Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Manajer mereka memanggil keduanya ke ruangannya. Alasannya jelas, memberikan sanksi atas keributan yang terjadi beberapa hari lalu. Jovita tahu betul itu bukan sepenuhnya kesalahannya, tapi tetap saja jantungnya berdebar. Berbeda dengan Arum yang justru terlihat santai, bahkan sempat memainkan ujung rambutnya seolah hal itu tak berarti apa-apa.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka lagi. Adam masuk dan tanpa banyak bicara berdiri di samping Jovita. Seketika wanita itu bergeser sedikit menjauh, menolak kedekatan yang tidak diinginkannya. Sejak pertemuan terakhir mereka di rumah Jovita, tak ada satu pun pesan atau panggilan yang saling mereka kirim. Kini, berdiri di ruangan yang sama saja sudah cukup membuat udara terasa sesak.
“Kalian sudah membuat nama divisi tercemar. Semua orang membicarakannya, bahkan kabarnya sudah sampai ke telinga para petinggi,” ucap manajer mereka tegas, menatap satu per satu wajah di hadapannya. Suaranya datar tapi penuh tekanan.
“Sebenarnya saya tidak berniat memperpanjang masalah ini,” lanjutnya dengan nada yang lebih dingin, “tapi karena sudah terlanjur terdengar sampai atas, tentu seseorang harus bertanggung jawab atas semua ini.”
Udara terasa berat saat itu, seolah seluruh ruangan kehilangan oksigennya. Tak ada satu pun yang berani bicara.
“Jovita,” panggil sang manajer akhirnya, suaranya terdengar tegas memecah keheningan. Jovita spontan mengangkat kepalanya, menatapnya dengan waspada.
“Masalah ini terjadi karena kamu yang memicu kekacauan,” lanjutnya tanpa basa-basi. “Saya masih mencoba melunak padamu, jadi kamu cukup keluar dari tim. Posisimu sebagai ketua akan digantikan oleh Arum.”
Jovita mengernyit tajam, matanya membelalak tak percaya sebelum tawa getir lolos dari bibirnya. Bahkan Adam pun refleks menoleh, terkejut mendengarnya.
“Apa? Kenapa saya yang harus dikeluarkan dari tim?” tanyanya dengan nada penuh protes, nada suaranya meninggi karena emosi yang ditahan.
Manajer mereka hanya menghela napas, nada bicaranya tetap tenang tapi dingin. “Makanya dari awal jangan bikin keributan. Tempat ini buat kerja, bukan tempat ribut masalah rumah tangga.”
Jovita terkekeh sinis. “Oke, saya akui saya bikin masalah. Tapi dia,” ujarnya, menuding tajam ke arah Arum, “dia nyuri ide saya! Dan sekarang malah dijadiin ketua tim?” Suaranya bergetar, setengah marah, setengah kecewa.
“Sanksi macam apa yang justru bikin pencuri naik jabatan dan dapet keuntungan?”
Arum hanya meliriknya sekilas, senyum sinis terbit di sudut bibirnya. Wajahnya tenang, terlalu tenang.
“Jangan banyak protes,” ujar sang manajer dengan nada dingin, menyandarkan tubuhnya di kursi. “Keputusan ini sudah final. Anggap aja kamu masih beruntung, Jovita. Setidaknya saya gak pindahkan kamu ke divisi lain.”
Jovita menghela napas berat, nadanya nyaris seperti geraman. Emosi menumpuk di dada, membuat kepalanya berdenyut. Ia menatap Adam dengan sorot tajam yang penuh kecewa.
“Kamu gak mau ngomong sesuatu? Kamu juga tau gimana aku nyiapin ide itu,” ujarnya, suaranya bergetar menahan marah.
Namun Adam tetap diam. Pandangannya jatuh ke lantai, tak berani menatap balik.
Jovita terpaku sesaat, tak percaya orang yang dulu ia cintai dan percayai sepenuhnya kini memilih bungkam.
“Sialan,” desisnya lirih, penuh amarah dan luka. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah cepat keluar dari ruangan itu, meninggalkan semua pandangan yang menyorot punggungnya.
Jovita menjatuhkan diri di kursinya dengan wajah gelap. Tangannya mencoret-coret kertas HVS kosong memakai pulpen merah, begitu keras hingga kertas itu robek di tengah. Suara gesekan pulpen terdengar kasar, seolah menyalurkan semua amarah yang tak bisa diucapkan.
Sena yang duduk di sebelahnya menatap cemas. “Apa yang terjadi? Mereka bilang apa?” tanyanya hati-hati.
Jovita tidak menjawab. Matanya basah, bibirnya bergetar menahan emosi yang sudah memuncak. Air mata akhirnya jatuh juga, membasahi pipinya tanpa suara.
Sena hanya bisa menepuk bahunya pelan, mencoba menenangkan meski tahu, tak ada kata yang bisa memperbaiki luka itu sekarang.
Saat jam makan siang tiba, Jovita memilih pergi ke kafe bersama beberapa rekan setimnya dulu. Mereka sebenarnya bisa saja membuat kopi di pantry, tapi Jovita menolak mentah-mentah. Baginya, tempat itu kini menjijikkan. Ia masih bisa membayangkan Adam dan Arum yang berani melakukan hal memalukan itu di sana.
“Apa?!” seru Sena, hampir tersedak minumannya setelah mendengar penjelasan Jovita tentang sanksi yang dijatuhkan padanya. “Kamu dipindah?”
Jovita mengangguk lemas, menatap kosong ke arah cangkir kopinya.
Sena menggeleng tak percaya. “Apa-apaan ini? Harusnya yang dipindah itu Arum, bukan kamu.”
Rekan mereka yang lain ikut menyahut, wajahnya juga kesal. “Jadi maksudnya sekarang kita kerja di bawah pimpinan Arum?”
“Ah, gila. Dia kerja aja asal-asalan, tapi malah jadi ketua tim? Konyol banget,” tambah yang lain dengan nada muak.
Begitulah akhirnya. Jovita dipindahkan ke tim lain, sementara Arum menggantikannya. Rekan-rekan mereka kerap mengeluhkan kinerja Arum, ia tak layak menjadi ketua tim. Dalam rapat, Arum lebih sering diam atau sibuk dengan ponselnya daripada memimpin diskusi.
Jovita sendiri tetap bekerja dengan profesional, meski rasa kesalnya belum hilang. Ironisnya, ide yang dulu dicuri darinya justru tampak tak dikerjakan dengan benar. Ia bahkan ragu ide itu akan berhasil.
***
Hari mulai petang. Devan, yang biasanya betah lembur di kantor, kali ini sudah merapikan mejanya tepat saat jam pulang. Rekannya sempat heran melihatnya. Sebenarnya masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan, tapi barusan ia mendapat pesan, adiknya yang dua bulan lalu berangkat ke Jepang untuk pertukaran pelajar sudah kembali dan memintanya menjemput di bandara.
Sopir keluarga sebenarnya bisa saja diandalkan, tapi kebetulan keduanya berhalangan: satu sedang pulang kampung, dan satu lagi harus mengantar nenek Devan menjalani MCU di rumah sakit.
Devan menunggu di kafe dekat pintu kedatangan, laptop terbuka di depannya. Ia masih menyelesaikan beberapa berkas kasus, minggu ini ada empat sidang menunggunya. Sesekali matanya terarah ke papan informasi, memastikan pesawat adiknya sudah tiba.
Tak lama kemudian, seorang gadis remaja muncul sambil menyeret koper merah muda. Dialah Dania, adik tirinya. Ya, adik tiri. Ibunya dan ayahnya bercerai saat Devan masih SMA, lalu dua tahun kemudian sang ibu menikah lagi dengan seorang pria yang sudah memiliki anak perempuan berusia delapan tahun, Dania.
Awalnya, Devan merasa canggung. Di usia 20 tahun, tiba-tiba ia harus punya adik kecil. Tapi setelah tinggal serumah dan melihat kepolosan Dania yang selalu menempel padanya, ia perlahan luluh. Mereka jadi dekat. Namun seiring waktu, Dania tumbuh remaja dan Devan makin sibuk bekerja, hubungan mereka pun sedikit merenggang.
“Sumimasen, Devan-san desu ka?” sapa Dania dengan nada dibuat-buat, senyum jahilnya mengembang.
Devan mengangkat kepala, menatap adiknya itu, lalu menghela napas pelan. Tanpa menunggu izin, Dania sudah duduk di depannya. Matanya langsung tertuju pada laptop dan tumpukan berkas di meja. Ia mengernyit kecil, lagi di bandara pun masih sempat kerja, pikirnya heran.
“Kabarmu baik?” tanya Devan. Dania mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada laptop dan berkas-berkas di meja.
“Kenapa kerja di sini sih?” tanyanya heran.
“Karena aku harus jemput kamu,” jawab Devan santai sambil menutup laptop dan merapikan barang-barangnya. Ia lalu berdiri. “Ayo pulang.”
Dania menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Nanti dulu, aku capek banget duduk di pesawat hampir delapan jam,” keluhnya.
Akhirnya mereka duduk sejenak di kafe itu. Dania bahkan sempat memesan minuman sebelum akhirnya mereka pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan, Dania terdiam, menatap jalanan yang memantulkan cahaya lampu malam. Devan meliriknya sekilas.
“Gimana kabarmu di sana? Semuanya baik?” tanyanya, memecah keheningan.
Dania hanya bergumam singkat, lalu menoleh padanya. “Boleh gak aku pindah ke sana aja,” katanya pelan.
Devan menatapnya heran, lalu terkekeh kecil, sudut bibirnya terangkat. “Kenapa? Kamu punya pacar di sana?” godanya.
“Bukan begitu. Aku cuman males balik sekolah di sini,” ujar Dania lirih.
“Minta sama orang tuamu sana,” sahut Devan singkat, menutup percakapan di antara mereka.
Sebenarnya bukan tanpa alasan Dania ingin pindah ke Jepang. Ia merasa jauh lebih tenang dan nyaman saat tinggal di sana dibanding di negaranya sendiri. Ada sesuatu yang terjadi padanya, sesuatu yang membuatnya enggan kembali, dan lebih memilih menetap di negeri sakura itu.
Mereka akhirnya tiba di rumah besar tempat keluarga Devan tinggal. Di sanalah seluruh keluarganya menetap, termasuk neneknya, semua hidup di bawah satu atap. Kecuali Devan. Bukan karena ia tidak ingin, tapi jarak rumah ke kantornya terlalu jauh, dan perjalanan pagi yang macet membuatnya memilih tinggal di apartemen dekat kantor.
Setelah mengantar Dania pulang, Devan berniat langsung kembali ke apartemennya. Namun Rosmala segera memprotes, putranya yang jarang pulang itu, baru datang sebentar, sudah ingin pergi lagi.
“Tidur aja di sini. Emangnya ini rumah orang lain?” tanya Rosmala dengan nada kesal.
“Pekerjaanku ada di rumah, besok harus sidang,” balas Devan tenang.
Rosmala mendengus pelan. Mereka tinggal di kota yang sama, tapi rasanya seperti terpisah jauh.
“Kalau begitu, kamu ada waktu akhir pekan kan?” tanyanya lagi.
Devan mengangkat alis, matanya menyipit curiga. Kencan buta lagi? pikirnya. Namun rupanya bukan itu maksud sang mama.
“Temani mama. Ada restoran baru buka, mama mau coba ke sana,” kata Rosmala akhirnya.
Devan menghela napas panjang. Saat ia menolak dan menyarankan agar sang mama pergi saja dengan suaminya, Rosmala langsung menepis, berkata, “Mama mau sama kamu. Rasanya mama asing banget sama anak sendiri. Lagian, kalau mama udah gak ada, kamu nanti nyesel karena terlalu sibuk kerja sampai gak merhatiin mama.”
Devan terdiam. Jika Rosmala sudah mengucapkan kalimat seperti itu, ia tahu tak ada gunanya berdebat. Akhirnya, ia menyetujui permintaan itu. Namun tanpa ia sadari, ajakan makan malam bersama sang mama ternyata menyimpan maksud tersembunyi.