Seorang dosen mengalami gangguan aneh bersama dengan mahasiswi baru.
Kampus yang terkenal cukup banyak penunggunya itu memang jarang mengganggu penghuni sekitar. Tapi tidak untuk kali ini. Teror semakin hari justru semakin kencang dan memanas.
Apa yang sebenarnya telah di lakukan dosen tersebut? Mengapa teror tiba tiba muncul dalam waktu satu hari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝖨'𝗆 𝖱𝗂𝗌, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 (Konflik Memuncak)
Akhirnya Ujian Akhir Semester kini telah usai. Tanpa dirasa, liburan semester genap ada di depan mata.
Seorang pria jangkung bersetelan kemeja putih favoritnya terlihat sedang duduk di bangku tunggu depan gedung. Wajahnya lelah sekaligus lega setelah cobaan yang menganggunya akhir-akhir ini, akhirnya ia bisa beristirahat dengan tenang dan damai.
Liam tak mengerti, mengapa UAS tahun ini terasa begitu panjang dan menjengkelkan baginya.
Meski ia sudah sering melihat penampakan wanita tersebut, hantu itu menampakkan dirinya tak sesering akhir-akhir ini. Dalam arti, dua Minggu penuh Liam dihantui dan hampir setiap hari.
Liam pikir, hanya dirinya yang diganggu. Karena sepengetahuan dirinya, orang-orang yang diganggu hanya ketika berada di gedung K. Namun dirinya, tidak seperti mereka. Seolah hantu itu terus mengikutinya kemanapun ia berada. Bahkan ketika di rumah sekalipun.
Liam hanya bisa berdo'a semoga liburannya nanti bisa menjadi liburan yang layak sehingga ia bisa menikmatinya.
Akan tetapi, Liam tak sepenuhnya libur bersamaan dengan mahasiswa. Liam tetap diharuskan melakukan pekerjaan seperti menyusun materi perkuliahan, penelitian dan rekap nilai. Belum lagi acara rapat akademik.
Banyak tugas yang menantinya kala libur semester.
Liam membuka ponselnya untuk menghubungi Dyra sebelum pulang. Ia juga ingin menyempatkan diri ke kafe untuk melepas penat.
Mulailah ia berjalan ke parkiran.
Ketika sampai di dekat motornya, Liam menyadari kalau motornya tengah menyala padahal kuncinya ia bawa.
Bukan hanya motor yang menyala, tapi ia melihat rambut diatas sadel motornya.
Tangannya meraih rambut tersebut, terasa sangat kering dan panjang. Ia lalu membuang rambut itu ke tanah.
Satpam parkir yang ditanyai Liam pun menjawab dengan gelengan. Si Satpam juga meyakinkan tak ada seorangpun yang menyentuh maupun mendekati motor Liam.
Ditengah kebingungannya itu, ia mendengar suara berat familiar menyapanya,
"Pulang dulu, Li!"
Pak Toni melambaikan tangannya ke arah Liam sambil lewat di dekatnya. Ia mendekati Liam untuk mengobrol sebentar.
"Eh, Pak Toni..." kata Liam.
"Kok melamun? Ada masalah?" tanya Pak Toni yang menyadari raut muka Liam sedang memikirkan sesuatu.
Liam pun berkata dirinya baik-baik saja. Hal itu malah membuat Pak Toni penasaran, ia bertanya,
"Li, beberapa hari ini aku sering melihatmu kehilangan fokus. Sebenarnya ada apa, Li?"
"Ah, nggak... itu hanya perasaan Pak Ton saja" jawab Liam sambil tersenyum kecil.
"Nggak Li, jelas-jelas kamu lagi ada masalah. Apalagi yang pas kamu jatuh di toilet kala itu" ujar Pak Toni lagi, ia yakin betul kalau Liam menyembunyikan sesuatu dibalik jawabannya yang 'baik-baik saja' itu.
"Itu hanya kecelakaan kecil, Pak. Nggak masalah, lah" jawab Liam sambil mengibaskan tangannya.
Pak Toni pun undur diri dengan perasaan yang janggal terhadap Liam.
Sedangkan Liam bergegas menaiki motornya dan melaju menuju tempat kafe langganannya.
...----------------...
*Kringggg*
Suasana kafe yang tenang menyambutnya. Tak ramai, tak juga sepi. Separuh meja di kafe itu dipenuhi pelanggan.
Feriz dan Glen menyambut Liam dengan bersemangat, tapi tidak dengan Jack yang acuh tak acuh ketika Liam datang.
Mata Liam menatap ke arah Dyra yang sibuk mengaduk secangkir kopi di depan mesin espresso.
"Hey, hey, baru datang langsung main lirik saja!" ucap Feriz sambil menghampiri Liam.
"Nggak ah, mana mungkin. Aku melihat ke arah mesin espresso yang ada di sana" jawab Liam, mukanya memerah.
"Hai Liam! Aku buatkan kopi, nih" suara Dyra menyahut percakapan. Ia berjalan mendekati Liam sambil memberikan secangkir kopi yang baru saja ia buat.
"Engg... ini buatku?" tanya Liam.
"Awalnya aku mau menyeduh kopi tapi kamu datang, buat kamu saja" ucap Dyra, raut mukanya tampak lebih bahagia ketika Liam datang.
"Diam-diam Dyra lumayan peka, nih" goda Feriz.
"Ah, aku jadi iri" sahut Glen.
Liam tersenyum kecil ditengah sorakan kedua temannya itu.
Mereka bertiga akhirnya bertukar kabar dan berbagi cerita satu sama lain.
Liam merasa janggal seperti ada yang kurang diantara mereka.
"Eh, si Jack..." pelannya sambil melirik ke arah Jack duduk di depan mesin kasir, kedua tangannya terus memainkan ponsel.
Feriz menoleh ke arah Jack, ia berkata kepada Liam,
"Dia menghindarimu, Li. Kemarin aku sudah ajak dia mengobrol untuk berbaikan padamu, tapi dia malah langsung pergi begitu saja"
"Jack masih marah padaku...?" tanya Liam.
"Kan memang begitu. Lihat saja, biasanya kalau kamu datang juga si Jack ikut menyapa" jawab Glen.
"Loh, kamu ada masalah apa sama Jack?" kali ini Dyra yang bertanya.
Liam menceritakan semuanya kepada Dyra, termasuk alasan Jack marah kepadanya.
Dyra menatap ke bawah, sorot matanya merasa bersalah.
"Jack, aku mau-" belum selesai Liam berbicara, Jack langsung berdiri dan berjalan ke arah gudang.
Melihat itu, Dyra segera menghampiri Jack untuk menyeselaikan cek cok diantara pacarnya dan teman kerjanya itu.
"Jack, tolong maafkan Liam" mohon Dyra kepada Jack.
Jack diam, ia menatap Dyra dalam.
"Lagipula, Liam nggak sepenuhnya bersalah... ini bukan salahnya..." kata Dyra.
"Nggak Ra, aku mau sendiri dulu sekarang. Tinggalkan aku" jawab Jack dingin sambil berlalu meninggalkan Dyra.
Mereka berempat berkumpul di salah satu meja. Feriz menjelaskan bahwa, Dyra telah menceritakan semuanya yang ia alami. Tetapi, Dyra tak menceritakan mata batinnya yang sengaja dibuka.
Meski Jack sudah tahu jelas kalau hal ini bukan salah Liam, tetap saja ia enggan memaafkan Liam. Hatinya masih panas dan shock mengetahui Dyra hampir kehilangan nyawa.
"Aku senang kamu sekarang jauh lebih membaik dan sehat, Ra" kata Feriz sambil menatap Dyra.
"Semoga saja kejadian yang sama tak terulang lagi" sahut si Glen.
"Siapa juga yang mau kesurupan!" omel Dyra sambil memukul bahu Glen pelan.
Mereka berempat pun tertawa bersama. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka.
"𝘉𝘪𝘴𝘢-𝘣𝘪𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘢𝘸𝘢 𝘭𝘦𝘱𝘢𝘴 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘮𝘱𝘪𝘳 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘋𝘺𝘳𝘢 𝘤𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢..." kata Jack dalam hati.
Terlihat Jack tengah mengawasi mereka berempat dari sisi pintu gudang. Tatapannya tajam ke arah Liam.
Hal itu disadari oleh Liam yang tak sengaja menoleh ke arah pintu gudang. Mengetahui dirinya kontak mata dengan Liam, si Jack pun dengan gesit langsung masuk ke dalam.
"Aku ke gudang dulu, ya. Mau ngobrol sama Jack" ucap Liam setelah menyeruput kopi buatan Dyra.
Mereka bertiga tak mencegah Liam, berharap Liam menyelesaikan percekcokannya dan konflik ini segera berakhir.
...----------------...
Sampai di dalam gudang, si Jack sedang duduk sambil jarinya sibuk mengetik di ponselnya.
Liam menghela nafas, langkahnya mendekat ke Jack. Walaupun ia tahu apa yang akan Jack lakukan kalau ia mendekatinya, Liam tetap mencoba mengajak Jack berdamai.
"Mau ribut, lagi?" ucap Jack, ia meletakkan ponselnya dan menatap Liam datar.
"𝘏𝘶𝘧𝘵, 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘯𝘨𝘰𝘮𝘰𝘯𝘨..." batin Liam, tapi ia tak menyerah.
"Jack, aku mau berbica-"
Lagi-lagi Jack memotong kalimat Liam, ia berkata,
"Nggak ada yang perlu dibahas"
"Astaga, dengarkan aku dulu..." kata Liam sambil melangkah pelan ke arah Jack.
"Jack, aku minta maaf atas kesalahanku. Mari kita akhiri permusuhan ini. Nggak enak berlama-lama terus memendam kebencian kepada teman seperti ini" ucap Liam.
Jack berdiri dari tempat duduknya, ia membalas Liam,
"Aku nggak bisa memaafkanmu. Hatiku masih sakit, Liam" nadanya terdengar penuh tekanan dan rasa sakit.
"Sudahlah, suasana sekarang sudah membaik, kan? Pertemanan kita juga terjalin seperti semula" jawab Liam.
"Pertemanan apa?!" bantah Jack sedikit meninggikan suara.
"Orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri apakah pantas disebut teman?" katanya lagi, nadanya kali ini terdengar seolah mengintimidasi.
"Tenangkan dirimu, Jack. Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin" ucap Liam.
"Nggak!" bantah Jack.
"Kau telah membuat Dyra celaka! Dan sekarang kau bisa tersenyum seolah tak bersalah..." lanjutnya, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Liam.
"Teman macam apa yang nyaris merenggut kebahagiaan temannya sendiri?" ucap Jack, nadanya penuh emosi.
"Ke.. Kebahagiaan? Maksudmu?" tanya Liam tak mengerti.
"Yap benar sekali. Dyra adalah sumber kebahagiaanku..." kata Jack lirih, matanya daritadi sudah memerah.
"Jangan bilang kau... kau..." Liam mencoba menebak apa maksud Jack.
"Iya, aku mencintai Dyra" satu kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Jack.
Ia melangkah mundur. Bahunya lemas. Sorot matanya memancarkan kekecewaan mendalam.
Awalnya memang Jack tak ingin memberitahukan perasaannya pada siapapun. Ia ingin menembak Dyra di saat yang tepat. Tapi, di hari sama, Liam lebih dulu mengajak Dyra mengobrol empat mata dan mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain.
Waktu itu, si Jack tak kesal apalagi marah. Ia berusaha tegar dan memahami bahwa kebahagiaan Dyra adalah yang terpenting baginya. Walaupun bukan bersamanya.
Maka dari itu, diam-diam Jack peduli. Termasuk ketika kondisi perubahan sikap Dyra tempo hari. Ia tak bisa berhenti memikirkan gadis yang ia cintai itu.
Itulah alasan kenapa Jack bisa semarah itu pada Liam, karena ia sangat tak sanggup jika harus kehilangan Dyra. Rasa kekhawatirannya terlalu berlebihan karena ia juga sangat mencintai Dyra.
Jack menjelaskan semua itu pada Liam. Air matanya mulai menetes, otot bagian lehernya terlihat menonjol, suasana sangat tegang di dalam gudang cafe itu.
Liam menatap Jack tak percaya. Ternyata ia juga punya perasaan yang sama seperti perasaannya ke Dyra.
"Aku menyukainya sejak ia bekerja di kafe ini... aku menyukainya lebih dulu darimu" kata Jack sambil terisak.
"Aku mempercayakan Dyra padamu agar kau bisa menjaganya tapi kenapa kau yang membuatnya celaka?" ucap Jack.
"KENAPAAAAAA ???!!!" ia mulai berteriak kencang, emosinya lepas kendali.
Mendengar teriakan Jack yang menggema, teman-temannya segera menghampiri Jack dan Liam.
Pemandangan yang mereka lihat di dalam gudang jauh lebih buruk dari dugaan mereka.
Jack tengah mencengkram kerah baju Liam dan menyudutkannya ke dinding. Sambil menahan tangis, Jack terus menatap Liam jijik.
"Woi Jack! Lepaskan Liam!" tegur Glen.
Jack melepas kerah Liam, ia ganti menatap Glen.
"Kau juga Glen, kau membelanya?"
"Iya lah, jelas Liam tak bersalah, kau lebih dewasalah sedikit" bantah Glen yang sudah muak dengan sikap Jack.
"Tak bersalah?" ucap Jack sambil mengacak rambut bagian belakangnya dan menghela nafas berat.
"Kalian bertiga memang brengsek. Lebih membela si pecundang ini daripada aku" kata Jack, jarinya menunjuk ke arah Liam yang berada di belakangnya.
"Yang pecundang itu dirimu. Egois dan nggak mau mengerti" jawab Glen, tatapannya menjadi tajam ke arah Jack.
"Aku yang seharusnya berkata begitu!" kata Jack tak mau kalah, nadanya semakin meninggi.
"Sudah! Kalian ini kenapa malah memperburuk suasana? Ingat ya kita lagi di kafe bukan di lapangan. Jangan seenaknya teriak-teriak seperti ini. Bersikaplah profesional" lerai Feriz, ia berjalan menengahi Glen dan Jack.
"Glen... kalau bukan karena ada Dyra disini, aku sudah keluar dari pekerjaan ini" Jack sedikit menekankan suaranya, tatapannya penuh dendam ke Glen.
"Aku pulang!" ucapnya sambil melepas celemek dan melemparnya begitu saja.
Jack kemudian pergi melangkah keluar kafe dengan perasaan emosi yang tak tertahankan.
"Ahem... kami mohon maaf ketidaknyamanannya atas keributan barusan. Silahkan kembali menikmati waktu anda sekalian" ucap Feriz penuh profesional sambil tersenyum canggung kepada para pelanggan yang masih ada di kafe.
Feriz kembali masuk ke dalam gudang. Ia menepuk bahu Glen dan berkata,
"Kita tahu kan sikap Jack seperti apa? Jack itu dari dulu memang emosional. Amarahnya kerap meledak-ledak"
"Yahhh, aku tahu, Riz. Habisnya aku sendiri juga sudah muak sama Jack" jawab Glen, hatinya merasa menyesal telah membuat temannya kecewa.
Dyra mendekati Liam yang masih berdiri di tempatnya.
"Aku minta maaf, ya. Kalau saja aku nggak dirasuki pasti semua akan baik-baik saja" kata Dyra kepada teman-temannya, termasuk Liam.
"Nggak, Ra. Nggak ada yang menyalahkanmu" balas Feriz.
"Tapi... kenapa Jack bilang kalau bukan karena ada Dyra di kafe ini, ia pasti akan resign. Kalian mengerti?" ucap Glen yang curiga dengan perkataan Jack sebelum temannya itu meninggalkan kafe.
Feriz dan Dyra terdiam, tapi Liam menyahut,
"Aku mengerti"
Seketika tatapan mereka bertiga mengarah ke Liam. Tampaknya mereka menunggu kelanjutan kalimat Liam.
"Jack mencintai Dyra. Karena itulah ia sesakit itu mengetahui Dyra yang nyaris kehilangan nyawanya. Ia menganggapku tak becus menjaga Dyra" Liam menjelaskan semua yang ia dengar dari pengakuan Jack.
Raut muka Feriz dan Glen terlihat kaget. Artinya mereka memang tak menyadari ada yang menaruh perasaan sembari bekerja selama ini.
Dyra menatap Liam. Bibirnya sedikit terbuka karena terkejut. Liam menatap balik Dyra dan berkata,
"Jack benar-benar mencintaimu"
Mereka bertiga terdiam. Masing-masing telah mengerti alasan dibalik kemarahan Jack.
*Kringggg*
Pintu kafe dibuka, tanda ada pelanggan masuk.
"Pantas saja. Kalau di pikir-pikir, mengapa Jack sekhawatir itu jika ia tak punya perasaan khusus pada Dyra" kata Feriz sebelum akhirnya ia kembali ke pekerjaannya. Begitu juga dengan Glen.
...****************...
...****************...
...****************...