Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29.
Desir angin pagi menyapu lembut pucuk pucuk bambu, menciptakan irama lirih yang menyatu dengan detak cemas jantung para penghuni rumah gubuk itu. Suara derap langkah kaki, bukan satu, tapi dua pasang. Suara yang tak diharapkan, apalagi di waktu segenting ini.
“Yem... cepat, sembunyi di kolong balai-balai. Bisa jadi itu mata mata Jepang... atau pegawai loji.”
Suara lirih Si Mbok menembus sunyi, sarat kecemasan.
Tanpa membantah, Tiyem beringsut keluar dari dapur gelap dan berjingkat ke bilik, lalu membaringkan diri di bawah balai-balai kayu tua. Bau tanah dan jerami menusuk hidungnya, namun lebih menenangkan daripada ketakutan yang menyelinap.
Langkah-langkah itu makin dekat. Jantungnya berpacu.
Lalu terdengar ketukan pelan di pintu bambu, disusul suara dua lelaki bersamaan, “Mbok...”
Tiyem menahan napas. Tapi senyumnya mekar. Ia kenal suara itu.
“Ya Allah... Kang Pono dan Arjo. Tiwas aku sembunyi-sembunyi...” bisiknya pelan, lalu merangkak keluar dari persembunyian dengan hati yang hangat.
Si Mbok yang mengenali suara mereka, segera membukakan pintu.
“Halah, bikin jantung ini deg-degan saja, Le. Kukira tentara Jepang. Aku takut mereka tahu Tiyem sudah keluar dari loji.”
“Maaf, Mbok. Tapi... jadi benar, Yu Tiyem sudah pulang?” tanya Arjo dengan nada rendah penuh hormat.
“Iya, ayo masuk. Baru saja anakku itu kusembunyikan.” jawab Mbok sambil mempersilakan mereka duduk.
Arjo menoleh pada Pono dan tersenyum tipis. “Benar, Kang. Firasatku tak keliru. Yu Tiyem sudah kembali.”
Tiyem berdiri di sisi pintu bilik, senyumnya malu-malu. Pipinya merona kala matanya bertemu tatap dengan Kang Pono yang kini duduk di kursi kayu reot, peninggalan almarhum Bapak.
“Kenapa kamu pulang, Yem? Hanya menjenguk Si Mbok... atau ada alasan lain?” tanya Kang Pono, suaranya pelan namun dalam.
Sebelum Tiyem sempat menjawab, Mbok menyela cepat.
“Sudah, keluar saja, Le. Aku tak mau Tiyem dan kamu celaka...” katanya sambil melangkah ke dapur, menyisakan ketiganya dalam ruang kecil yang kini dipenuhi rasa tak terucap.
Arjo membuka suara lagi, nadanya mendesak.
“Bener, Yu. Firasatku, Nyi Kodasih suatu saat akan ke rumah Mbah Ranti . Kalau benar itu terjadi...”
“...Kang Pono yang jadi tumbal?” potong Tiyem, suaranya pelan namun mengandung kepedihan.
Pono tak langsung menjawab. Arjo menatap lantai, lalu berkata pelan,
“Bisa jadi, Yu. Kalau cinta Kang Pono pada Nyi Kodasih mulai bergeser dan pudar... maka yang jadi tumbal bisa beralih. Kita tak tahu, bisa jadi kamu... bisa jadi aku...”
Keheningan menggantung. Di luar, sinar perlahan semakin panas , membawa rasa gerah dan gelisah di hati...
Langkah-langkah pelan terdengar dari arah dapur. Sesaat kemudian, Si Mbok muncul sambil membawa nampan anyaman bambu. Di atasnya, tiga cangkir teh hangat mengepul, dan sepiring singkong rebus yang baru diangkat dari kukusan. Harum daun pandan samar-samar menguar, seperti ingin menenangkan suasana yang masih diliputi kekhawatiran.
“Mangan dhisik, Le... perut kosong tidak bisa diajak mikir jernih.”
Suara Si Mbok pelan, tapi mantap, seperti embun yang turun di pagi hari. Ia meletakkan nampan di atas meja usang tanpa taplak, lalu duduk di balai balai bambu yang ada di ruang itu.
Tiyem mengambil sepotong singkong dan menyerahkannya kepada Kang Pono, tangan mereka sempat bersentuhan. Sekilas, pandangannya bertemu dengan mata laki-laki itu, hangat, namun ada luka yang dalam.
Mbok menatap satu-satu anak muda di depannya, lalu berdehem pelan sebelum berkata,
“Le, aku ini orang tua. Tidak ngerti soal tumbal, soal loji, soal cinta yang bikin nyawa orang bisa jadi taruhan. Tapi satu yang aku percaya... semua yang terjadi di bumi, langit, dan di antara keduanya, ada dalam kuasa Gusti Allah.”
Arjo dan Pono sama-sama menunduk, mendengarkan dengan khidmat.
“Kadang, manusia terlalu sibuk nyalahke takdir, padahal belum sempat ndongak. Ndang ndedonga, Le... mohon tulung marang Sing Gawe Urip. Jangan semua ditarungke dengan nyali. Sebab nyali tanpa iman itu nekat, dan nekat bisa mematikan.”
Suasana hening. Bahkan suara daun bambu yang tadi terus berdesir, kini seperti ikut diam mendengarkan.
Tiyem menggenggam teh hangat di tangannya, uapnya menyentuh wajahnya yang masih tampak cemas. “Mbok... kalau semua ini kehendak Gusti, kenapa rasanya tetap berat?” tanyanya pelan, hampir seperti kepada dirinya sendiri.
Mbok tersenyum, tapi sorot matanya menguat.
“Karena beban orang-orang yang berani mencintai dan menjaga, memang tidak pernah ringan. Tapi kalau kamu ikhlas, Gusti Allah sing bakal ngangkat.”
Arjo menatap Pono diam-diam, lalu bergumam lirih,
“Mungkin ini saatnya kita bicara terus terang, Kang...”
Pono menarik napas panjang. Jemarinya menggenggam cangkir teh, tapi wajahnya tak berpaling dari tatapan Tiyem.
“Iya... sudah waktunya.” katanya akhirnya. “Tiyem, ada hal yang harus kamu tahu... tentang kenapa kamu harus keluar dari loji, dan kenapa aku.. kamu.. Arjo.. mungkin jiwa kita semua sedang dipertaruhkan.”
Tiyem membeku. Uap teh perlahan lenyap di udara, menyisakan bayangan tentang rahasia yang sebentar lagi akan mencuat ke permukaan...
Namun belum sempat Pono melanjutkan kata-katanya, Mbok menyela, suara lirihnya kini terdengar tegas, nyaris bergetar.
“Pono… Arjo… Apa maksud kalian sebenarnya, Le? Kenapa kalian ngomong soal tumbal, loji, dan jiwa yang dipertaruhkan seperti itu hal biasa?”
Tatapan Si Mbok mengeras. Tak lagi hanya seorang ibu tua yang menyuguhkan teh dan singkong, tapi seorang penjaga, pelindung, dan satu-satunya tembok rapuh antara dunia luar dan anak gadisnya.
Tiyem menggenggam tangan ibunya, lirih, “Mbok… sudah, jangan khawatir. Aku di sini sekarang, sudah tidak di dalam loji lagi. Bukan milik mereka lagi.”
Tapi kata-kata itu justru makin menajamkan keresahan di hati Si Mbok.
“Justru itu yang bikin aku tidak bisa tenang, Yem. Kamu bilang sudah bukan milik mereka… tapi apa mereka sudah benar-benar melepaskanmu?”
Arjo dan Pono saling pandang, lalu Arjo menunduk, suaranya berat.
“Belum, Mbok.”
Gubuk tua itu kembali sunyi. Hanya bunyi detak waktu dan napas tertahan yang bersisa.
Uap teh di dalam cangkir telah menyusut. Hawa panas berganti gerah, membuat langit seperti menggantung rendah di atas atap rumah bambu itu. Di luar, ayam-ayam jantan saling sahut, dan suara kentongan dari kejauhan terdengar dua kali, tanda siang telah dekat.
Arjo duduk tenang di kursi reot. Tubuhnya masih muda belia, namun sorot matanya sering membuat orang lupa akan usianya. Ia menatap tanah, lalu pelan-pelan berkata:
“Mbok, Yu.. ... aku memang yang paling muda di sini, tapi aku bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa.”
Si Mbok menoleh, terkejut. Kang Pono menunduk, seolah tahu ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara.
“Apa maksudmu, Jo?” suara Si Mbok nyaris berbisik.
Arjo menarik napas panjang. Di wajah mudanya, tergambar beban yang tak pantas ditanggung oleh anak seumuran itu.
“Aku bisa melihat cahaya dan bayangan... terutama yang muncul dari orang yang hatinya tidak bersih. Dan aku sudah lama tahu... aku sangat senang saat bertemu Mbah Jati, aku bisa belajar lebih banyak dari dia...”
Ia berhenti sejenak, menatap Kang Pono yang diam membeku. Lalu suaranya kembali terdengar, pelan, tapi menghantam seperti palu.
“Dan saat aku berada di rumah Mbah Jati, aku mendengar percakapan Nyi Kodasih dan Mbah Jati. Kutukan untuk kita itu bermula dari cinta yang tulus... cinta Kang Pono pada Nyi Kodasih.”
Si Mbok dan Tiyem membelalak menatap Kang Pono yang tertunduk diam. Jemarinya mengepal di atas lututnya. Hening menebal.
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk