“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tunggu Aku, Kita Akan Bicara
Jam di pergelangan tangan Alan menunjukkan pukul 07.45 ketika ia memasuki lobby gedung Zeal Industries, gedung miliknya yang megah. Seperti biasa, beberapa karyawan yang melintas menunduk hormat begitu melihatnya. Dan seperti biasa pula pria itu hanya menanggapinya dengan anggukan kecil.
Ia melangkah menuju lift, ingin segera tiba di ruangannya dan mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Ia berharap dengan begitu bisa sedikit mengalihkan perhatiannya dari kegelisahannya terhadap Tara yang belum juga mereda.
Alan sempat melirik ke kerumunan beberapa karyawan yang sedang menunggu lift terbuka. Namun seketika langkahnya terhenti begitu pandangannya menangkap keberadaan Tara yang berdiri di antara mereka.
Gadis itu terlihat berbincang dengan akrab bersama dua rekan kerjanya dari divisi keuangan, Rio dan Sena.
“Apa dia benar-benar tidak perduli padaku sama sekali?” tanyanya dalam hati melihat Tara yang tampak begitu santai seolah tak pernah terjadi sesuatu sebelumnya.
Alan merasakan sesuatu yang aneh di dadanya melihat pemandangan itu. kesal bahkan sedikit cemburu, terlebih ketika ia melihat interaksi antara Tara dan Rio yang menurutnya terlalu dekat, bahkan bahu mereka sempat saling menempel beberapa saat.
Tanpa sadar Alan meremas tangannya di sisi tubuh, darahnya serasa mendidih. “Sial! Kenapa harus sedekat itu, Tara?” geramnya dalam hati.
Dengan emosi membuncah, ia kembali melangkah, berniat menghampiri. Tapi ketika ia mendekat, pintu lift terbuka. Tara dan karyawan yang lain pun segera melangkah masuk dengan langkah cepat.
Alan pun sempat mempercepat langkahnya, berharap bisa menghentikan lift. Namun pintu logam itu mulai menutup perlahan.
Tara sempat menatap ke arah Alan, dan tatapan mereka pun sempat bertemu sejenak sebelum ia menunduk sopan pada pria itu, sama seperti halnya rekan-rekannya yang lain yang menyadari keberadaan CEO mereka.
Begitu pintu lift tertutup sempurna, Alan hanya bisa berdiri di sana, menghela napas pajang.
Dengan langkah berat Alan akhirnya berjalan menuju lift khusus CEO. Pintu logam di hadapannya terbuka begitu ia menekan tombolnya.
Alan masuk dengan terburu-buru, ia ingin segera menyusul Tara. Begitu pintu lift tertutup, pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, mengusir frustasi yang menghantuinya.
Tara benar-benar berhasil mengacaukan paginya.
Beberapa saat kemudian, lift yang membawa Alan berhenti di lantai dua puluh. Pintu logam itu terbuka dan Alan pun keluar dari sana.
Saat dirinya barusaja menapakkan kaki di koridor, pintu lift lainnya terbuka, kali ini Tara keluar dari dalamnya seorang diri.
Begitu melihat Alan dan tatapan mereka kembali bertemu, Tara menunduk sopan sebelum akhirnya berlalu dari tempat itu menuju ruang staff khusus direksi Zeal Industries tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Alan yang hendak menghampiri dan mencegah gadis itu, ia ingin segera berbicara dengannya.
Tetapi, niatnya itu memudar ketika dari arah berbeda Rico tampak terburu-buru menghampirinya.
“Tuan, ada sedikit masalah di proyek hotel baru kita. Pihak investor dan kontraktor meminta Anda untuk segera ke sana,” ujar Rico dengan nada tergesa.
Alan sempat memijit pelipis, masalahnya dengan Tara masih menggelayuti pikirannya, tetapi pekerjaan menuntutnya untuk segera bertindak.
“Tuan, Anda baik-baik saja?” Rico yang melihat aura tak biasa di wajah boss-nya itu pun langsung bertanya.
“Aku baik-baik saja,” jawab Alan lelah. Ia lalu menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu, ayo.”
Sebelum berbalik kembali ke lift, Alan sempat menatap ke arah pintu ruang staff, tempat bayangan Tara menghilang beberapa saat lalu.
Begitu tiba di mobil, Alan langsung mengeluarkan ponselnya. Bukan untuk menghubungi Lira dan mengatakan bahwa dirinya harus ke luar kota mendadak karena urusan pekerjaan, seperti yang biasa ia lakukan. Tapi ia justru memainkan jemarinya di atas layar dan mengetikkan pesan untuk Tara.
“Mas harus ke luar kota, ada masalah di salah satu proyek kita. Tunggu sampai Mas pulang dan kita akan bicara.”
Alan menatap layar ponselnya sejenak sebelum akhirnya mengirim pesan tersebut. Ia merasa sedikit lebih tenang setelah berpamitan meskipun hatinya tetap gelisah.
Setelah pesan terkirim, barulah Alan beralih menghubungi Lira untuk tujuan yang sama, berpamitan pada istri pertamanya itu. Namun panggilannya itu berakhir tanpa respon dari si penerima.
Alan menghembuskan napas, mungkin saja saat ini Lira sedang sibuk menjajal gaun pesta di butik langganan mereka seperti ucapan istrinya tadi pagi saat berpamitan padanya.
*
Di ruangan staff, Tara sedang menatap layar komputer ketika ponselnya berdering. Sebuah notifikasi pesan masuk dari Alan muncul di sana.
Tara sempat ragu sejenak sebelum ia memutuskan untuk membuka pesan itu. Tiba-tiba saja ia ingat pertengkarannya dengan Alan semalam.
~Flashback - kejadian semalam di mobil Alan~
“Mas akan batalkan keputusan mutasimu,” ujar Alan dengan suara datar.
Tara menoleh, gerakan tangannya yang hendak melepas sabuk pengaman terhenti sejenak. “Kenapa dibatalkan?” tanyanya penasaran tapi juga setengah kesal.
“Ya mau saja,” jawab Alan santai, belum mau mengakui perasaan rumit di dala dirinya.
Tara mengalihkan pandangan, senyum miring muncul di bibirnya. “Tapi saya mau dimutasi.”
“Kenapa kamu lebih senang dimutasi? Hm?”
Tara tak segera menjawab, ia merenung sejenak. Lalu dengan nada tak kalah santai dari Alan ia menjawab, “Ya... mau saja.”
“Tapi aku tidak mau,” balas Alan menolak dengan tegas. “Kau akan tetap bekerja di kantor pusat, bersamaku.”
“Saya tidak bisa, Pak. Bukankah Pak Alan sendiri yang menginginkan saya pergi? Kenapa sekarang berubah?”
Suasana menjadi hening. Alan mencengkram stir dengan kedua tangan, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai gelisah. ia lalu menolah ke arah Tara dan menatap dalam pada gadis itu.
“Jika Mas bilang Mas ingin mempertahankan pernikahan kita, apakah itu cukup?”
Hening lagi, kali ini lebih lama.
Alan ragu. Ia berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Tara, mas merasa...”
Namun kalimat itu terhenti ketika terdengar suara ketukan pada kaca jendela mobil itu.
Tok. Tok. Tok.
Alan dan Tara sempat saling pandang, kemudian Alan menurunkan kaca mobilnya perlahan. Di samping mobil itu terlihat salah satu petugas keamanan kost membungkuk.
“Apa yang kalian lakukan di dalam mobil di tempat gelap seperti ini?” tanya pria itu sembari menatap Alan dan Tara bergantian. ”Saya sudah mengamati mobil ini sejak tadi.”
“T_tidak ada, Pak. Saya... saya sudah mau turun kok,” jawab Tara sedikit gugup, dan itu semakin memancing kecurigaan si satpam. Pria itu lalu menatap Alan, seolah ingin mendengar jawaban darinya.
Dan saat itu juga, Tara bergegas melepas sabuk pengamannya, kemudian membuka pintu dan lalu pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Alan.
Sampai di dalam kost-an pun Tara masih harus menghadapi interogasi dari Fifi yang sedari petang tadi khawatir bukan kepalang.
~Flashback end~
Tara menghela napas panjang. Jarinya lalu mengetuk notifikasi pesan itu. Ia sempat tercekat saat membaca pesan itu.
“Mas harus ke luar kota, ada masalah di salah satu proyek kita. Tunggu sampai Mas pulang dan kita akan bicara.”
“Jadi dia pergi?” gumam gadis itu lirih. Helaan napasnya terdengar sangat berat.
Tara menunduk, ucapoan Alan semalam masih bergema di dalam pikirannya. Tentang keinginan pria itu untuk mempertahankan pernikahan mereka.
Saat itu, jujur saja, dadanya sempat berdesir aneh. Alan, pria yang dulu menolak dengan tegas dirinya, kini justru mengatakan hal seperti itu. Apa maksudnya?
Bahkan semalaman ia tak bisa tidur setiap kali mengingat kata-kata itu. Ia tahu Alan mengiriminya beberapa pesan, tapi ia sengaja tidak membuka atau pun membacanya.
Tara menggelengkan kepala, mencoba mengembalikan kewarasannya. “Tidak Tara. Jika kau tetap di sini, apakah kau bisa mengontrol dirimu? Apa kau bisa menyaksikan dirimu sendiri terganggu olehnya? Kau harus menjauh, Tara. Dia dan hatinya sudah menjadi milik orang lain,” ucap gadis itu dalam hati.
Tara menatap ponselnya lagi. Tangannya mengepal erat di pangkuan, sementara tangan lainnya masih mencengkram ponsel. Ada godaan yang begitu kuat untuk merespon pesan itu. Sekedar mengucapkan pesan agar Alan berhati-hati.
Tapi kemudian...
“Jangan lakukan Tara. Kau... jangan gila,” gumamnya berbisik, berusaha menahan diri.
Dengan napas yang semakin berat, Tara akhirnya menekan layar ponselnya, memutuskan untuk tidak membalas.