sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 23
“Melati,” ucap Laras membelai kerudung Melati dengan lembut.
Melati hanya diam menatap gelas yang berisi air.
“Perceraian memang menyakitkan, tapi kadang lebih sakit bertahan.”
Melati meneguk air putih. “Terus kenapa dengan rumah tangga kamu?”
Larasati menatap kosong ke arah jendela.
“Suamiku nikah lagi.”
“Terus apa masalahnya?”
“Kalau cemburu sudah tidak ada, masalahnya dia lebih sering membagi uangnya ke istri mudanya ketimbang aku,” ujar Laras.
“Terus sekarang tidak ada yang bagi kamu uang dong?”
“Satu tahun aku memikirkan itu, tapi akhirnya aku memutuskan cerai daripada makan hati. Aku dan anakku menahan satu hari dua malam, sedangkan dia lagi makan enak di Lazato bersama anak tirinya.”
“Loh, jadi suami kamu nikah sama janda?”
“Ya, janda anak satu. Usianya lebih tua dariku, jadi sekarang aku memilih janda karena suamiku direbut janda.”
Dua janda sekarang duduk diam di ruang tamu memikirkan nasib mereka.
“Sepertinya hidup kita tidak akan mudah, Laras.”
“Ya, memang hidupku selalu apes.”
Melati menggenggam teman masa kecilnya itu. “Jangan berpikir seperti itu, pikiran itu doa.”
“Ya, lalu kenapa kamu bilang kalau hidup itu tidak mudah? Nanti hidup kamu jadi tidak mudah, bukan?”
“Ya, walau hidup tidak mudah tapi aku harus berpikir positif agar hidup mudah. Jadi janda memang tidak mudah. Pandangan masyarakat pada janda sekarang masih jelek: punya uang dicurigai, berkarier dianggap genit, cantik katanya kecentilan, bahkan kita berjalan saja pandangan orang jadi waspada, takut kalau suami mereka diambil orang.”
Laras dengan saksama mendengarkan ucapan Melati sambil memakan wafer Tango yang disediakan Melati—sebuah kebiasaan Laras dari kecil.
“Ya, aku juga sempat berpikir seperti itu. Janda itu racun karena suamiku direbut janda,” ujar Laras menghela napas, “dan sekarang aku janda,” lirihnya.
“Terus sekarang kita harus apa, Melati?” tanya Laras.
“Ya, cuekin saja.”
Mereka berdua bertemu pandang, kemudian senyum enggak jelas.
“Kamu masih sama kayak dulu, Melati,” ucap Laras.
“Ya, solusi paling cerdas terhadap hinaan bukankah cuekin aja?”
“Ya, dulu kamu mengatakan itu di depan tukang batagor sehabis kita dibuli habis-habisan hanya karena kita jadi pemulung sampah. Waktu itu aku sedih karena banyak yang menghina, dan kamu bilang cuekin aja.”
“Ya, kenapa kita harus peduli dengan pandangan orang lain? Bukankah kita tidak bertanggung jawab atas pandangan orang pada kita? Asal tidak ada sentuhan fisik ya kita cuekin saja. Yang penting sekarang kita harus bekerja keras.”
Laras tampak kembali murung.
“Ada apa lagi, Laras?” tanya Melati heran.
“Aku mau kerja, tapi dengan ijazah SMP, di mana aku bisa kerja? Apalagi sekarang aku janda muda lagi. Kemarin aku bekerja selama tiga bulan jagain toko baju, aku dipecat hanya karena aku janda. Istri pemilik toko langsung pecat aku tanpa sebab, karena aku muda dan janda.”
“Ya, begitulah, Laras. Nasib jadi pekerja, setiap saat harus siap dipecat.”
“Ya, terus apa kamu punya solusi?”
“Aku punya, tapi memang tahap pertama ya harus kerja, kumpulin modal, lalu membuat usaha bersama. Kalau kita tidak mau dipecat, ya kita harus jadi pengusaha.”
“Ah, aku hanya lulusan SMP. Mana bisa aku jadi pengusaha,” Laras kembali pesimis.
“Tidak ada jaminan orang berpendidikan tinggi bisa jadi pengusaha sukses, Laras.”
“Ya, apalagi kita hanya lulusan SMP.”
Melati tersenyum penuh arti. “Mari kita balik logikanya. Kalau orang yang mempunyai pendidikan tinggi tidak ada jaminan untuk sukses, maka orang dengan berpendidikan rendah tidak ada kepastian untuk gagal dong.”
Laras tampak menautkan alisnya, seolah sedang mencerna perkataan Melati, nyatanya Laras bingung.
“Jangan khawatir, Laras. Selagi kita berusaha, kita akan berhasil. Ijazah hanya tanda lulus sekolah, bukan tanda dia lulus ujian kenyataan. Hidup penuh ujian dan kita dilarang keras menyerah.”
Laras tampak tersenyum dan kembali mengambil wafer—sebuah kebiasaan Laras dari kecil. Kalau sedang stres, dia akan memakan wafer, tapi wafernya harus merek Tango.
“Terima kasih, Melati. Kalau ada lowongan kerja, kasih tahu aku.”
Melati menautkan alis, mencoba mengingat. “Oh, ada. Tetangga suamiku menawariku jadi OB di kampus tempat dia mengajar, tapi aku menolaknya karena dalam waktu tiga bulan ini aku akan tinggal di rumah.”
“Kenapa kamu tinggal di rumah?”
“Aku hanya menjalankan sunah seorang janda, tidak keluar rumah selama masa idah.”
“Kamu salehah sekali, Melati.”
“Ya, anak salehah juga bisa jadi janda, kan?”
Mereka berdua cekikikan dan mengobrol sampai sore, membahas masa lalu dan masa depan. Mereka sepakat untuk menabung bersama untuk modal dan membangun usaha bersama.
….
Waktu terus berlalu, tak terasa tiga bulan sudah berlalu semenjak Melati bercerai.
Apakah Melati hidupnya makin sukses, apakah nasib baik akan berpihak pada Melati?
Tidak juga, pas masa idah selesai, ini hadiah yang Melati terima.
“Beberapa orang mengadukan tulisan Anda tidak valid dan terlalu merongrong sistem pendidikan.”
Melati berulang kali melihat notifikasi dari web.
“Tidak valid, merongrong sistem pendidikan.” Berulang kali Melati mencerna kata merongrong dan tidak valid.
“Siapa yang sudah mengadukan aku, coba?” gumam Melati.
Melati kembali melihat ponselnya. “Uangku tinggal lima juta, dan sekarang aku diblokir media. Apa karena pergantian kekuasaan atau karena pemerintah sekarang antikritik?” gumam Melati.
Melati mencoba menghubungi redaktur media online, naas nomor Melati sudah diblokir.
Melati meneliti kembali setiap tulisannya, lalu beberapa komentar.
Ada akun mwr yang terus mengadukan dirinya.
“Jangan percayai tulisan dari orang yang tidak berkompeten. Ingat, negara kita hancur oleh orang yang tidak sekolah tinggi.”
Banyak sekali akun mwr membuat statemen, dan Melati selama ini tidak pernah peduli dengan komentar.
Namun karena dirinya sekarang diblokir, terpaksa Melati menelaah satu per satu.
“Mwr, siapa dia? Apa dia Mawar?” gumamnya.
“Untuk apa dia menghancurkan karierku, bahkan aku rela melepas Mas Arga untuk dia.”
Melati mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, lalu menghela napas kasar.
Ponsel Melati berdering, nama Sumi tercantum.
Melati tidak mau mengangkat, tapi ponselnya terus berdering.
“Melati, sudah tiga bulan ini.”
Melati menautkan alisnya. “Perasaan enggak punya utang, Mbak.”
“Kamu kira aku debt collector apa? Gimana tawaranku kerja di kampusku?”
“Bukannya Laras sudah kerja di situ?”
“Laras kerjanya bagus, rajin, dan pintar lagi, tapi dia bukan kamu.”
Melati mengerutkan dahinya, menggenggam botol Aqua. “Kan sama saja jadi office girl.”
“Ya, kerjanya sama, tapi dia bukan kamu.”
“Terus aku harus apa, Mbak?”
“Kerja, ya, di tempat aku.”
“Kenapa, Mbak?”
“Ya, pokoknya kerja aja.”
Melati terdiam. Dalam sebuah buku yang dibaca, kalau seseorang ngotot menawari pekerjaan, pasti ada niat yang tersembunyi.