Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Bab 12.
Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar hotel, menandakan awal hari yang akan sibuk. Revana sudah lebih dulu bangun, meski semalaman ia tidur tak nyenyak karena rasa canggung berada sekamar dengan Adrian. Dengan langkah pelan, ia menyiapkan setelan kerja Adrian, kemeja putih yang rapi, jas abu-abu elegan, serta dasi biru tua.
Saat Adrian keluar dari kamar mandi mengenakan bathrobe, aroma aftershave maskulin langsung menyelimuti ruangan. Revana berusaha tetap fokus, meski jantungnya berdetak lebih kencang.
“Ini, Pak… setelan kerja Anda sudah saya siapkan. Jangan lupa, meeting pertama pukul sembilan.” ucap Revana berusaha tenang.
Adrian melirik sekilas, lalu tersenyum samar.
“Kamu sigap sekali pagi ini. Hmm...makasih ya...”
Adrian kembali masuk ke dalam kamar mandi, untuk mengenakan setelan kerjanya. Setelah selesai Adrian kembali keluar, ia menenteng dasinya di tangan.
"Revana, tolong pasangkan dasi saya." titah Adrian.
Revana terperangah, matanya melebar.
“Eh? Pak Adrian… saya rasa Anda bisa melakukannya sendiri. Saya—”
Adrian mendekat, menyerahkan dasi sambil menatap penuh arti.
“Anggap saja ini tugas tambahan sebagai sekretaris pribadiku.”
Dengan tangan sedikit bergetar, Revana menerima dasi itu. Ia melangkah mendekat, mencoba fokus pada simpul dasi, bukan pada wajah tampan Adrian yang begitu dekat. Setiap kali jarinya menyentuh kerah kemeja Adrian, wajahnya terasa panas.
“Kamu selalu terlihat serius sekali. Apa aku membuatmu gugup, hm?” suara rendah Adrian menggoda.
Revana menunduk cepat, berusaha menyelesaikan simpul dasi itu.
“Bapak terlalu banyak bicara pagi-pagi begini.” ketus Revana.
Adrian terkekeh pelan, jelas menikmati sikap ketus Revana yang ia tahu hanyalah tameng dari salah tingkahnya.
Setelah semuanya rapi. Mereka turun bersama menuju restoran hotel. Suasana mewah dengan aroma kopi dan roti hangat langsung menyambut. Revana segera bergerak lincah, mengambilkan piring, lalu mengisi dengan sarapan untuk Adrian. telur, roti panggang, dan buah segar.
Revana menyodorkan piring yang sudah terisi itu di depan Adrian.
“Ini, Pak. Saya sudah pilihkan menu yang ringan, agar tidak terlalu berat sebelum meeting.”
Adrian menatap piring itu, lalu menatap Revana dengan senyum menggoda.
“Sepertinya aku semakin dimanjakan kamu. Kalau begini terus, bisa-bisa aku terbiasa dilayani hanya oleh kamu.”
Revana terdiam, menunduk, pura-pura sibuk dengan piringnya sendiri. Tapi sorot matanya sesekali melirik ke arah Adrian, hatinya berdebar tak karuan.
Sikap Revana yang cekatan namun sesekali salah tingkah, justru membuat Adrian semakin terpesona. Ada kepuasan tersendiri melihat gadis itu berusaha keras menjaga profesionalismenya, sementara dirinya tak hentinya menggoda.
Setelah selesai menyantap sarapan. Adrian memasuki ruang meeting hotel dengan langkah mantap. Jasnya rapi, dasi biru yang tadi Revana pasangkan menambah wibawanya. Di sampingnya, Revana menenteng map berisi dokumen presentasi. Wajahnya tetap serius meski hati masih menyimpan degup gugup.
Beberapa klien dari luar kota sudah menunggu. Suasana segera berubah formal. Adrian menjabat tangan satu per satu, memperkenalkan Revana sebagai sekretaris pribadinya.
“Pak Adrian, senang akhirnya bisa bertemu langsung. Tim Anda tampak profesional sekali.”
Adrian melirik sekilas ke arah Revana, lalu tersenyum tipis.
“Tentu saja. Saya selalu memastikan orang yang bekerja dengan saya adalah pilihan terbaik.”
Revana menunduk sopan, pura-pura sibuk dengan dokumen, padahal pipinya sedikit memerah.
Meeting berjalan lancar. Adrian dengan percaya diri memaparkan rencana kerja sama, sementara Revana mencatat dengan teliti semua poin penting, bahkan menyiapkan data tambahan ketika diminta. Klien terlihat puas.
Usai meeting salah satu klien menghampiri dengan senyum puas.
“Luar biasa. Presentasi Anda jelas sekali, Pak Adrian. Dan sekretaris Anda sangat tanggap. Saya rasa kerja sama ini akan berjalan mulus.”
Adrian menepuk pelan bahu Revana.
“Ya, saya memang bisa mengandalkannya.”
Revana terdiam, hanya mengangguk kecil, menahan rasa campur aduk di dadanya.
Setelah meeting selesai, bukannya kembali ke kamar, Adrian justru mengajak Revana keluar. Mereka pergi menuju restoran elegan di pusat kota, tak jauh dari hotel.
Revana terlihat sedikit bingung.
“Pak, bukankah kita masih punya agenda sore nanti? Apa tidak sebaiknya makan di hotel saja?”
Adrian menjawab, sambil tersenyum santai.
“Sore nanti memang ada pertemuan lagi, tapi makan siang ini khusus. Aku ingin menikmati suasana kota… dengan ditemani sekretarisku yang cantik.”
Revana spontan menoleh cepat.
“Pak Adrian, tolong jangan bercanda seperti itu.”
Adrian tertawa kecil.
“Kenapa? Kamu marah kalau aku bilang cantik? Padahal itu fakta.”
Revana tidak membalas. Ia hanya menunduk, merapikan tas kecil di tangannya, berusaha menutupi wajahnya yang mulai memanas.
Mereka tiba di restoran. Meja pojok yang tenang sudah disiapkan. Saat pelayan datang membawa menu, Adrian lebih dulu mengambil alih.
“Untuk saya steak medium rare. Untuk dia…” Adrian menatap Revana sejenak. “…saya rasa salmon panggang cocok, ya?”
Revana menyela cepat.
“Saya bisa pesan sendiri, Pak.”
Adrian mencondongkan tubuh, menatapnya penuh arti.
“Tapi aku ingin memilihkan. Biar sekali-sekali kamu merasa diperhatikan.”
Revana terdiam, menggenggam erat sendok di tangannya. Setiap kalimat Adrian membuatnya gugup, tapi jauh di dalam hati… ada rasa hangat yang tak bisa ia bantah.
...☘️☘️...
Hari itu begitu panjang bagi Adrian. Seharian penuh ia bertemu dengan berbagai klien, presentasi, diskusi, dan negosiasi.
Malam menjelang, tubuhnya terasa berat, langkahnya melemah. Begitu masuk ke kamar hotel, ia melepas jas dan dasinya dengan wajah pucat.
Revana yang sedari tadi ikut mendampingi memperhatikan dengan seksama.
Revana mendekat. Dengan suaranya lembut ia berkata.
“Pak Adrian… Anda kelihatan pucat sekali. Lebih baik istirahat di kasur sekarang juga.”
Adrian tersenyum tipis, berusaha tegar.
“Aku baik-baik saja kok Rev, mungkin hanya kecapean, aku tidur di sofa saja. Kamu jangan khawatir.”
Revana menatapnya tajam, kali ini dengan nada yang lebih keras.
“Tidak, Pak. Tidak bisa begitu. Kalau Bapak terus memaksakan diri, nanti bapak jatuh sakit. Apalagi besok masih ada agenda penting. Biar saya saja yang tidur di sofa. Bapak harus tidur di kasur malam ini.”
Adrian sempat membuka mulut untuk membantah, tapi tubuhnya sendiri terasa makin lemah. Ia akhirnya menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan.
“Baiklah… kalau kamu memaksa. Sepertinya tubuhku memang butuh menyerah malam ini.” kata Adrian dengan suara berat.
Revana segera membantu menyiapkan tempat tidur. Ia merapikan selimut, menaruh segelas air di nakas, bahkan mematikan lampu utama agar kamar lebih nyaman. Saat Adrian berbaring, wajah tegasnya tampak jauh lebih tenang, tapi jelas lelah.
“Kalau Bapak sakit… semua orang akan kesulitan. Jadi, tolong jangan keras kepala lagi.” ucap Revana pelan, hampir seperti gumanan.
Adrian membuka mata separuh, menatap Revana yang berdiri di samping kasur. Ada senyum samar di bibirnya.
“Kamu benar-benar cerewet… tapi aku suka dengan cerewetmu.”
Revana menoleh cepat, lalu menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Ia pun berbalik menuju sofa, membiarkan Adrian akhirnya tertidur.
☘️
☘️
☘️