Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Tunangannu
“Juna, kamu baik-baik saja?” tanya Nuri dengan suara serak, matanya merah sembab. Mereka duduk terdiam di kursi tunggu rumah sakit setelah dokter resmi menyatakan Elsa meninggal dunia satu jam yang lalu.
Juna hanya mengangguk pelan, namun air matanya jatuh mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat. “Aku… aku merasa hancur, Nuri. Elsa adalah segalanya bagiku,” suaranya bergetar menahan duka yang begitu dalam.
Nuri menggenggam tangan Juna erat, berusaha menyalurkan kekuatan yang sebenarnya ia juga tidak mempunyai kekuatan itu. “Aku tahu, Jun. Aku pun kehilangan sahabat terbaikku. Dia orang yang luar biasa, seseorang yang tidak mudah kita lupakan.”
Di sudut lorong rumah sakit yang remang, tak jauh dari kursi mereka duduk, Anna berdiri membeku. Matanya menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk, hati kecilnya bergemuruh.
“Kenapa aku merasa sakit melihat Juna seperti itu, Bukannya aku ini tunangannya, sesedih itukah ditinggal mati Elsa, lalu kalau aku yang mati, apa masih sama seperti itu kesedihannya?” gumamnya pelan, tangan terkepal di dada, seolah mencoba meredam gelombang emosi yang bergolak. Pikiran Anna berkelana pada perasaan cintanya pada Juna, tetapi faktanya Juna masih mencintainya Elsa.
Di luar jendela, langit berawan tebal menggulung menutupi sinar matahari sore, seperti lukisan duka yang menyelimuti hati-hati yang tersisa. Elsa, gadis berhati lembut dengan senyum yang dapat mencerahkan hari siapa saja, kini telah pergi selamanya.
“Juna, kalau kamu butuh apa-apa, aku di sini. Jangan sungkan, ya,” kata Nuri sembari mengusap pipinya yang basah oleh air mata.
Juna menghela napas berat, mencoba mengumpulkan sisa kekuatannya. “Terima kasih, Nuri.”
Nuri tersenyum kecil, berusaha menenangkan sahabatnya. “Kamu harus kuat, Jun. Elsa ingin hanya yang terbaik untukmu, dan kebahagiaanmu.”
Tiba-tiba pintu ruang tunggu terbuka pelan. Seorang suster datang menghampiri Anna dengan langkah mantap, membawa dokumen-dokumen administrasi. “Maaf, siapa yang bertanggung jawab atas pembayaran administrasi pemulangan jenazahnya?” tanya suster dengan nada sopan.
Anna menatap Nuri dan Juna yang masih terisak, sibuk dengan kesedihan masing-masing. Ia tersenyum lembut pada suster, lalu mengambil dokumen itu dari tangannya. “Biar saya saja, Sus. Mereka masih sangat bersedih.”
Suster mengerutkan alis, memastikan. “Anda siapanya mereka?”
“Saya teman mereka,” jawab Anna singkat.
Suster mengangguk dan membimbing Anna untuk ke bagian administrasi. Saat Anna melihat tagihan rumah sakit, ia terkejut. Nominal yang tertera membuatnya tercengang, jika dirupiahkan mencapai delapan ratus juta rupiah.
“Sus, ini... tidak salah, kan?” tanyanya ragu.
“Tidak, Nona. Itu sudah termasuk biaya seminggu di ICU, dan biaya tambahan minggu ini yang tidak ditanggung asuransi kesehatan almarhum. Juga termasuk biaya tiket pesawat untuk pemulangan jenazah, ambulance dari bandara negara asal ke Indonesia, semua sudah diurus rumah sakit kami. Jadi keluarga tinggal terima beres,” jelas suster dengan sabar.
Anna mengangguk pelan, menarik napas panjang. “Ya sudah, nanti saya minta ganti sama Juna,” batin Anna sambil merogoh tasnya dan mengeluarkan kartu kredit.
“Sus, setelah ini tolong dokumen serah terimanya berikan langsung sama tuan Juna, ya.”
“Baik, Nona. Maaf, ini atas nama siapa, ya?”
“Anna,” jawabnya sambil tersenyum.
Setelah menyelesaikan urusan, Anna kembali ke hotel tempat ia menginap dengan pikiran yang campur aduk. Sementara itu, jenazah Elsa mulai dipulangkan ke Indonesia dengan pesawat. Juna dan Nuri ikut dalam penerbangan itu, tenggelam dalam keheningan dan kesedihan, seolah melupakan keberadaan Anna.
Jenazah Elsa tiba di tanah air dan langsung dikebumikan walaupun tengah malam. Asisten rumah tangga Elsa yang diberi tahu oleh Nuri mengatur pemakamannya. Juna dan Nuri melewati malam tersebut dengan hati remuk, didampingi asisten rumah tangga yang setia.
Ketika malam mulai larut, seorang petugas rumah sakit mendekati Juna sembari menyerahkan sebuah map. “Maaf, Tuan. Ini berkas-berkas yang harus ditandatangani.”
Juna membuka map itu, matanya membelalak saat melihat nama pada dokumen pembayaran tagihan rumah sakit. “Anna?”
“Ya, Tuan. Orang yang melunasi semua administrasi rumah sakitnya,” jawab petugas.
Juna menunduk, bisik hatinya penuh sesal. “Astaga... aku sampai melupakan Anna.”
“Terima kasih, Pak,” ucap Juna lembut sambil menerima dan menandatangani berkas itu.
Ia menatap nominal yang tertera, dan nama Anna yang tercantum di sana. “Kenapa dia mau membantu Elsa?” gumamnya pelan, suara penuh rasa ingin tahu dan haru.
“Jun, kok Anna tidak kelihatan?” tanya Nuri tiba-tiba, baru menyadari keberadaan Anna yang tidak ada di sekeliling mereka.
Juna mengamati sekeliling pemakaman, namun memang Anna tidak ada. Ia mengingat-ingat perjalanan mereka, dan benar, Anna memang tak pernah terlihat di sekeliling mereka.
Merasa gelisah, Juna segera meraih ponselnya dan menghubungi Anna berkali-kali. Tapi panggilan itu tak pernah diangkat.
Malam semakin larut, udara di pemakaman dingin menggigit. Juna berdiri terpaku, bingung akan sosok Anna yang tiba-tiba menghilang seperti bayangan yang tak bisa direngkuh.
“Nuri, sebaiknya kita pulang. Sudah mau pagi. Bibi, kami pulang dulu ya. Besok kami ke rumah lagi,” pamit Juna pada asisten rumah tangga Elsa.
“Iya, Pak. Terima kasih sudah mau mengantarkan non Elsa untuk terakhir kalinya.”
Juna tersenyum tipis dan mengangguk.“Sama-sama.”
Juna dan Nuri keluar dari area pemakaman. Juna sudah dijemput oleh Aldo, sementara Nuri dijemput oleh sopir keluarganya.
Saat di mobil, Aldo mencari keberadaan Anna.“Anna mana, Jun?” tanya Aldo.
“Dia tidak ikut ke pemakaman. Mungkin sudah dirumah.”
“Hah? Tapi tadi pak Reza telpon aku, tanya Anna dimana? Aku jawab lagi nyusul kamu ke singapore. Terus kalau gak ada dirumah dan gak ikut kami, Anna kemana?” tanya Aldo cemas bercampur heran.
“Aku juga tidak tahu, Aldo. Aku sudah menghubungi dia tapi gak diangkat.”
“Gila kamu ya! Dia itu tunangan kamu, bisa-bisanya gak tahu. Kamu malah mentingin mantan kamu yang dulu pura-pura mati, sekarang mati beneran?”
“Aldo!” Juna menarik kerah baju Aldo, Juna begitu emosi.
“Apa! Mau pukul? Pukul? Kenyataannya memang begitu adanya kan? Dengar ya, Jun. Kalau terjadi sesuatu pada Anna, aku gak tahu nasib perusahaan papamu bagaimana, jangan main-main dengan keluarga Sanjaya. Nasib semua karyawanmu ada ditanganmu.” Aldo melepas cengkraman tangan Juna dan menepisnya sedikit kasar.
Juna hanya terdiam, sepertinya menyesali perbuatannya pada Anna. “Aku tadi sudah hubungi Anna tapi gak ada jawaban,” lirih Juna.
“Ya gak diangkat lah, lagi tidur. Emangnya kamu jam segini kayak kalong,” sinis Aldo. Aldo begitu kesal dengan Juna,mengapa masih saja mengurusi mantannya.
Juna hanya diam sambil mengirim pesan singkat pada Anna.“ Sayang, kamu dimana?”
“Aku Masih di Singapore, di hotel JW. Ada apa? Kamu tidur dimana? Sudah makan belum? Besok kita pulang bareng Elsa kan?” Anna mengira Elsa belum dipulangkan.
“Iya, besok kita pulang bareng. Ya sudah, tidur ya. Aku juga di hotel yang sama.” bohong Juna dalam pesannya.
“Aldo ke bandara, aku mau jemput Anna di Singapura.”
Aldo terkejut.“Hah? Gila kamu ya, bisa-bisanya tunangan sendiri ketinggalan di Singapore?”
Juna hanya diam, menyandarkan punggungnya. Tubuhnya begitu lelah tetapi ia harus menjemput Anna.
Sementara itu Anna terjaga dari tidurnya karena pesan singkat dari Juna. Ia masih cemburu melihat Juna begitu bersedih atas meninggalnya Elsa. Tiba-tiba ponsel Anna berdering, rupanya dari orang tuanya.
“Papa? Tumben papa jam segini bangun?” Anna segera mengangkat sambungan ponselnya.
“Ya, Pa?”
“Kamu dimana?” suara berat pak Reza membuat Anna sedikit ngeri dan menjauhkan ponselnya dari telinganya.
“Di negeri sebelah, Pa. Lagi liburan.”
“Negeri sebelah, negeri sebelah. Yang jelas dimana? Malay, Australia–”
“Singapore… Papa…”
“Jujur, kamu sakit apa? Kenapa ada notifikasi pembayaran rumah sakit dari credit card kamu? Itu tagihan apa sebanyak itu?”
Anna sejenak terdiam, mengingat kartu mana yang ia gunakan untuk melunasi tagihan rumah sakit Elsa. “Waduh, jangan-jangan itu credit card yang dari papa? Mati aku diomelin,” batin Anna.
“Itu, Pa. Eum… teman sakit, kekurangan dana, jadi dia pinjam dulu uang Anna,” jawab Anna asal.
“Ya sudah, besok pulang ya. Kamu ini bikin khawatir orang tua.”
“Iya, Pa. Maaf.” Anna dan lak Reza memutuskan sambungan ponselnya.
Anna menghela nafas panjang lalu melempar ponselnya di sampingnya, ia pun kembali tidur seperti tidak terjadi sesuatu, walau sebenarnya hatinya gundah.