Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
“Heh cahya bulan nu ngagurilap di tengah peuting,
heh béntang nu nyirorot siga inten di awang-awang,
bantosan ka kuring pikeun ngiket haténa maneh.
Ku cai walungan nu ngalir teu eureun-eureun,
haténa maneh kudu ngalir ka kuring, moal ka batur.
Ku seungit kembang kantil di imah nini moyang,
rasa cinta maneh kudu nyampur jeung rasa cinta kuring.
Kuring ngucap, kuring nyebut,
sakabeh roh karuhun kudu jadi saksi!
Haténa maneh ayeuna … ayeuna pisan
kudu ragrag ka kuring, siga bala-bala nu ragrag kana minyak panas,
jeung lengket … moal bisa leupas deui!”
[“Hei cahaya bulan yang berkilau di tengah malam,
hei bintang yang bersinar seperti intan di langit,
tolonglah aku untuk mengikat hatinya.
Dengan air sungai yang mengalir tanpa henti,
hatinya harus mengalir kepadaku, bukan kepada orang lain.
Dengan harum bunga kantil di rumah leluhur,
rasa cintanya harus bercampur dengan rasa cintaku.
Aku mengucap, aku menyebut,
seluruh roh leluhur harus menjadi saksi!
Hatinya sekarang … saat ini juga …
harus jatuh kepadaku, seperti bala-bala yang jatuh ke minyak panas,
lalu lengket … dan tidak akan bisa lepas lagi!” ]
Suara lirih Galuh terdengar seperti bisikan angin yang menyelinap ke celah jendela perpustakaan sekolah. Dia duduk bersila di atas lantai, wajahnya menunduk khidmat.
Bibirnya komat-kamit, berusaha menghafal tiap kata dalam mantra kuno itu. Sekilas, wajah Galuh terlihat serius, tetapi dalam hatinya ia sendiri geli. Bagaimana bisa gadis lulusan sarjana pendidikan malah sibuk melafalkan mantra cinta seolah ia seorang dukun kampung?
Namun Galuh tidak punya pilihan lain. Cintanya pada Max, pria blasteran Jerman-Indonesia itu, sudah lama kandas hanya karena satu hal, agama. Waktu masih SMP, mereka sempat berpacaran penuh tawa dan mimpi. Tapi ketika beranjak dewasa, masalah itu datang bagai tembok tinggi yang tak bisa diterobos. Max menolak berpindah keyakinan. Galuh pun terpaksa menyerah, meski hatinya masih saja menolak. Kini, di usia 25, tekanan pertanyaan “kapan menikah?” membuatnya makin kalang kabut.
Di sisi lain, Ryan duduk bersila dengan wajah penuh konsentrasi. Pria itu tengah membaca mantra tolak bala pada kertas yang sudah lusuh dan ada bekas iler. Semalam dia menghafalkan mantra itu sampai ketiduran.
Ryan membaca mantra berulang-ulang, matanya menatap kertas seolah itu tiket emas menuju restu orang tua Meilin. Gadis Tionghoa itu adalah pujaan hatinya. Namun, keluarga Meilin terkenal keras. Perbedaan budaya, agama, bahkan cara makan pun bisa jadi alasan larangan. Ryan tahu dirinya harus berjuang lebih keras dan baginya, mantra ini bisa menjadi “senjata rahasia”.
“Heuh, angin nu ngagelebug ti kulon,
heuh, cai hujan nu ragrag ti langit,
sing jauhkeun sagala bala,
boh bala nu nyata, boh bala nu ngagoda cinta.
Ku cahya bulan purnama nu nyorang leuweung,
ku sora manuk haneut peuting,
sing kabur sagala nu goréng,
ulah aya nu ngahalangan kanyaah nu keur mekar.
Lamun aya bala nu ngadadak datang,
sing jadi ragrag siga bala-bala tina wajan,
ngagelebug kana minyak, terus garing,
moal bisa ngaganggu deui!
Heh bala, jauhkeun!
Heh cilaka, nyingkahan!
Heh rasa cemburu, ulah nyelip!
Cinta kuring jeung maneh kudu kawas peuyeum,
sanajan lila tetep ngeunah,
sanajan dipelakan di mana waé tetep matak mabok asihna!”
[“Hei, angin yang berhembus dari barat,
hei, air hujan yang jatuh dari langit,
jauhkan segala bala,
baik bala yang nyata, maupun bala penggoda cinta.
Dengan cahaya bulan purnama yang menembus hutan,
dengan suara burung malam yang bersenandung,
biarlah semua yang buruk pergi,
jangan ada yang menghalangi kasih sayang yang sedang mekar.
Jika bala tiba-tiba datang,
biarlah jatuh seperti bala-bala dari wajan,
tercebur ke minyak panas, langsung garing,
tak bisa mengganggu lagi!
Hei bala, menjauh!
Hei malapetaka, menyingkir!
Hei rasa cemburu, jangan ikut campur!
Cinta aku dan kamu harus seperti tape,
meski lama tetap enak,
meski ditaruh di mana saja tetap bikin mabuk asih!” ]
Sementara Dewa, sahabat mereka, sibuk di dapur sekolah. Aroma teh manis mengepul dari cangkir seng. Sambil mengaduk teh dengan sendok alumunium, bibirnya juga berkomat-kamit menghafal mantra untuk Denok, putri kepala desa. Dewa sadar betul dirinya hanyalah anak buruh, hidup dari belas kasih bapaknya Galuh yang membiayai sekolahnya. Tapi cinta pada Denok membuatnya nekat.
“Cinta mah kudu diperjuangkeun, sanajan kudu make mantra sakti,” gumam Dewa sambil meneguk teh panas yang langsung membuat lidahnya melepuh.
“Galuh, sebentar lagi jam tujuh. Sana bunyikan lonceng!” titah Pak Jaja, kepala sekolah yang terkenal galak namun sayang pada murid-murid.
“Baik, Pak.”
Galuh bergegas ke ruang depan. Denting lonceng sekolah menggema di udara pagi, disambut hiruk pikuk murid-murid yang berbaris di lapangan. Galuh menuntun mereka untuk senam SKJ ’95. Gerakan kaku, tawa riang, dan sesekali teriakan “ayo semangat!” membuat suasana hangat. Setelah senam, lagu-lagu nasional pun berkumandang, meski banyak murid salah nada.
“Anak-anak, hari ini kita olahraga main kasti,” ujar Galuh. Anak-anak bersorak riang. Alun-alun desa yang luas sudah menanti mereka di seberang jalan.
Namun, kebahagiaan itu berubah seketika. Seorang murid perempuan, Sari, berlari tanpa melihat kanan-kiri. Sebuah sepeda motor melintas cepat, menabraknya hingga tubuh mungilnya terjatuh keras di aspal.
“Ya Allah! Sari!” jerit Galuh. Tanpa pikir panjang, ia menggendong bocah itu, napasnya terengah-engah. “Kamu harus bertahan! Kita ke puskesmas sekarang!”
Galuh berlari sekuat tenaga, rambutnya terurai, keringat bercucuran. Murid-murid lain panik, sementara Ryan dan Dewa berlari menyusul, meski tertinggal jauh. Jarak 200 meter terasa seperti maraton tanpa garis akhir.
“Bagja! Cepat obati anak ini!” teriak Galuh begitu sampai di puskesmas.
Dokter Bagja, tetangganya sekaligus rival sejak kecil, baru saja masuk ruang praktik. Matanya membelalak melihat Galuh yang datang dengan wajah panik. Seorang murid perempuan meringis kesakitan di gendongannya.
“Apa yang terjadi?” Bagja segera menyiapkan peralatan medis.
“Dia ditabrak motor di depan sekolah. Cepat, tolong!” Galuh meletakkan Sari di ranjang pemeriksaan, tangannya masih gemetar.
Bagja bekerja cepat, membersihkan luka di kaki dan tangan murid itu. “Tidak parah, hanya lecet.”
Galuh menghela napas lega, tapi masih kesal. “Kalau dia kenapa-kenapa, kamu harus bertanggung jawab!” katanya ketus, seolah semua masalah dunia adalah salah Bagja.
Bagja mengangkat alis. “Seharusnya kamu bilang begitu ke orang yang menabraknya, bukan ke saya.” Tangannya tetap cekatan, meski ucapannya menyindir.
Galuh mendengus. “Heh, bukan aku, ya, yang bikin anak ini jadi begini!”
Namun, Bagja tidak membalas lagi. Ia memilih diam, menyalurkan seluruh perhatiannya pada pasien kecil itu.
Ketegangan di ruangan itu pecah oleh teriakan lain.
“Dokter, tolong papa saya!”
Galuh menoleh. Seorang pria tinggi berambut pirang keemasan masuk tergesa. Dadanya naik-turun, wajahnya pucat. Di pelukannya, seorang lelaki tua yang lemas tak berdaya.
Galuh tertegun. “Max …?”
Nama itu lolos begitu saja dari bibirnya. Suara bergetar, seakan waktu berhenti sesaat.
Max. Pria yang pernah ia cintai setengah mati, pria yang menolak melepas keyakinannya hanya demi mempertahankan cinta mereka. Kini, pria itu berdiri di depannya dengan tatapan penuh kejutan yang sama.
Bagja melirik ke arah Galuh, lalu ke Max. Senyum samar muncul di bibirnya—senyum yang lebih mirip sindiran. Ia tahu betul kisah cinta lama mereka. Dan kini, takdir seolah sedang membuka lembaran lama di hadapannya.
“Papamu kenapa, Max?” tanya Bagja dengan nada profesional, meski matanya penuh selidik.
Namun Max tak langsung menjawab. Tatapannya justru melekat pada Galuh. Mata birunya bergetar, seolah ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan tapi terhenti di kerongkongan.
Galuh pun terpaku. Ingatan tentang janji, tawa, dan air mata mereka dulu menyeruak tanpa izin. Degup jantungnya berpacu liar.
Tepat ketika Bagja hendak mendekati Max untuk mengambil alih pasiennya, tetapi sesuatu terjadi pada ayah Max. Pria tua itu terbatuk keras, wajahnya pucat pasi, lalu tangannya terkulai.
“Papa!” teriak Max panik.
Galuh membeku, sementara Bagja segera bergerak cepat. Dalam detik-detik genting itu, mata Max kembali menatap Galuh, penuh kebingungan, ketakutan, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kenangan lama. Sesuatu yang mungkin … cinta dia belum padam.
***
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....