Seira Adam Hanida adalah Ayi Mahogra atau Ratunya Kharisma Jagat yang harus memimpin pasukan kharisma jagat di zaman modern untuk melawan Bagaskara yang menggunakan makhluk ghaib untuk mengendalikan manusia agar menyembah iblis yang dia sembah.
Untuk melawan balik, Bagaskara hendak menculik anak kedua Ayi dan menggunakannya agar bisa mewujudkan kutukan kuno, kutukan itu adalah, setiap Ayi Mahogra atau ratunya kharisma jagat, kerajaannya akan runtuh digulingkan oleh anak perempuannya sendiri. Karena itu Ayi Mahogra meminta suaminya Malik Rainan dan juga pasukan kharisma jagat membawa kabur anaknya agar selamat dari penculikan dan dia bisa menjaga umat manusia dan kerajaannya dari serangan Bagaskara.
Selama proses pelarian ini, Malik dan pasukan kharisma jagat menemui banyak kesulitan karena serangan dari Bagaskara dan pasukannya, lalu apakah mereka berhasil melindungi anak perempuan Ayi Mahogra atau dia akan menjadi anak yang terkutuk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muka Kanvas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 29 : Mayat Tenggelam
“Dok, apakah Dokter yakin, tidak masalah jika kita ke sini?” Dita bertanya lagi pada Dokter Bari.
“Kau tenanglah Dita, shiftmu aman, sudah kuatur, tidak akan ada yang sadar kalau kita ke sini.”
“Bu, bukan soal itu Dok, tapi soal kita datang ke rumah ini, maksudku, apaka tidak masalah? Takutnya nanti dikiranya kita tuh aneh, sekte sesatlah, Dokterku malah percaya setan-setanan.” Dita ragu masuk ke rumah ibu itu yang masih ada bendera kuningnya dan beberapa orang duduk di luar halaman rumah dengan bangku seragam yang berjejer, bangku lipat dari besi yang khas jika ada perayaan di rumah, berbeda di tempat ini, di rumah ini tak ada perayaan, yang ada adalah kedukaan.
“Justru, ini semua untuk membuatmu tenang, bagaimana jika ruh ibu itu terus mendatangimu jika kau tidak membantunya? Kau tahu kan, ruh itu datang tidak mungkin hanya untuk menakuti, tapi bisa saja dia butuh untuk dibantu, Dita. Jadi, ayolah kita masuk.” Dokter Bari menarik tangan Dita yang memakai pakaian kasual dengan sepatu kets.
Mereka masuk ke rumah itu, ternyata jenazah sudah dikubur, di dalam rumah terlihat seorang perempuan seumuran Dita memeluk erat foto seorang wanita, Dita terkejut karena di foto itu adalah sosok yang dia lihat malam itu, walau di foto ibu itu terlihat teduh dan hangat, berbeda dengan ruh yang dia lihat, ruh itu seperti jahat.
“Saya Dokter yang menangani jenazah ibu Mbak, maaf baru datang, jenaza sudah dikubur ya?” Dokter Bari menyapa perempuan itu dan menyalaminya, Dita ikut menyalami dan mereka berdua duduk di samping kanan dan kiri perempuan itu, menghadap ke pintu masuk, orang lalu lalang, ada yang membawa makanan dari dalam rumah ke ruang tamu tempat mereka duduk, ada juga yang membawa makanan keluar untuk tamu, ada yang kerabat dan tetangga.
“Makasih ya Dok, sudah mau datang ke rumah.” Perempuan itu berterima kasih.
“Mbak Reisa yang tabah ya.” Dita akhirnya mencoba untuk memberi dukungan.
“Gimana mau tabah mbak, ibu saya bunuh diri katanya, saya sebagai anak yang kenal dia dipaksa menerima itu, mana mungkin ibu saya mau bunuh diri, orang dia lagi seneng banget karena saya sebentar lagi mau lulus. Saya kuliah juga mau nyenengin mama saya, dia mau saya lulus dengan nilai terbaik, katanya mau duduk di depan trus mau denger nama saya dipanggil saat wisuda nanti, tapi sekarang, siapa yang akan duduk di bangku orang tua saya saat saya wisuda mbak? Papa saya sudah menikah lagi dan nggak tahu juga tinggal di mana, saya sendirian.” Reisa tak bermaksud berkata dengan kasar pada Dita, tapi karena Reisa tidak suka saat orang mengatakan dia harus tabah.
“Saya tahu banget rasanya ditinggal orang yang kita sayang dan mau kita bahagiakan, Mbak. Ayah saya meninggal saat kami sedang sekolah, kakak saya kuliah, dia ayah yang sangat hebat, tumpuan keluarga kami, kata ayah, saya harus kejar cita-cita, saat saya bilang mau jadi Dokter, tapi saat saya jadi Dokter, ayah saya nggak ada. Sedih banget memang, tapi setiap doa, saya doakan ayah dan yakin, di atas sana, ayah pasti bangga, karena saya bisa mengejar cita-cita. Jadi, mamanya mbak Reisa juga pasti bangga, jadi yang kuat ya, kita jalani hidup tetap mengenang orang yang telah tiada sebagai alasan untuk tetap menjalani cita-cita, karena orang berharga itu yang memintanya.”
“Makasih ya Dokter, maaf namanay siapa mbak?” Reisa bertanya.
“Dita, panggil saja Dita.” Dita berkata sambil memegang tangan Reisa.
“Iya, makasih ya Dita.” Reisa tersenyum.
Mereka lalu larut dalam waktu dan waktu pamit tiba.
“Reisa kami pamit ya, kamu yang tegar dan jaga kesehatan.” Dokter Bari berkata.
“Reisa, besok aku main ke sini lagi boleh? Tapi abis shift aku selesai ya, aku temenin kamu, boleh?” Dita bertanya.
“Boleh banget Dit, makasih ya.” Reisa tersenyum karena senang, paling tidak perempuan umurnya tidak jauh dari dia, bisa ada di dekatnya.
Lalu mereka berdua pamit.
“Dita, kamu kenapa masih mau main ke sana? Apa kamu mau menyelidiki ibunya?” Dokter Bari bertanya, mereka akan ke rumah sakit bersama untuk bekerja.
“Itu hanya hal kecil yang aku ingin tahu, Dok, semenjak ayah meninggal, aku jarang sekali bermain dengan teman sebaya, kakakku sibuk menarik angkot untuk kebutuhan kami, lalu ibuku juga sibuk buat kue basah dan bekerja di catering untuk kebutuhan kami, terkadang aku kesepian, dulu kalau ayah narik angkot, masih ada kak Adit dan ibuku yang menemani bermain, tapi semenjak ayah nggak ada, semua orang sibuk mencari nafkah, aku tahu mereka lakukan itu untuk aku, tapi rasa sepi itu sungguh menyiksa, kadang aku memaksa membantu ibu, walau ibu tidak suka aku ikut bantu, tapi kalau tidak begitu, aku jadi kesepian.
Mau main sama teman sebaya, tapi aku takut, karena beberapa orang bilang kalau ayahku itu orang miskin dan aneh, ada yang gosip juga kalau ayahku katanya dukun ilmu hitam karena ada beberapa orang yang suka dibantu soal ghaib, jadi ayahku dianggap dukun, para orangtua di tempat tinggalku akhirnya melarang anak mereka main denganku karena takut celaka berteman dengan anak orang miskin dan dukun.
Padahal ayahku bukan dukun, dia juga bantu orang melalui doa saja, jadi … aku memang ingin tahu apa yang terjadi pada ibunya Reisa, terlebih dari itu, aku juga paham, pasit saat ini Reisa merasa kesepian, bingung dan nggak tahu gimana lagi menjalani hidup.
Aku mau menemaninya, supaya dia bisa lebih semangat menjalani hidup, aku bisa selamat karena aku punya cita-cita, janji ke ayahku akan mengejar cita-cita itu, tapi Reisa, sudah mencapai cita-citanya untuk mamanya Dok, aku takut kalau dia tak punya alasan lagi untuk hidup, maka ….”
“Bisa jadi dia tak mau lagi hidup?” Dokter Bari bertanya.
“Ya Dok, begitu.” Dita sedih.
“Kamu ini Dokter yang baik.” Dokter Bari mengusap kepala Dita, Dita terkejut dan dia jadi tegang, jantungnya berdegup, apa-apaan ini, apa yang dia rasakan pada suami orang, Dita buru-buru mengatur napas agar tak terlihat kikuk karena usapan di kepala itu.
Mereka telah sampai rumah sakit dan bersiap untuk bekerja.
…
“Dit, udah deh jangan repot gini, Dokter kok malah sibuk cuci piring di rumah orang asing.” Reisa menarik piring yang lagi Dita pegang.
“Idih, emang Dokter nggak boleh cuci piring?” Dita tertawa dan menarik kembali piring terakhir yang akan dia bilas setelah dibersihkan dengan sabun menggunakan spon.
“Dit, makasih ya, karena kamu di sini aku jadi merasa nggak sendirian lagi, kerabatku banyak, tapi aku tidak dekat, ibuku itu jarang membawaku bertemu saudara, beberapa bahkan tidak aku kenal. Makanya aku merasa sendirian. Untung kamu di sini.”
“Untungkan aku di sini, jadi bisa bantuin kamu cuci piring.” Dita berkelakar.
Raisa mengambil piring terakhir itu dan menaruh piring basah itu di sebuah baskom besar yang sudah banyak tumpukan piring basah bersih di atas meja dapur.
“Bukan cuci piringnya lah!” Reisa mengkoreksi.
“Saat kamu bilang kalau kamu itu bingung nggak tahu siapa yang nemenin wisuda, disitu aku tahu kalau kamu mungkin merasa kesepian, aku juga nggak tahu kerabat dari pihak ayah, aku bahkan nggak pernah ketemu nenek dan kakekku dari pihak ayah, kalau dari pihak ibu, paling setahun sekali aja sih, saat lebaran, sisanya ya menjalani hidup masing-masing, makanya aku mau temenin kamu, kita nih seumuran, tuaan aku sih, panggil aku kakak.” Dita kembali membuat agar suasan cair.
“Iya deh kakak Dita, makasih yah udah nemenin.” Reisa tersenyum.
“Reisa, maaf ya kalau aku kayaknya kurang ajar, tapi aku boleh tanya sesuatu nggak?” Dita bertanya pada Reisa.
“Apa? Tanya aja.”
“Soal ibumu yang diketemukan tenggelam, kau tahu dari mana dia bunuh diri?” Dita akhirnya bertanya.
Reisa diam.
“Kalau kamu nggak mau jawab, nggak usah jawab, aku hanya ….”
“Ada yang melihatnya di jembatan berdiri cukup lama, lalu dua hari kemudian mayatnya diketemukan di sungai, katanya mama bunuh diri karena tidak sanggup melihat papa bahagia dengan istri barunya. Tapi aku tahu itu bohong, bahkan saat papa masih bersama kami, mama dan papa sering bertengkar, makanya mereka berpisah, mama bilang kalau dia sebenarnya tidak ingin menikah dengan papa, tapi karena dijodohkan oleh keluarga, mama akhirnya menikah dengan papa.
Makanya itu aneh, mama nggak mungkin bunuh diri karena melihat papa bahagia, karena semenjak pisah, mama terlihat jauh lebih bahagia, aku sering melihat mama tersenyum dan bahkan mulai melakukan kegiatan yang dia suka.”
“Oh ya, memang kegiatan yang dia suka apa?” Dita bertanya.
“Silat, mama itu dulu atlit Dit, tapi dia berhenti karena papa tidak suka, semenjak pisah, mama jadi sering berlatih silat lagi, aku senang, karena meski tak muda lagi, itu membuat mama terlihat bersemangat dan bahagia.”
“Kamu tidak mau coba cari tahu?” Dita bertanya dengan hati-hati.
“Apakah harus? Maksudku, aku tidak punya energi untuk melakukan itu, Dit.”
“Aku bantu, kamu tahu kan, kalau aku Dokter, aku bisa bantu dari sisi medis, jika memang ada yang mencurigakan. Maksudku, Dokter Bari juga bisa bantu, aku akan lihat laporan forensik ibumu ya, kita mulai dari itu saja.”
“Dit, serius nih? Kalau kayak gini, aku jadi punya alasan untuk hidup lagi, aku jadi punya alasan untuk tetap bangun besok pagi.” Reisa berkata dengan lemah.
“Harus, pokoknya Reisa harus selalu punya alasan untuk hidup ya, sekarang selidiki kematian mama, besok kalau sudah kita tahu, sekedar kafe atau tempat kopi baru, harus selalu jadi alasan Reisa mau hidup, janji! Kalau janji, baru Dita bantu!” Dita sangat khawatir, untung dia bertanya dan bisa membuat Reisa bersemangat lagi, coba kalau Dita tak peka, apakah besok Reisa akan tetap hidup?
________________________________________________
Catatan Penulis :
Menurut kalian, apakah yang Dita lakukan benar? Apakah benar kalau ibunya Reisa tidak depresi? Maksudku, setiap orang yang ingin bunuh diri itu, biasanya memendam apa yang dia rasakan, kita nggak perlu takut sama orang yang selalu mengeluh, tapi takutlah sama orang yang selalu terlihat bahagia, karena dia meredam badai di dalam hatinya yang entah kapan keluar menjadi topan dan meluluhlantahkan dirinya sendiri.
Aku harap, siapapun kalian yang membaca novel ini dan berada di titik terendah, bisa selalu punya alasan untuk bersemangat setiap harinya, seperti yang Dita bilang, sekedar kafe baru, tempat kopi yang enak, yang belum kalian coba, harus menjadi alasan hidup, terlebih Allah SWT masih kasih kita napas, artinya kita masih diizinkan hidup, maka hiduplah dengan baik ya.
Sehat selalu semua.
I love you all, media healingku adalah pembacaku, semoga tulisanku bisa jadi media healing kalian.
PKJ 2 akan publish setiap hari jam 19:00 (Semoga aku bisa menepati janji)
Jangan lupa like, coment dan follow akun Noveltoonku ya.
Jangan lupa untuk follow aku juga di :
IG : @mukakanvas
Tiktok : mukakanvas_horor
Youtube : @mukakanvas
kalo ibunya termasuk karisma jagad berarti akan ada karuhun yg menurun
coba amati Dita dari jauh
sapa tau ngerti ttg Dita yg diawasi
oleh dokter Hanan
dan juga didatangi ruh mama Reisa
ksrna ada kata nikah karna jodoh adat
yg di suka dita dr Bari kali ya...
dan dokter Bari adalah yg baik