Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Mobil yang membawa Sania melaju kencang, hanya butuh waktu singkat untuk tiba di villa mewah Salvatore.
Pintu gerbang otomatis terbuka, dan Sania diseret keluar mobil oleh anak buah Salvatore.
Salvatore sendiri berjalan dengan langkah cepat, tangannya mencengkeram lengan Sania, seolah Sania adalah piala kemenangan.
Ia melewati lorong-lorong berhias marmer, mengabaikan perlawanan Sania.
Mereka tiba di kamar utama, sebuah kamar tidur megah dengan jendela setinggi langit-langit yang menawarkan pemandangan kota, ironisnya, terasa seperti penjara berlapis emas.
BUGH!
Salvatore mendorong Sania dengan keras ke tengah karpet tebal.
Sania tersandung dan jatuh berlutut. Rasa sakit di lututnya tidak seberapa dibandingkan rasa takut yang membanjiri dirinya.
Sania segera bangkit, menatap Salvatore dengan mata penuh kebencian dan air mata.
"Lepaskan aku!! Aku mau keluar dari sini!"
Sania bergerak cepat, berusaha lari menuju pintu. Namun, Salvatore jauh lebih gesit. Ia melangkah cepat, menghalangi jalan Sania.
Dalam sekejap, tubuh Salvatore sudah berada di belakang Sania.
Ia melingkarkan lengannya di pinggang Sania, menariknya kembali hingga punggung Sania menempel erat di dada Salvatore.
Sania meronta sekuat tenaga, berusaha melepaskan diri dari dekapan menjijikkan itu. Ia bisa merasakan napas Salvatore di lehernya.
"Kamu pikir kau bisa lari dariku, Sayang?" bisik Salvatore, suaranya dipenuhi kemenangan yang sakit.
Cengkeramannya menguat, mengunci Sania di tempat.
"Kamu telah membuatku menunggu lama sekali. Dan sekarang, kamu tidak akan kabur ke mana pun."
Sania memejamkan mata, keputusasaan dan rasa jijik memuncak.
Ia tahu tidak ada gunanya melawan kekuatan fisik Salvatore.
"Lepaskan aku, Salvatore!! Jangan sentuh aku! Lepaskan aku Salvatore!!" teriak Sania, suaranya pecah karena ketakutan dan kebencian.
Namun, teriakannya hanya disambut tawa rendah dan gelap dari pria yang kini mengklaim dirinya sebagai pemiliknya.
Salvatore akhirnya melepaskan Sania, mendorongnya ke sofa beludru.
Ia mengambil langkah mundur, menatap Sania dengan mata penuh kepuasan yang menyeramkan.
"Duduklah, Sayang. Kita perlu membicarakan masa depan kita," ucap Salvatore, suaranya tenang, seolah mereka sedang mendiskusikan rencana liburan, bukan menghancurkan hidup seseorang.
Sania duduk meringkuk, mencoba menjauh sejauh mungkin dari Salvatore. Napasnya masih tersengal-sengal.
Salvatore berjalan ke meja kerjanya yang luas, mengambil dua berkas yang sudah disiapkan. Ia melemparkan berkas pertama ke pangkuan Sania.
"Ini, Surat cerai. Kamu akan menandatanganinya. Kau akan menceraikan Bima hari ini, secara sah dan resmi."
Lalu, ia mengambil berkas kedua, membiarkan Sania melihat kop surat yang mewah.
"Dan ini," lanjutnya, dengan senyum bengis.
"Surat pernikahan. Kita akan menikah sebelum matahari terbenam besok. Semua sudah diatur."
Sania menatap berkas itu, lalu menatap Salvatore.
Air matanya mengering, digantikan oleh ekspresi jijik dan penolakan yang keras.
Sania dengan cepat menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Tidak! Aku tidak akan pernah melakukannya!
Aku tidak akan menceraikan Bima! Dan aku lebih baik mati daripada menikah denganmu!"
Salvatore tidak terkejut dan ia hanya mengangkat bahu, seolah mendengar penolakan itu adalah hal yang sepele.
Ia berjalan mendekati Sania, lalu berjongkok di hadapannya, memaksa Sania menatapnya.
"Aku tahu kamu akan mengatakan itu," bisik Salvatore, suaranya kini berubah menjadi ancaman tajam seperti pisau.
"Itu sebabnya aku punya rencana cadangan."
Ia meraih dagu Sania, mencengkeramnya
kuat-kuat.
"Bima, dia sekarang ada di tahanan polisi. Petugas yang menangkapnya adalah orangku. Dia diyakini sebagai pembunuh Adam. Dan lebih buruk lagi, kami menemukan tubuh Adam di bagasi mobilnya, bersama seorang wanita yang terikat."
"Kamu sudah menjebaknya!"
"Tentu saja aku menjebaknya," Salvatore menyeringai.
"Sekarang dengarkan aku baik-baik, Sania. Kamu tidak punya pilihan. Kamu menandatangani surat cerai ini dan menjadi istriku, atau..."
Mata Salvatore berkilat dingin.
"...atau aku akan memastikan Bima tidak pernah keluar hidup-hidup dari penjara. Aku akan membunuhnya, Sania. Aku akan mengirim seseorang untuk menghabisinya di dalam sana. Dan kamu akan menyaksikan kehancuran yang kau sebabkan."
Ancaman itu menghantam Sania seperti palu godam. Bima. Nyawa Bima.
Semua perlawanannya runtuh seketika. Salvatore tahu persis di mana titik kelemahan Sania berada.
Sania menatap Salvatore dengan tatapan hancur. Ia tahu pria itu tidak main-main. Untuk menyelamatkan nyawa Bima, ia harus menyerahkan dirinya.
"Jangan sentuh Bima," Sania berbisik, suaranya penuh keputusasaan yang menusuk.
Mendengar ancaman langsung terhadap nyawa Bima, seluruh kekuatan Sania menguap.
Air mata yang sempat kering kini mengalir deras, namun matanya menatap surat cerai itu dengan kehancuran.
Dia tahu, satu-satunya cara Bima bertahan hidup adalah jika dia menuruti permintaan monster di depannya.
Sania meraih pulpen yang disodorkan Salvatore. Tangannya gemetar begitu hebat hingga garis yang ia buat di atas kertas terasa seperti goresan mematikan.
Dengan air mata membasahi surat itu, Sania membubuhkan tanda tangannya di kolom perceraian. Dan Sania resmi melepaskan Bima.
Salvatore mengambil surat itu dengan senyum puas, lalu mencium tanda tangan Sania dengan ekspresi jijik.
"Gadis pintar. Aku tahu kau memilih jalan yang benar."
Sania menatapnya dengan kebencian murni.
"Sekarang lepaskan Bima. Kau sudah mendapatkan yang kau mau."
Salvatore memasukkan berkas itu ke dalam laci. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan sebuah nomor, dan menunggu sejenak.
Jantung Sania berdetak tak keruan. Ia menanti kata-kata yang menjamin keselamatan suaminya.
"Ya, Marco," kata Salvatore, suaranya tenang dan santai.
"Lanjutkan rencana B. Aku tidak butuh dia lagi."
Sania menahan napas. "Rencana B? Maksudmu..."
Salvatore menatap Sania, bibirnya melengkung menjadi seringai yang paling kejam yang pernah dilihat Sania.
Lalu, Salvatore mengucapkan dua kata yang menghancurkan semua harapan Sania, semua pengorbanannya.
"Habisi dia."
Sania membelalakkan matanya saat mendengar perkataan dari Salvatore.
Pengorbanannya sia-sia. Salvatore tidak pernah berniat melepaskan Bima.
"TIDAK!" Sania menjerit, berdiri dan berusaha meraih ponsel Salvatore.
"Apa yang kamu lakukan?! Kamu sudah berjanji! Kamu bilang kau akan melepaskannya! Kamu pembohong, Salvatore!!"
Salvatore menjauhkan ponselnya dari Sania. Ia menatap Sania, mata penuh gairah akan kekuasaan dan kekejaman.
"Oh, Sayangku," balas Salvatore, tertawa terbahak-bahak hingga suaranya memenuhi ruangan mewah itu. Tawa itu terdengar serak dan menjijikkan.
"Aku janji tidak akan membunuhnya jika kamu tidak menandatanganinya. Kau menandatanganinya, jadi dia tidak lagi berharga. Bukankah kamu tahu? Janjiku hanya berlaku selama kamu menolakku. Sekarang kamu milikku, dan dia hanya sampah yang harus disingkirkan."
Sania hanya bisa berdiri terpaku, gemetar, menyadari dirinya telah ditipu mentah-mentah.
Ia kehilangan segalanya: suaminya, kebebasannya, dan harapan terakhirnya.
Sementara itu, di sebuah ruang gelap dan tersembunyi di dalam kantor polisi yang dikendalikan oleh anak buah Salvatore, Bima berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Dia sudah babak belur. Wajahnya bengkak dan berlumuran darah, luka tembak di kakinya terbuka kembali dan perbannya kotor.
Bima hanya bisa terbaring tak berdaya di lantai beton yang dingin, napasnya tersengal-sengal setelah dipukuli habis-habisan oleh tiga pria suruhan Marco.
Pukulan itu berhenti tiba-tiba ketika salah satu pria itu menerima telepon.
Setelah menutup telepon, ia menyeringai jahat pada Bima.
"Selamat jalan, Bima. Bos kami mengucapkan terima kasih atas pengorbanan istrimu," ejek pria itu.
Dua orang lainnya menyeret Bima yang sudah tidak berdaya.
Mereka membawanya ke sudut ruangan tempat sebuah peti kayu panjang yang tampak kasar diletakkan. Itu bukan peti mati sungguhan, melainkan kotak kayu besar yang disiapkan untuk mengelabui.
Bima meronta lemah saat mereka memasukkan tubuhnya ke dalam peti itu.
Ruang di dalamnya sempit, gelap, dan berbau kayu lapuk.
Rasa sakit di sekujur tubuhnya tak lagi terasa, tergantikan oleh rasa dingin karena dikhianati dan kepedihan karena Sania.
Pria-pria itu kemudian menutup peti itu dan menguncinya dari luar, meninggalkan Bima sendirian dalam kegelapan yang pekat.
Suara langkah kaki mereka menjauh, meninggalkan keheningan absolut.
Bima terbatuk, berusaha mencari udara di ruang yang semakin sesak. Ia tahu ini adalah akhir. Salvatore telah berhasil.
Dalam kegelapan, dengan rasa sakit yang menusuk, Bima memejamkan mata.
Ingatannya dipenuhi wajah Sania yang menangis, memohon bantuan terakhirnya.
Ia tahu Sania sekarang berada di tangan monster itu, dan ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Mengumpulkan sisa-sisa napas dan kesadarannya, Bima berbisik lirih, janji terakhirnya yang terucap di tengah kegelapan dan keputusasaan.
"S-Sania, aku mencintaimu..."