NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:398
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30 - Pagi yg Dipecahkan Panah

Malam merayap semakin dalam, dan Yarun’ru Beta berdiri berjaga di antara pohon-pohon yang tumbuh renggang.

Angin dataran tinggi membawa dingin yang menusuk, membuat dedaunan berdesir seolah ada langkah yang bersembunyi di balik gelap.

Mata dan telinganya tetap tajam, siap menangkap setiap tanda bahaya entah dari binatang liar yang lapar, serangga berbisa yang suka menyelinap, atau manusia yang memilih malam sebagai waktu menyerang.

Di seberangnya, Raka tertidur pulas, terbalut kain serat tanaman, terlihat tenang seakan dunia ini tak pernah menyimpan ancaman.

Napasnya yang teratur membuat Yarun’ru heran; betapa mudahnya ia terlelap di tanah asing seperti ini.

Yarun’ru menghela napas pelan.

Ia meraih botol kecil dari tembaga yang berkilat memantulkan cahaya unggun.

Hanya tersisa bau samar dari minyak akar wangi bekal terakhir untuk mengusir nyamuk malam dan ular kecil yang suka merayap di rerumputan.

Sudah habis.

“Masalah baru,” gumamnya lirih, menyimpan botol itu kembali ke kantongnya.

Tanpa minyak itu, ia harus lebih waspada.

Malam belum selesai, dan bahaya belum tidur.

Yarun’ru meraih kantong serat kecil di sisi Raka.

Di dalamnya, ia menemukan beberapa biji bulat berkulit keras kemiri yang sudah kering.

“Jadi ini yang kau pakai untuk minyak, Raka…” gumamnya pelan.

Kulit kemiri itu masih keras, tapi isinya tetap berminyak.

Kemiri memang tidak cepat kehilangan minyak, meski sudah lama disimpan.

“Untung saja dia membawa ini,” kata Yarun’ru, setengah kesal, setengah kagum.

Daging kemiri yang putih itu langsung ia remas dan tumbuk menggunakan batu bulat.

Awalnya hanya lembek… lalu saat ia menekan lebih kuat, terdengar krek halus dari serat daging kemiri yang pecah, dan kilau minyak muncul di permukaannya.

Yarun’ru menggesekkan pasta kemiri itu dengan rumput rase segar, meremas keduanya hingga aroma lembut bercampur: wangi tanah, sedikit manis, dan ada rasa hangat dari lemak kemiri yang baru keluar.

Ia menghirupnya pelan.

Lebih bersahabat daripada campuran milik Raka.

“Inilah yang seharusnya dipakai penjaga malam,” gumamnya puas.

Ia mengoleskan campuran itu ke leher dan lengan.

Aromanya membuat udara malam terasa lebih jinak, dan suara serangga yang sebelumnya tajam kini terdengar lebih jauh.

Yarun’ru duduk kembali, tongkat di pangkuan, mata tetap awas.

Api unggun berkeretap pelan, dan di balik gelap hutan, malam terasa seperti sedang mengintai.

Api unggun mulai meredup, menyisakan bara kemerahan yang bernafas pelan di antara kayu yang hampir menjadi abu.

Yarun’ru menunduk, menambahkan dua batang kayu kering.

Api kembali menyala kecil, cukup memberi cahaya agar bayangan di sekeliling tak berubah menjadi ancaman.

Ia menatap langit.

Di balik celah awan kanopi yang bergeser tipis, bulan muncul sebagai bulatan pucat temaram, tapi jelas.

Cahaya ini, jika menggantung tepat di atas kepala, selalu menjadi pertanda malam sudah setengah jalan.

“Waktunya,” gumamnya pelan.

Yarun’ru berdiri dan melangkah mendekati Raka yang tertidur membungkuk memeluk lutut.

Sentuhan ringan di bahu membuat Raka terbangun dengan cepat, matanya fokus dalam hitungan detik, seolah tubuhnya sudah terlatih membaca keadaan.

“Sudah giliranmu,” kata Yarun’ru dengan suara rendah.

Raka mengusap wajahnya sekali, lalu berdiri.

Tidak ada tanda lelah berlebihan bahkan napasnya stabil, membuat Yarun’ru sedikit kagum walau tidak memperlihatkannya.

Namun ia sempat ragu melihat hanya tombak batu di tangan Raka.

Dalam gelap seperti ini, satu senjata saja tidak cukup.

Yarun’ru melepas belatinya, menyerahkannya gagang lebih dulu.

“Ambil ini. Kalau ada yang mendekat terlalu cepat, tombak tak selalu cukup.”

Raka menerima tanpa banyak bicara, hanya mengangguk dan menempatkan dirinya di posisi penjaga.

Api kembali menghangatkan malam.

Dan Yarun’ru, setelah memastikan semuanya aman, akhirnya duduk bersandar pada akar pohon besar, membiarkan matanya perlahan tenggelam ke dalam tidur yang singkat namun sangat dibutuhkan.

Raka melirik sekilas ke arah Yarun’ru Beta yang kini tertidur… atau lebih tepatnya, terlelap sambil duduk.

Punggungnya bersandar pada batang pohon kecil, kedua lutut tertekuk, dan satu tangan tetap menggenggam gagang pedang seolah tubuhnya menolak melepaskan kewaspadaan.

Bahkan dalam tidur, dada Yarun’ru naik turun dengan ritme pelan tapi tegang seperti hewan pemburu yang hanya memejamkan satu sisi kesadarannya.

Raka menggeleng kecil.

Begitulah Yarun’ru setiap malam: tidak pernah benar-benar berbaring, tidak pernah menyerahkan punggungnya pada tanah.

Ia tidur dengan cara orang yang terbiasa hidup di wilayah berbahaya, tempat bayangan ular air bisa menyelinap diam diam, atau moncong buaya muda bisa muncul dalam hitungan detik tanpa suara.

Refleks seperti itu tertanam dalam tubuhnya sebuah naluri bertahan hidup yang terus menyala.

Di matanya, Yarun’ru tampak seperti pelindung yang tak disuruh, seseorang yang memandang setiap suara angin sebagai ancaman, dan setiap malam sebagai ujian.

“Seperti melindungi seorang bangsawan…” gumam Raka lirih.

Bukan karena ia merasa pantas diperlakukan begitu, tetapi karena Yarun’ru menjalankannya tanpa diminta.

Sikap itu membuat Raka merasa sekaligus aman… dan bersalah.

Yarun’ru tidur duduk demi tetap bisa bangkit dalam sekejap.

Dan Raka tahu persis kebiasaan itu berasal dari masa kecil penuh ancaman, bukan dari kenyamanan.

Bunyi serangga perlahan mereda, menyisakan denting malam yang lebih sunyi pertanda setengah malam telah.

Raka menghirup udara dalam, dan ada wangi yang tak ia kenal sebelumnya: lembut, adem, seperti tanah basah yang baru dicium embun.

Ia menunduk sedikit… lalu tersenyum tipis.

Aroma rumput rase bercampur kemiri.

“Jadi kau bisa membuat ini,” gumam Raka pelan, nada kagum tak bisa ia sembunyikan.

Ia baru menyadari sisa-sisa rumput yang diremas dan serpihan kemiri yang menempel di batu pipih.

Bahkan dalam gelap, ia bisa melihat kilau minyak tipis yang masih tertinggal di jari Yarun’ru yang kini tertidur duduk, punggung bersandar pada batang pohon, pedang masih terselip di pinggang, seolah sewaktu-waktu bisa bangun dan menyerang balik.

Raka mengangkat alis.

“Dia membuatnya… dadakan,” bisiknya pada diri sendiri.

Yarun’ru memang selalu terlihat seperti itu.

Tapi malam ini, Raka melihat sesuatu yang lain: seseorang yang selalu mengambil alih tanggung jawab tanpa diminta, yang tidak pernah tidur penuh demi orang lain.

Minyak yang ia buat jelas tidak banyak paling cukup untuk mengusir serangga selama beberapa jam saja.

Namun baunya terasa lebih nyaman dari pada racikan Raka sendiri.

Raka duduk pelan-pelan, agar tidak membangunkannya.

“Terima kasih… Yarun’ru,” ucapnya tanpa suara.

Ia mengencangkan belati pemberian Yarun’ru di pinggangnya, lalu menatap ke gelap, mengambil alih tugas jaga.

Malam terasa kurang menakutkan dengan aroma rase-kemiri yang masih menggantung di udara.

Rumput rase tumbuh di tanah terbuka yang retak-retak, tempat angin dataran tinggi menggeseknya siang malam.

Karena itulah aromanya kuat akar yang menggali batu membuatnya menyimpan bau tanah dan embun.

Raka menarik napas panjang ketika melihat botol bambu itu hanya menyisakan noda lengket kecokelatan. “Habis juga…” gumamnya pelan.

Ia mengambil batu sebesar tapak tangan batu di kantong kain serat yang permukaannya cekung alamiah, mungkin pernah ditimpa arus air selama ratusan musim.

Batu itu ia letakkan di dekat bara api yang masih menyimpan merah kecil di bagian bawah kayu.

Dari kantong kecilnya, Raka mengeluarkan tiga biji kemiri kering. Kulit kerasnya ia pecahkan dengan sisi lain batu, lalu memunguti daging putih di dalamnya.

Ia menumbuk hingga halus dan menaruh kemiri itu ke dalam cekungan batu, lalu menuang sedikit air.

Saat uap tipis mulai naik dari cekungan yang hangat, minyak perlahan keluar dari daging kemiri, membentuk lapisan mengambang keperakan di permukaan air.

Raka mengaduknya perlahan dengan batang kecil.

Butiran minyak itu mulai berkumpul, menebal, dan tercium aroma khas kemiri yang lembut.

Namun minyak saja tidak cukup.

Ia meraih segenggam rumput rase yang ia kumpulkan daunnya ramping, berdagu tajam, mengeluarkan bau dingin jika diremas.

Raka menggulung daun-daun itu di antara kedua telapak tangannya, menghancurkannya sampai serat-seratnya pecah dan air bening kehijauan merembes keluar. Cairannya mengeluarkan aroma lembut seperti embun pagi di batu basah.

Ia memeras rumput rase itu langsung ke minyak kemiri yang masih hangat. Tetesan cairan itu jatuh perlahan, bercampur dengan kilap minyak yang mengapung.

Ketika kedua aroma itu bertemu lembut hangat dari kemiri, segar dingin dari rase muncul wangi yang menenangkan.

Raka mengaduknya sekali lagi, lalu meniup pelan permukaannya untuk memisahkan minyak dari air.

Dengan sendok dari daun yang rumbuh sekitar, ia mengangkat minyak campuran itu, memindahkannya ke wadah bambu kecil.

“Akhirnya jadi juga…” bisiknya lega.

Minyak itu cukup untuk satu malam jaga dan terhindar dari serangga pengganggu.

Yarun’ru Beta terbangun dengan sentakan pendek refleks yang tertanam sejak usianya belum genap lima siklus.

Tangan kirinya langsung meraih gagang di pinggang sebelum otaknya benar-benar sadar dari tidur.

Namun yang pertama ia rasakan bukan ancaman.

Melainkan… hangat.

Ia menunduk, heran menemukan dirinya terselimuti kain serat beraroma lembut rase.

Aroma segar yang dingin itu menempel di kain, membuat dadanya terasa ringan.

“…Rase?” gumamnya, alis terangkat.

Ia bangkit perlahan, mata menyapu sekeliling.

Dan saat itulah ia melihatnya.

Serangga-serangga besar yang biasanya mendekat kini tergeletak mati dalam radius tiga atau empat langkah.

Beberapa seperti tertusuk belati, sebagian bekas hangus api, dan ada yang tampak dipukul dengan ujung tongkat.

Yarun’ru terdiam sejenak.

Ia mendongak melihat Raka yang sedang duduk bersandar, mengasah tombak batu rijang.

“Kau yang melakukan semua ini?” suara Yarun’ru agak serak, lebih karena bingung daripada marah.

Raka mengangguk ringan.

“Aku tak mau kau tidur sambil digigit serangga sebesar jempol.

Kau jaga setengah malam.

Sisanya tugasku.”

"Serangga sebagian dibunuh karena mendekati api, sebagian diusir, sebagian lari karena wangi rase-kemiri makin kuat."

Yarun’ru menelan ludah.

Sebagai putra Ama, ia dilatih sejak usia lima tahun oleh Rana,

bangun dengan mata terbuka,

tidur dengan satu telinga selalu siaga,

dan jangan pernah biarkan orang lain bertarung untukmu.

Karena itu, mengetahui dirinya tertidur tanpa sadar, bahkan sempat diselimuti, hampir membuatnya tidak nyaman.

Tapi aroma rase yang lembut… dan kehangatan kain itu…

“…Aku tertidur terlalu dalam,” bisiknya, seperti mengakui kekalahan kecil.

“Bukan salahmu,” jawab Raka tenang. “Minyak rase yang kau buat semalam tidak bertahan lama jika tidak di masak kemirinya. Aku hanya menyempurnakan, itu saja.”

Yarun’ru memandangnya lama, sulit percaya seseorang dari barat bisa bergerak secepat itu di tengah kegelapan.

“Jika semua malam seperti ini,” katanya lirih, “aku tidak seharusnya tidur selelap ini.”

Ada nada lega, sedikit malu, dan… mungkin rasa hormat yang baru tumbuh.

Cahaya pagi menyelinap pelan melalui sela-sela pepohonan dataran tinggi. Embun masih menggantung di ujung rumput, berkilau seperti butiran kaca kecil.

Yarun’ru mengusap wajahnya, mencoba memahami apa yang ia lihat saat bangun.

Di sekeliling tempat mereka beristirahat, rumput kering tampak berantakan dan lebih aneh lagi, ada beberapa serangga berukuran besar tergeletak diam.

Seekor kumbang tanah besar terbalik dengan kaki-kaki gemuknya menendang lemah ke udara.

Di dekatnya, laba-laba dataran tinggi sebesar tangan bayi menggeliat pelan, seperti mabuk aroma harum yang masih tersisa dari rumput rase.

Dua kalajengking batu kecil merayap limbung, capitnya terbuka tetapi gerakannya lambat dan tak terkoordinasi.

Seekor ngengat mengepak pelan, sayapnya lemah seolah tertutup kabut tipis.

“Ini… semua karena minyak kemiri dan rase semalam?” gumam Yarun’ru, masih separuh tak percaya.

Raka hanya mengangguk sambil memeriksa jejak di tanah.

“Bau rase yang tersisa bikin mereka pusing. Tak bisa lari, tak bisa menghindar.”

Beberapa detik kemudian, semak-semak bergerak.

Muncullah tiga musang gunung, tubuhnya ramping, bulunya kecokelatan dengan garis hitam di sepanjang punggung.

Hidungnya mencium-cium udara cepat mencari sumber makanan.

Salah satu musang mendekati kumbang tanah besar.

Tanpa ragu, ia menerkam dan menggigit bagian punggung sang kumbang, menyobeknya dengan suara renyah.

Dua musang lainnya berebut laba-laba dan ngengat yang tak berdaya.

Tak jauh dari mereka, dari sela akar pohon, muncullah semut gunung rahang panjang.

Ukurannya hampir sepanjang jari kelingking, rahangnya melengkung dan tajam. Mereka bergerak dalam barisan kecil, seperti pasukan yang tahu tugasnya.

Begitu menemukan kalajengking batu yang lemah, semut-semut itu langsung menyerbu.

Rahang panjang mereka mencapit kaki dan ekor kalajengking, mengangkat tubuh kecil itu sedikit demi sedikit, menyeretnya menuju sarang.

Yarun’ru tercengang.

“Aku tak pernah melihat pagi seaneh ini.”

Raka tersenyum kecil sambil merapikan kantong seratnya.

“Di dataran tinggi… pagi tidak selalu tenang.

Kadang justru terlihat jelas siapa pemburu, siapa yang diburu.”

Angin lembut meniup bau kemiri dan rase yang sudah menipis.

Para musang terus menikmati santapannya, semut gunung bekerja cepat, dan serangga-serangga yang semalam mengganggu kini menjadi sarapan bagi penghuni liar dataran tinggi.

Yarun’ru menarik napas panjang.

“Kalau begitu, kita selamat bukan hanya karena minyakmu… tapi karena alam juga ikut menjaga.”

Raka mengangguk pelan.

“Atau… alam hanya mengambil bagian yang tersisa.”

Yarun’ru mengamati sambil menggeliat meregangkan punggung.

“Kalau setiap pagi begini, kita tak perlu repot membersihkan sekitar kemah,” gumamnya separuh bercanda.

Raka hendak menjawab, tapi sesuatu berubah angin yang tadinya tenang tersayat oleh suara halus, seperti bisikan tajam dari arah pepohonan jauh.

Sret—!!!

Sebuah anak panah melesat, begitu cepat hingga hanya tampak bayangannya sebelum menghantam dada Yarun’ru.

Suaranya keras seperti dua batu disatukan.

TAK!

Yarun’ru terhuyung satu langkah ke belakang.

Raka membelalak namun segera melihat panah itu memantul ke tanah.

Jirah perunggu Yarun’ru retak sedikit, tapi menahan seluruh hantaman.

Belum sempat mereka bernapas.

Srettt!!

Panah kedua dilepaskan dari arah yang sama lebih tepat, lebih cepat, lurus ke arah Raka.

Yarun’ru menoleh dan matanya langsung melebar.

“AWAS, RAKAA!!”

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!