Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.
Mati lagi?
Tidak, terima kasih!
Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!
Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Festival Qinyue : 1
Senja baru turun ketika Chunhua melangkah di antara jalanan batu ibu kota. Rumah dan toko dihias bunga musim dan pita merah muda, lampion-lampion gantung bergoyang lembut diterpa angin sore.
Di setiap sudut, gadis dan pemuda saling bertukar hadiah—sebuah pita, kipas atau gelang kecil—lalu menunduk malu-malu setelahnya.
Malam baru menjelang, tetapi jalanan sudah jauh lebih ramai dari biasanya.
Chunhua menoleh sedikit pada Su Yin yang berjalan satu langkah di belakang. “Apakah hari ini ada peristiwa istimewa?” tanyanya.
Su Yin tersenyum kecil. “Hari ini adalah festival Qinyue, Yang Mulia.”
Chunhua berbelok ke sebuah kios perhiasan di tepi jalan. Cahaya lampion memantul pada deretan jepit rambut dan giwang perak. Su Yin dan Jing Zimo segera menyusul.
“Apa yang istimewa dari festival ini?” tanyanya, jarinya menyentuh hiasan berbentuk bunga peony, kemudian berpindah pada hiasan rambut yang dapat dikenakan di sisi kepala.
Jing Zimo menjawab pelan, “Pada hari keempat belas bulan kedelapan, bulan turun rendah di atas Jembatan Qinghe. Menurut legenda, itulah saat dua bintang kekasih bertemu setahun sekali. Karena itu, orang-orang menyebutnya juga malam purnama kasih.”
“Begitu rupanya.” Chunhua mengangguk, mengambil satu jepit rambut perak dengan permata keunguan. Tanpa banyak bicara, ia berbalik dan menyelipkannya pada sisi rambut Jing Zimo.
Pedagang paruh baya yang menjaga kios itu menatap mereka, antara kagum dan heran.
Tuan muda yang bernampilan seanggun itu… ternyata seorang selir pria.
Chunhua tersenyum tipis melihat ekspresi si pedagang.
“Apa yang kau liat?” tanyanya dengan nada menggoda, jemarinya masih menepuk lembut rambut Jing Zimo yang kini dihiasi jepit perak.
“Tidak ada, Nona” jawab si pedagang cepat-cepat, menunduk sambil mengemas perhiasan lain seolah sangat sibuk.
Chunhua melepaskan jepit rambut asli Jing Zimo, kemudian menyerahkan pada Su Yin untuk diamankan. "Ini lebih cocok dengan pakaianmu hari ini," katanya.
Jing Zimo menghela napas kecil, lalu menatap Chunhua. “Yang Mulia, jika terus seperti ini, reputasi saya akan hancur sebelum malam berakhir.”
“Reputasi apa? Memangnya kamu punya?” jawab Chunhua tenang, nada suaranya setengah menggoda. Ia menoleh pada pedagang. “Bos, aku ambil yang ini.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik meninggalkan kios. Su Yin mengikuti di belakang, dengan cekatan membayar perhiasan yang saat ini duduk di rambut Jing Zimo.
Jing Zimo menyusul cepat, lalu meraih lengan Chunhua dari samping. Dengan dramatis, ia bersandar ringan di bahunya. “Bagaimana Yang Mulia bisa berkata sekejam itu,” katanya lirih, matanya berkilat seperti anak anjing yang ditelantarkan.
Chunhua menatapnya sekilas, kemudian perhatiannya teralihkan pada sebuah kios di seberang jalan. Di sana tergantung kipas bundar bersulam bunga plum, warnanya lembut, kainnya tipis seperti kabut musim semi.
“Kenapa? Kamu tidak suka?” tanyanya santai, jemarinya menyentuh tepian kipas, menelusuri sulaman halus di permukaannya.
Penjual kipas itu buru-buru menyambut, “Nona punya selera bagus. Ini sulaman tangan, benangnya dicelup dari kelopak bunga plum yang mekar di awal musim dingin.”
Chunhua tersenyum samar. “Sangat cantik, sayang kalau hanya dibiarkan di sini," ujarnya, sembari mengambil kipas itu.
Dia menganggumi sulaman bunga plum yang seperti hidup sejenak, kemudian menyerahkannya pada Jing Zimo. "Bantu Putri ini memegangnya. "
Jing Zimo menerima kipas itu dengan hati-hati, menatapnya sejenak, bibirnya mengerucut. "Ini kipas untuk wanita, seorang pria memegangnya bukankah terlihat aneh?“ tanyanya, sambil membolak-balik kipas itu.
"Anggap saja itu imbalan karena Putri ini membelikanmu perhiasan," jawabnya sambil lalu.
Di sekeliling mereka, lentera berbentuk bunga dan burung magpie bergoyang pelan diterpa angin. Anak-anak berlari membawa lampion kecil, sementara aroma manis osmantus dan gula merah bercampur di udara.
Pemberhentian Chunhua berpindah ke kios yang menjual aneka kue. Aroma hangat dan lembut langsung menyambutnya, membuatnya berhenti.
"Kalau saya memegangnya, orang-orang akan mengira Yang Mulia memberi hadiah pada kekasih,” Jing Zimo masih memprotes di belakang Chunhua.
"Kalau Begitu biarkan saja mereka berpikir demikian," jawabnya, asal.
"Nona, kue apa yang kamu inginkan?" tanya pedagang itu, "kue osmantusku adalah yang terbaik di jalan ini!"
Pedagang kue itu diam-diam memperhatikan penampilan Chunhua, lalu senyumnya melebar Tulus.
Sinar lentera jatuh di wajah sang putri, menyorot kulitnya yang seputih porselen dan senyum lembut yang membuat orang ingin menatap lebih lama. Gaunnya terlihat sederhana, tapi potongan dan sulamannya jelas bukan buatan pasar.
Hanya sekali pandang, dia tahu nona ini adalah seorang putri bangsawan.
"Benarkah?" Chunhua bisa merasakan tatapan si pedagang, tetapi dia mengabaikannya dan fokus melihat-lihat deretan kue berwarna-warni yang di pajang.
“Yang Mulia, kue osmantus yang terakhir kali, saya membelinya dari kios ini,” ujar Su Yin yang baru menyusul. Tatapannya menajam saat melihat pedagang berwajah garang itu.
Pedagang itu terpaku. Ia tidak menyangka akan melihat pelayan Putri Agung lagi—apalagi setelah kesalahpahaman terakhir kali. Namun, kekagetannya segera berubah menjadi ngeri saat mendengar panggilan Su Yin barusan.
Yang Mulia...?
Seseorang yang bisa dipanggil begitu oleh pelayan Putri Agung... bukankah berarti—
Dia menoleh perlahan, nyaris tidak berani bernapas. Saat matanya jatuh pada sosok Chunhua—dengan langkah anggun, senyum lembut dan cahaya lentera yang menari di ujung matanya—wajahnya memucat seketika.
Jadi… nona yang seperti peri itu adalah Putri Agung sendiri?!
Semangat selalu!👏🙌