“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.30
Malam itu, mereka memutuskan kembali ke Jakarta. Niklas dan Damian tidak bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama, tapi Daisy tetap menatap keluar jendela pesawat, membiarkan gelap malam dan cahaya kota dari ketinggian meresap ke dalam pikirannya.
Ia menoleh pada Damian yang tersenyum lembut sambil memeluk Vio yang sudah terlelap di pelukannya. Rasa hangat itu seolah memberi ketenangan, meski hatinya masih bergetar menahan rindu akan momen kebersamaan singkat yang baru saja mereka lewati di Bali.
Sementara itu, di meja makan keluarga Sakti, suasana jauh berbeda. Biasanya hidangan mereka mewah, penuh warna dan aroma menggoda. Namun malam itu, hanya ada tumis kangkung dan tempe goreng tepung—sederhana, tapi cukup untuk mengganjal perut.
Elena menatap sendoknya lama, lalu menarik napas berat. Ia memberanikan diri menatap ayah dan ibunya, menyembunyikan rasa cemas yang kian menekan.
“Ma, Pa… besok aku harus bayar semester. Kalau nggak, aku bisa dikeluarkan dari kampus,” suaranya lirih, nyaris pecah.
“Aku juga,” sahut Fahri, menunduk dengan wajah gelisah. “Kalau nggak bayar, aku nggak bisa ikut ujian.”
Sakti terdiam sejenak, sorot matanya sayu saat menoleh ke arah Laras. Tanggal gajian masih lama, sementara kebutuhan anak-anak terus mendesak. Ia menelan pahit itu dalam diam, lalu mencoba memberi ketenangan.
“Nanti Papa usahakan, ya. Tenang saja,” katanya lembut, meski nada khawatir tak bisa disembunyikan.
Laras hanya melirik sekilas, tidak berkata banyak. Namun matanya tak bisa lepas dari wajah Elena dan Fahri—anak-anak yang kini harus ikut menanggung beban hidup akibat kesalahan masa lalu.
Mereka kembali makan dalam hening. Hanya suara sendok dan piring yang terdengar, tapi di balik kesunyian itu, ada kehangatan keluarga yang tetap bertahan meski keadaan begitu sulit.
*
*
*
Di tempat lain, Ivana tersenyum tipis saat menerima kabar dari orangnya bahwa Damian sudah kembali ke Jakarta. Matanya berbinar, bibirnya melengkung penuh keyakinan.
“Bagus… ini akan lebih mudah. Kali ini, bukan aku yang harus bergerak.” Ia menatap sebuah foto Damian di meja kerjanya, jemarinya menyusuri bingkai foto itu seakan menyentuh wajahnya.
“Daisy, nikmatilah kebahagiaanmu itu. Karena sebentar lagi, Damian akan jadi milikku. Dia harus jadi milikku,” gumamnya, sarat obsesi.
Malam itu, setiap orang melalui malamnya dengan perasaan berbeda—ada yang tenang, ada yang dilanda gelisah, ada pula yang dipenuhi rindu.
Keesokan paginya, kediaman Wisnutama kembali ramai. Para pekerja rumah sibuk menyiapkan sarapan, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Daisy dan Jasmine masih terlihat lelah karena baru sampai dini hari, namun mereka tetap duduk di meja makan bersama keluarga.
Damian menarik kursi untuk istrinya, memberi senyum lembut.
“Istirahat lagi habis sarapan, ya. Jangan dipaksain kalau capek.”
Daisy tersenyum tipis, matanya masih berat menahan kantuk.
“Aku nggak apa-apa. Lagi pula, Vio pasti nyariin aku kalau aku tidur terus.”
“Vio kan ada Mbak Tyas,” sahut Damian, tapi Daisy menggeleng pelan. Damian akhirnya tak mempermasalahkan. Ia langsung menyuapi Daisy dengan sarapan yang ada di piringnya.
Niklas turun dengan jas kerja yang sudah rapi. Ia sibuk mengecek jam di pergelangan tangannya.
“Rapat pagi ini mepet banget,” gumamnya, lalu meneguk kopi dengan cepat.
“Sayang, aku pergi dulu,” ucap Niklas sambil mengecup kening Jasmin.
“Hati-hati, Mas.”
“Iya.”
Daisy memperhatikan interaksi orang tuanya, bibirnya melengkung tipis. Tak lama, Damian pun ikut pamit, menirukan hal yang sama seperti mertuanya sebelum berangkat kerja.
“Sepertinya kita harus nambah pekerja baru,” celetuk Jasmin sambil menatap meja makan.
“Gak perlu, Mom. Aku bisa jaga Vio sendiri,” balas Daisy cepat.
“Bukan buat Vio, tapi buat di dapur. Kasihan Bibi harus membersihkan rumah sebesar ini,” kata Jasmin lembut.
Daisy hanya bisa menghela napas. “Ya sudah, aku ikut saja, Mom.”
Di sisi lain kota, Ivana sudah berada di depan sebuah yayasan sejak pagi. Ia menunggu dengan penuh kesabaran, sampai akhirnya seorang gadis keluar dengan tas berisi pakaian dan beberapa dokumen. Sertifikat dari yayasan masih tergenggam di tangannya.
Ivana tersenyum puas.
“Mia…” panggilnya lirih, seolah menyambut kepingan rencana yang mulai terwujud.
Tanpa banyak kata, Ivana segera merangkul Mia dan membawanya menuju apartemen pribadinya. Di sana, rencana besar perlahan disusun—rencana yang bisa mengusik kebahagiaan rumah tangga Damian dan Daisy.
*
*
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, pagi itu Andreas terlihat begitu antusias. Biasanya tiap bangun tidur atau sebelum tidur, dia selalu merenung dan menangisi Daisy dengan penuh penyesalan. Namun kali ini, wajahnya justru memancarkan semangat baru.
“Selamat pagi, Dad,” sapa Andreas dengan riang saat masuk ke ruang makan.
Alfa yang sedang membaca koran hanya melirik sekilas, heran dengan perubahan sikap anaknya.
“Kenapa kamu? Menang lotre?” tanyanya setengah serius.
Andreas terkekeh sambil menarik kursi. “Lebih dari itu. Aku menemukan berlian di tumpukan sayur.”
Alfa mengerutkan kening. “Perumpamaan macam apa itu? Yang ada, bagaikan menemukan berlian di batu kali.”
Andreas hanya tertawa lepas, tidak menjelaskan lebih jauh. Ia pun mulai sarapan seadanya, sementara pikirannya sudah melayang pada rencana hari ini.
Setelah ini, ia akan menemui Bella—gadis yang belakangan membuatnya kembali bersemangat. Andreas ingin menawarinya pekerjaan yang lebih layak, sekaligus memastikan bahwa kesempatan untuk dekat dengan Bella tidak akan ia lewatkan begitu saja.
Bersambung ...