Harem Sang Putri
Chunhua terengah, pandangannya tertuju pada pria tampan yang terbaring dengan kedua tangan terikat.
"Yang... Mulia." Suara pria itu lirih, ragu, namun mengandung nada yang ganjil—antara hormat dan antisipasi.
"Feng... Jun." Chunhua melafalkan nama yang muncul di benaknya. Pria itu tampak asing, namun juga terasa akrab. Mungkin karena dia adalah salah satu selir tubuh barunya ini.
Ya, tubuh yang ia tempati sekarang bukan miliknya. Bukan tubuh sang Raja Mayat Hidup, melainkan milik Putri Agung Fangsu, Murong Chunhua.
Bagaimana ia bisa sampai di sini?
Ah, tentu saja karena ia sudah mati di dunia itu.
Angin berembus melalui kisi-kisi jendela. Nyala lilin bergetar cemas, tirai merah bergoyang lembut. Asap dupa mengepul, menebar wangi manis yang samar menusuk, sementara kenangan Chunhua perlahan menyeretnya kembali ke masa lalu.
Potongan tubuh yang membusuk berserakan di antara reruntuhan gersang.
Chunhua duduk di balkon yang sudah kehilangan pagar besinya. Kakinya berayun ringan di udara, seolah dunia di bawah sana bukan kubangan darah, melainkan taman musim semi.
Matanya menatap pria yang berdiri di bawah. "Chang Yi, jangan terlalu galak, ah," serunya sambil tersenyum. Pandangannya melintas pada potongan tubuh yang berserakan di sepanjang jalan. "Bagaimana bisa kamu membunuh anak-anakku?"
Chang Yi tidak menjawab. Ia hanya mendongak, menatap Chunhua dengan mata yang suram dan rumit, seolah menimbang antara belas kasih dan kewajiban.
"Apakah kamu datang untuk membunuhku juga?" tanya Chunhua lembut. Jemarinya memilin rambut hitamnya yang kusam, gerakannya santai, hampir kekanakkan.
Keheningan menjawabnya.
Senyum di bibir Chunhua perlahan memudar. “Kenapa diam? Apa kamu tidak ingin berbicara lagi denganku?”
"Chunhua." Suara Chang Yi akhirnya terdengar. Ia mengangkat pedangnya, darah kehitaman menetes dari ujung bilah dan jatuh satu per satu ke tanah kering.
Senyum kembali terbit di wajahnya, lembut. "Jadi kamu benar-benar datang untuk membunuhku?" bisiknya, "kenapa lama sekali…"
Kata terakhir itu meluruh bersama angin, terlalu lirih bahkan untuk telinga manusia yang telah ditingkatkan seperti Chang Yi.
Angin berdesir, membawa bau besi dan daging busuk.
Dua pasang mata saling menatap, masing-masing menyala dengan cahaya yang berbeda.
Chunhua berdiri, ujung kukunya memanjang, berubah menjadi cakar hitam berkilat. "Kalau kau datang untuk membunuhku," ujarnya dengan senyum genit yang menantang, "tidak mungkin aku diam saja."
Chang Yi tak menjawab. Sekilas, kenangan lama menembus pikirannya, hari-hari saat mereka bersama.
Chunhua memiringkan kepala, matanya berkilat nakal. "Ayo, Chang Yi."
Dan dalam detik berikutnya, dia melesat dari lantai dua seperti meriam ditembakkan. Angin menyalak di belakangnya, serpihan debu beterbangan.
Api ungu berkobar, membungkus pedang Chang Yi seperti zirah hidup. Nyala itu bergetar halus, seolah merespons napas pemiliknya. Panas, liar, dan penuh amarah yang ditahan.
Begitu kakinya menjejak tanah, ledakan kecil memecah udara. Gelombang panas menyapu seluruh reruntuhan, menghanguskan potongan mayat.
Chunhua menangkis sambaran pertama dengan telapak tangan. Suara benturan terdengar nyaring—cling!—disertai kilatan api dan percikan darah hitam dari kulit tangannya yang terbakar. Namun, ia hanya tertawa.
"Kenapa kamu menahan diri?" bisiknya, suaranya serak tapi menggoda.
Chang Yi tidak menjawab. Ia memutar pedangnya, melompat mundur, lalu melesat lagi. Api ungu melingkar mengikuti gerakannya, membentuk jejak spiral di udara.
Chunhua menunduk, membiarkan satu ayunan pedang nyaris menyambar wajahnya. Ujung rambutnya terbakar, berasap, tapi ia malah menatapnya dengan senyum kecil.
“Apakah kau tidak tega membunuhku?” katanya, “kamu tidak ingin membalas dendam?”
Chang Yi menggeram, pedangnya menebas melintang. Kali ini, Chunhua menangkis dengan kedua cakar. Benturan membuat lantai retak dan udara terbelah. Api ungu memercik, menyalakan bayangan mereka di dinding yang hancur.
Kedua sosok itu saling dorong. Api dan kuku tajam bertemu, menciptakan asap berwarna violet kehitaman yang berputar di udara.
Chunhua mencondongkan tubuh, berbisik di telinganya dengan nada setengah tawa, “Kalau benar kamu ingin mengakhiri ini… kamu harus kejam.”
Chang Yi menatapnya, pandangannya rumit dan bertentangan.
Lalu, tanpa kata, pedangnya menyalak, membakar udara di antara mereka.
Chunhua masih ingat bagaimana rasanya saat pedang itu menembus jantungnya. Panas yang merambat cepat, disertai Aroma daging hangus yang begitu tajam hingga membuat mata berair.
Apakah dia mati karena tusukan di jantungnya? Sepertinya tidak tepat, karena mayat hidup tidak membutuhkan jantung untuk hidup.
Jadi, bagaimana dia mati?
Pertanyaan itu hanya sempat berputar sejenak di benaknya, karena gelombang panas yang tiba-tiba datang menghantam.
Tidak seperti panasnya api ungu An Changyi, tetapi lebih seperti... sensasi setelah naik level. Sedikit tidak nyaman, tetapi membuatnya ingin mengerang.
Chunhua mengerang, dia mencengkeram pakaiannya. Punggunya melengkung, giginya digigit kuat-kuat.
Bukan karena panas yang menghantamnya, tetapi rasa sakit mencengkeram jantung yang tiba-tiba datang.
Napasnya tersengal. Sensasi menyakitkan itu pergi secepat dia datang, digantikan gelombang panas yang lebih ganas.
Pandangannya bergetar kabur, nalurinya mengambil alih. Tubuhnya bergerak mengikuti insting, melahap pria itu dari dalam ke luar—membuat napasnya terengah, mendengar detak jantungnya yang bersahut dengan erangan tertahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments