalimat jailnya, mulutnya sudah dibekap telapak tangan Widya dengan panik.
"Bang Bi siapa?" tanya Isa dan Ningrum serempak, celingukan mencari sosok yang dimaksud.
"Bukan siapa-siapa!" sambar Widya cepat, matanya melotot horor ke arah Yuri yang kini terkekeh puas meski mulutnya masih dibekap.
Kantin semakin siang semakin ramai. Tanpa Yuri sadari, di dekat pintu masuk, Tania berdiri bersama gengnya. Gadis itu menatap tajam ke arah meja Yuri. Hari iki, nggak ada labrakan. Berita kemarin masih terlalu panas, dan Tania cukup pintar untuk nggak memperburuk citranya sendiri lagi. Tunggu tanggal mainnya, batin Tania dingin, sebelum berbalik pergi.
Yuri masih asyik tertawa melihat wajah panik Widya, sama sekali nggak menyadari sepasang mata yang mengawasinya penuh dendam.
***
Sore menjelang petang, langit cerah mulai berwarna jingga.
Yuri baru saja keluar dari perpustakaan fakultas bersama Isa, Widya, dan Ningrum. Mereka menghabiskan waktu belajar bersama sembari menunggu Ezra yang mendapat jadwal ujian sore.
"Tuh, Mas Yayang wes teko. Balik sek ya," pamit Isa dengan logat Jawanya yang kental saat melihat mobil Ezra mendekat.
"Pas banget kita juga baru kelar. Makasih ya sudah bolehin gue gabung belajar. Besok-besok boleh lagi nggak?" tanya Ningrum sambil merapikan tasnya.
"Gabung aja, Rum. Santai," jawab Widya, meski matanya mulai gelisah menatap ke arah parkiran.
Isa dan Ningrum sudah pergi, mereka berdua berencana mampir sebentar ke sekretariat organisasi masing-masing.
Di sana, Ezra berjalan mendekat. Dan seperti dugaannya, ada Bimbo mengekor di belakangnya. Yuri menyenggol lengan Widya keras-keras.
"Mampus gue," desis Widya.
"Maaf ya lama. Yuk," ajak Ezra begitu sampai di hadapan mereka.
"Nggak apa-apa. Halo, Bang Bim," sapa Yuri ramah.
"Hai, Yuri." Bimbo tersenyum, lalu matanya beralih ke gadis di sebelah Yuri.
"Bang," sapa Widya kaku. Suaranya terdengar seperti orang tercekik.
Keempatnya berjalan beriringan menuju parkiran. Kali ini Bimbo nggak membawa motor besarnya, melainkan sebuah sedan hitam yang terparkir rapi di sebelah mobil Ezra.
"Dijemput Tante apa bareng gue, Wid?" tanya Yuri sengaja memancing.
"Ah, eh… gue balik sendiri, naik ojol—"
"Widya sama gue aja. Kebetulan gue mau ke tempat temen, searah sama rumah dia," potong Bimbo cepat.
Ezra melirik Bimbo dengan tatapan mengejek yang sangat jelas. Modus lo, Bim, seolah begitu arti tatapannya.
"Oh, ya sudah," Yuri menahan tawa melihat wajah Widya yang memerah padam. "Titip Widya ya, Bang. Anterin sampai depan gerbang, jangan sampai lecet."
Widya melotot, ingin sekali mencubit ginjal Yuri saat itu juga. Namun, ia berakhir pasrah masuk ke mobil Bimbo.
Setelah mobil sedan hitam itu menghilang dari pandangan, Ezra membukakan pintu untuk Yuri. "Masuk, sayang."
Di dalam mobil, keheningan terasa nyaman, bukan canggung. Namun pikiran Yuri masih berkelana. Kok bisa ya, gue punya pacar secepat ini? Dan pacarnya Ezra pula.
"Mau cari makan malam sekarang?" tanya Ezra memecah lamunan.
"Boleh. Tapi jangan jauh-jauh, ya."
"Lagi pengen makan apa?"
Yuri berpikir sejenak. "Hmm, pengen Mie Aceh deh, Bang. Yang di depan perumahan Abang itu kayaknya enak. Tapi ramai terus sih."
"Oh, yang di sana. Oke, itu memang enak. Ada roti canai juga. Kita bungkus aja ya, makan di rumahku. Biar lebih santai."
Yuri mengangguk setuju.
Ezra benar-benar memanjakannya. Laki-laki itu memesan Mie Aceh komplit keinginan Yuri, ditambah roti canai keju, roti canai kuah kari, dan teh tarik dingin.
Act of service-nya Ezra benar-benar patut diacungi jempol. Sejauh ini, dia memperlakukan Yuri bak ratu.
Yuri menatap ke luar jendela, memperhatikan pantulan wajah Ezra yang sedang menyetir, disinari lampu jalanan. Banyak perempuan di trotoar yang menoleh saat mobil mereka lewat, atau tepatnya, mencoba mengintip lebih lama sosok yang tadi membeli makan di depan kedai Mie Aceh.
"Semenarik itu kah pacar gue, wahai para betina?" batin Yuri geli sendiri.
***
Suasana ruang tengah rumah Ezra terasa hangat. Mereka duduk di karpet, meja penuh dengan makanan.
Yuri makan dengan lahap. Pedasnya mie berpadu dengan gurihnya rempah benar-benar nikmat. Tanpa sadar, ada sisa bumbu yang menempel di sudut bibirnya.
Tiba-tiba, Ezra mencondongkan tubuhnya.
Cup.
Yuri membeku. Ezra nggak menggunakan tisu. Ia mengecup sudut bibir Yuri sekilas, lalu lidahnya menyapu sisa bumbu itu dengan gerakan cepat namun intim.
"Eh—!" Yuri melotot horor, tubuhnya mundur refleks.
"Kebiasaan banget. Kalau makan belepotan kayak anak kecil," tegur Ezra santai, seolah baru saja melakukan hal paling wajar di dunia, sambil mengunyah sisa bumbu yang ia ambil dari bibir Yuri.
"Bang… jorok! Ih!" sungut Yuri, salah tingkah setengah mati. Wajahnya kini merah padam, campuran antara rasa pedas Mie Aceh dan serangan jantung mendadak akibat ulah Ezra.
Ezra terkekeh, menyodorkan gelas minuman. "Nih, Minum. Jangan cemberut gitu, ah. Manisnya nanti ilang."
***
Setelah sesi makan malam yang memalukan itu, Yuri bersandar kekenyangan di sofa. Ezra pamit sebentar ke lantai atas untuk mandi dan ganti baju.
Untuk membunuh waktu, Yuri mengeluarkan ponselnya. Ia berselancar di media sosial, melihat update teman-temannya. Jarinya berhenti menggulir layar ketika melihat sebuah foto di timeline.
Itu postingan Mario, mantan SMA-nya. Iya, mantan yang ada di Jepang saat ini. Di foto itu, Io— panggilan Yuri buatnya dulu, sedang merangkul seorang gadis cantik.
"Loh, kok…" gumam Yuri pelan. Ada rasa kaget, sedikit nyes, tapi bukan cemburu. Hanya terkejut karena perempuan yang di rangkul itu...
Tiba-tiba, sebuah tangan melingkar di bahunya, dan dagu seseorang mendarat di pundaknya.
"Sayang, itu siapa?" Bisikan itu terdengar berat, tepat di telinga kanannya.
Yuri tersentak kaget, refleks menoleh ke belakang. Wajah Ezra hanya berjarak beberapa sentimeter darinya. Rambutnya masih sedikit basah, aroma sabun mint maskulin langsung menyeruak, memabukkan sekaligus… mengintimidasi.
Yuri buru-buru mematikan layar ponselnya.
"Eh… i-ini temen SMA. Iya, temen SMA doang kok. Ish, Abang suka banget ngagetin sih!" Yuri berusaha mengalihkan topik, memukul pelan lengan Ezra yang melingkar di lehernya.
Ezra nggak bergeming. Tatapannya jatuh tepat ke ponsel Yuri yang kini layar hitamnya memantulkan wajah mereka berdua.
"Temen SMA…" ulang Ezra pelan, nadanya datar namun tajam.
Ia kemudian menatap manik mata Yuri dalam-dalam, senyum tipis yang sulit diartikan terbit di bibirnya.
"Mantan kamu ya? Udah punya pacar baru rupanya dia."
"Hah? Kok Abang tahu?" Yuri tercekat. Ia yakin belum pernah menceritakan soal dirinya pada Ezra.
Ezra mempererat pelukannya sedikit, jarinya mengetuk-ngetuk bahu Yuri dengan ritme pelan.
"Cuma dia satu-satunya cowok yang kamu follow sebelum aku, kan?"
Darah Yuri berdesir. Ia menatap Ezra nggak percaya. Bagaimana Ezra bisa tahu sedetail itu? Apakah laki-laki ini mengecek daftar following-nya satu per satu sebelum mereka jadian?
Di balik senyum manis dan sikap hangat Ezra… seberapa banyak hal tentang Yuri yang sebenarnya sudah ia ketahui?