Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MASA LALU
"Mereka di kamar ngapain ya, Kak?" tanyaku sembari menyenderkan kepala di bantalan sofa. Begitu juga dengan Fabian, melakukan hal yang sama. Pertemuan di lorong hotel tadi membuat kita shock banget, ya pada akhirnya Jovan dan Aruni melihat padaku dan Fabian juga. Jovan tampak santai, Aruni yang gelagapan. Selama ini citranya di depan keluarga Akbar sangat baik, menjadi dokter dan punya high value, tapi nyatanya mau juga sama suami orang.
Setelah kita saling tatap, Jovan merangkul pinggang Aruni kemudian masuk ke kamar hotel yang mereka pesan, dan berseberangan dengan kamarku. Aku dan Fabian diam dengan pikiran masing-masing. Berusaha tidak berprasangka buruk pada mereka.
"Makan mie ayam," ceplos Fabian. Aku tertawa kecil begitupun dengan dia.
"Kamu gak lapor ke Maya?" tanyaku, ya siapa tahu kelakuan Jovan di belakang begini, menguntungkan posisi Maya untuk menuntut cerai, dan kembali pada Fabian.
"Ngapain? Urusan mereka."
"Yakin? Bukannya ini kesempatan kalian buat bersatu ya, selama ini yang menjadi penghalang kalian kan, Jovan!" Fabian tertawa sembari mengusap rambutku, dan tak lama menyentil keningku pelan.
"Terus aku mau kembali sama Maya gitu? Setelah sekian tahun aku menahan amarah melihat dia tidur bersama kakakku sendiri? Dih, kayak gak ada perempuan lain saja."
"Masa'? Gak percaya banget. Bukankah seorang laki-laki kalau sudah terlanjur cinta bakal menerima si perempuan apapun keadaannya ya."
"Berarti aku dan Maya belum terlanjur cinta, karena aku tak mau kembali sama dia."
Aku diam sembari menatap Fabian dengan tajam, aku masih tak percaya dengan ucapannya seolah dia tak peduli dengan hubungan Maya dan Jovan. "Kenapa sih melihatnya begitu amat?" tanya Fabian sembari menarik hidungku.
"Kamu kalau mau menghubungi Maya silahkan, gak usah diam-diam. Justru aku lebih suka kamu chat dia gak diam-diam."
"Diam-diam maksudnya?"
"Bilangnya di depan aku kamu gak peduli sama Maya. Sedangkan saat aku kerja, atau kamu tengah malam bangun, tiba-tiba chat. Aku gak suka, karena aku gak mau ada orang yang memandang aku kecintaan sama kamu, mau dinikahi, ditiduri, nyatanya si laki diam-diam peduli sama mantannya."
Fabian tertawa kemudian, dia mengambil ponselnya, seolah akan menuruti ucapanku untuk chat Maya. "Coba lihat!" ucapnya sembari menyodorkan ponselnya ke arahku. Room chat Maya dengam banyak chat yang sengaja belum dibaca Fabian. Aku menatap Fabian, mungkin dia paham dengan apa yang ada dalam otakku, biasalah meski aku masih belum mengakui cinta pada Fabian, tetap saja sebagai istri dan teman tidurnya aku kepo dengan chat yang dikirim Maya.
"Buka aja!" jawab Fabian, aku pun membukanya, dan membaca serius setiap kalimat yang Maya kirim.
Kamu terlihat bahagia sama Namira. Apa tujuan kamu memanas-manasi aku?
Kamu sampai pindah rumah, tinggal berdua, apakah kamu sudah tidak mau tahu keadaanku bersama Jovan?
Aku gak cinta sama Jovan, Ian. Cintaku cuma sama kamu.
Aku memang salah karena tergiur uang. Tapi aku benar-benar cinta sama kamu.
Setiap kamu bersama Namira, aku gak rela. Harusnya aku yang kamu rangkul.
Emang dia semenyenangkan itu ya, Ian. Sampai kamu menggendong dia begitu.
Jangan sampai hamil ya, Ian. Aku gak rela kalau perhatian kamu fokus pada dia seorang.
Aku jahat banget ya, sampai kamu gak pernah baca chat ini.
Atau kamu takut ketahuan Jovan?
Enggak pa-pa, Ian. Dia gak bakal tahu kalau aku punya nomor lain khusus buat kamu.
Aku chat kalau dia sudah gak di rumah.
Fabian Sayang. Kamu masih gak mau balas chatku. Aku kesepian.
Aku melongo melihat sebuah foto yang dikirim Maya, dan belum didownload oleh Fabian. Ternyata Maya seberani itu ya, dia menampilkan tubuh bagian atasnya tanpa ada kain sama sekali.
"Kenapa sih, serius amat?"
"Dia udah sering kirim foto beginian?"
"Foto apa?" tanya Fabian sembari mengerutkan dahi. Sepertinya foto ini yang pertama dikirim Maya, mungkin untuk menarik perhatian Fabian agar tak menjamahku terus begitu. Ya elah, daripada di foto bukannya lebih enak eksekusi dengan bendanya langsung ya.
"Hapus saja!" perintah Fabian tanpa mau melihat foto itu.
"Kamu ini beneran udah gak minat sama Maya, Kak?" tanyaku beralih dari ponsel. Fabian mengangguk cepat.
"Kok bisa?"
"Kata mama seseorang yang pernah sekali saja selingkuh, maka dia tidak akan pernah berubah kecuali dia sudah memakai kain kafan dan dihadapkan ke kiblat, artinya sampai kapan pun dia akan punya bibit selingkuh itu."
Aku menelan ludah kasar. Nih cowok aneh banget kepribadiannya, bisa celap-celup ke cewek lain, tapi dia menjunjung kesetiaan. Haduh, aku jadi bingung mana yang aku percaya.
"Kenapa sih?"
"Aku bingung. Omongan kamu ini bisa dipegang gak?"
Fabian tertawa ngakak. Tiba-tiba tanganku ditarik, dan diarahkan ke area inti tubuhnya. "Pegang ini aja!"
"Ih, selalu saja ke situ!"
"Heleh, suka aja. Sok jual mahal. Gak mau saingan sama kamar seberang?"
"Nanti dulu!"
"Tunggu apa sih."
"Maya."
"Kenapa lagi? Aku udah gak pernah menanggapi dia Sayang," ucap Fabian lembut. Aku mengerutkan dahi, kenapa tiba-tiba panggilan padaku berubah. Semakin aneh kan dia. Ini kupingku gak salah kan?
"Sayang? Emang iya?" selidikku yang tak mudah dibuai sayang. Fabian tak perlu menjawab dengan kata, melumat bibirku begitu saja. Ya kalau sudah begini aku bisa apa. Aku terlalu menikmati menjadi teman tidurnya. Kami berpagut, bahkan tangan Fabian sudah aktif ke mana-mana. Awalnya lembut, tak lama pasti akan semakin menuntut, apalagi kalau sudah berkuasa di area depanku, dia terlalu menikmati menjadi bayi, hingga deringan telepon membuyarkan kenikmatan kami.
"Maya, Kak!" ujarku menoleh pada layar ponsel, tampak Fabian tak suka aku memutus adegan romantis kita.
"Biarkan saja!" ucap Fabian kemudian menonaktifkan ponselnya, dan kembali melanjutkan petualangan yang rasanya tak pernah bosan untuk diulang. Aku juga heran, kenapa setiap dia menyentuhku, aku tidak pernah merasa capek. Beneran bikin nagih. Apa aku sudah terlalu bergantung dengan sentuhannya, karena hampir tiap hari dibuat melayang.
Dia pun begitu, tak pernah bosan memanjakan aku. Ya tak bisa dipungkiri kita sama-sama menikmati hubungan ini, terlepas sudah ada rasa atau belum. Memang akhir-akhir ini saat penyatuan Fabian sering memanggilku Namira Sayang, apalagi mendekati puncak surga dunia, suaranya terlalu berisik mengungkap i love you padaku. Sedikit baper tapi aku tetap tak mau menerimanya mentah-mentah. Hatiku masih meragu dengan kesetiaannya. Terlebih pernikahan Maya-Jovan terekam ada pengkhianatan di depan mata Fabian lagi. Sangat mungkin Fabian akan membalikkan keadaan, mengambil Maya dari Jovan, dan aku siap-siap saja ditendang, dan menjadi janda untuk kesekian kalinya.
"Kamu akan jadi istriku selamanya," ucap Fabian sembari mencium bibirku, bersamaan dengan datangnya puncak kenikmatan.
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.