Seorang detektif muda tiba-tiba bisa melihat arwah dan diminta mereka untuk menyelesaikan misteri kematian yang janggal.
Darrenka Wijaya, detektif muda yang cerdas namun ceroboh, hampir kehilangan nyawanya saat menangani kasus pembunuh berantai. Saat sadar dari koma, ia mendapati dirinya memiliki kemampuan melihat arwah—arwah yang memohon bantuannya untuk mengungkap kebenaran kematian mereka. Kini, bersama dua rekannya di tim detektif, Darrenka harus memecahkan kasus pembunuhan yang menghubungkan dua dunia: dunia manusia dan dunia arwah.
Namun, bagaimana jika musuh yang mereka hadapi adalah manusia keji yang sanggup menyeret mereka ke dalam bahaya mematikan? Akankah mereka tetap membantu para arwah, atau memilih mundur demi keselamatan mereka sendiri?
Update setiap hari,jangan lupa like dan komen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadinachomilk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 3 MELIHAT HAL LAIN
"Darren...Darrenka bangunn" terdengar suara pria mudaa yang menepuk nepuk pipinya.
Darren membuka matanya secara perlahan,lalu ia tersontak saat melihat seorang pria seusianya menggunakaan jubah putih tengah jongkok di sebelahnya.
"Lo siapa?"kata Darren kaget
"Tenang lo ga usa takut, gue yang bakal bantu lo buat misi ini"
"Misi apa?" Darren heran.
"Misi buat nyelamatin orang orang yang ada di dunia ini"
"Lo uda janji sama ketua"
"Gue ga pernah janji"
"Lo uda janji, coba ingat apa yang terjadi"
Darren mengingat ngingat kejadian apa yang telah ia perbuat,hingga ia ingat bahwa ntah itu nyata atau tidak ia telah mengambil tanda hijau itu.
"Tanda hijau itu,apakah itu tanda janji?" tanya Darren serius.
"Ya,itu adalah tanda janji di dunia ini"
"Dunia ini?emang sekarang gue dimana"
"Lo sekarang ada di perbatasan dunia,dunia dimana lo sedang berjuang untuk hidup dan mati"
"Bukankah orang tua itu sudah berjanji untuk mengembalikan nyawaku?"
"Iyaa, ketua memang sudah berjanji,tetapi kamu harus disini agar kamu tahu harus membantu siapa"
Pria muda itu mengajak Darren untuk berjalan jalan menyusuri perbatasan dunia itu. Langkah Darren terasa ringan, tapi entah kenapa napasnya berat. Tanah yang mereka pijak retak-retak, warnanya kelabu seperti abu, dan setiap kali ia menatap ke sisi kiri atau kanan, hanya ada kegelapan pekat.
Pria muda itu berjalan di depan, wajahnya datar tetapi sesekali memberi penjelasan kepada Darren.
"Perbatasan dunia ini nggak semua orang bisa lihat. Lo spesial, Darren. Karena itu lo juga harus tahu ada harga yang mesti dibayar"
Darren mengerutkan kening. "Harga? Maksud lo apa?"
"Lihat sendiri"
Kabut tipis di depan mereka perlahan terbuka. Dari baliknya, sosok-sosok mulai muncul. Awalnya hanya bayangan samar, lalu menjadi jelas tubuh-tubuh hancur, mata melotot tanpa bola, kulit mengelupas, dan darah kering menempel di pakaian robek-robek.
Seorang pria dengan lubang besar di dada merangkak pelan. Suara tulang retak terdengar tiap kali ia bergerak. Dari mulutnya keluar bisikan parau,
"Temukan dia… temukan pembunuhku"
Di sebelahnya, seorang wanita berambut panjang berdiri, lehernya miring hampir putus. Rambutnya menutupi sebagian wajah, tapi satu mata yang terlihat menatap Darren tajam. “Mereka belum menemukan pembunuhku,pembunuhku masih tenang diluaran sana”
Jantung Darren berdegup kencang. Langkahnya mundur, tapi pria muda itu menahan bahunya.
"Mereka ini bukan cuma korban. Mereka saksi. Tapi saksi yang terkunci di sini nggak bisa ngomong ke dunia lo kecuali lewat lo"
Darren menatap lagi, kali ini melihat sosok anak kecil duduk di tanah, memeluk boneka lusuh yang berlumuran darah. Anak itu mengangkat wajahnya perlahan wajah yang setengahnya hilang seperti terbakar.
"Anak itu adalah korban dari kedua orang tuanya" jelas pria muda itu
Pria muda itu menunduk, suaranya datar namun dalam,
"Mereka adalah yang menunggumu. Setiap dari mereka punya cerita yang harus lo selesaikan. Kalau lo mau nyawa lo kembali, lo harus bantu mereka menemukan kebenaran. Satu per satu"
Udara di sekitar tiba-tiba mendingin, kabut semakin tebal. Arwah-arwah itu mulai merapat, suara jeritan dan bisikan bercampur menjadi gema yang menusuk telinga.
"Sekarang ingat baik-baik wajah mereka. Karena setelah lo bangun, mereka akan mencarimu"
Dan dalam sekejap, semuanya menghilang, meninggalkan Darren jatuh terhempas ke dalam kegelapan.
------
Bip… bip… bip
Di dunia nyata, tubuh Darren bergetar lemah di ranjang IGD.
Dokter memeriksa dan berkata kepada perawat
"Tekanan darahnya turun, tapi dia masih bertahan. Kita harus memantau terus. Kondisinya kritis dia masih koma"
Atala yang sedari tadi menunggu putranya sadar merasa kecewa mendengarkan perkataan dokter.
Atala mengenggam tangan putranya itu.
"Nak bangun nak... Ibu kangen,kembali lah nak. Ibu cuman punya kamu"
Namun, Darren tidak bisa menjawab. Ia masih berada di tempat asing itu, di antara dunia manusia dan dunia arwah.
Setelah melewati penanganan medis,monitor detak jantung yang tadinya berbunyi lambat. Tiba tiba mulai berdetak stabil, garis garis yang sempat datar kembali membentuk gelombang teratur.
Dokter dan perawat saling pandang.
"Tekanannya normal detak jantungnya kembali" ujar salah satu perawat sambil memeriksa monitor.
Atala menggenggam tangan putranya dengan kuat kuat.
"Darren ayo bangun,ibu disini"
Tubuh Darren yang sebelumnya lemas kini sedikit bergerak. Kelopak matanya bergetar pelan, seperti sedang berjuang keluar dari mimpi panjang. Lalu sepasang mata itu terbuka. Pandangannya masih buram, lampu putih di langit-langit seperti terlalu silau.
"Darren kamu sudah sadar"kata Jena yang sedari tadi menemani tante Atala.
"Anakku kamu sadar sayang" suara Atala bergetar hebat air matanya turun.
"Mama,Jena"panggil Darren lemah.
Darren berkedip beberapa kali, mencoba fokus. Suara monitor dan bau antiseptik memenuhi inderanya. Tapi di sudut ruangan ia melihatnya.
Sosok anak kecil berambut panjang, duduk di lantai, memeluk boneka lusuh berlumuran darah. Wajahnya persis seperti yang Darren lihat di perbatasan dunia. Anak itu menatapnya, bibirnya bergerak pelan, menyusun kata yang tak terdengar.
Daren berkedip lagi,memastikan apakah itu benar namun saat berkedip kedua kalinya sosok itu hilang.
"Darren"Gavin yang dari tadi diluar segera masuk dan memeluk rekannya itu.
"Lo bikin gue jantungan tau ga sih ren"kata Selina yang berjalan mendekat.
"Iya nih,lo bikin kita panik setengah mati. Lo lihat tu Jena dari tadi nangis bareng mama lo"kata Gavin sambil menunjuk nunjuk Jena.
"Apasih Gav" Jena taak terima.
Mata Darren menoleh ke arah Jena dan Mamanya,kedua mata mereka sembab seolah habis menangis seharian.
Jena yang tau sedang diperhatikan Darren merasa malu lalu dia agak membuang muka sedikit,seolah salah tingkah.
"Mama,Darren baik baik aja ga usa khawatir" kata Darren lemah."
"Mama tau sayang"
Darren menatap ke arah lampu lampu ruang IGD.Lalu di arah ujung matanya ia melihat seorang anak kecil dengan muka setengah terbakar sedang menangis, lalu saat ia menoleh anak kecil itu menghilang.
"Apa itu,apakah mimpi itu nyata?siapa anak kecil itu?"batin Darren.
Saat kepalanya pusing memikirkan semua hal yang diluar nurul. Suara tenang ibunya terdengar.
"Nak kamu istirahat disini ya,ibu keluar sebentar ambil makanan"
"Iya Darren, Gue sama yang lain nunggu diluar"
Mereka semua berjalan satu satu keluar dari ruang IGD. Suasana ruang itu mendadak sepi.Tiba-tiba, di pojok ruangan, sesuatu bergerak. Darren menoleh perlahan, jantungnya seakan berhenti.
Seorang anak kecil berdiri di sana. Sosoknya kecil, tubuhnya kurus, tapi yang paling menakutkan adalah wajahnya. Kulitnya tampak terbakar, lapisan hitam dan merah menyala menyelimuti sebagian wajah, matanya kosong tapi menatap Darren dengan intensitas yang menusuk. Di tangan kanannya, boneka lusuh yang robek digenggam erat, seperti satu-satunya penghubung anak itu dengan dunia ini.
Anak itu menatap Darren dengan mata kosong tapi penuh kepedihan. Suara kecilnya terdengar pecah, serak, tapi jelas
"Tolong… tolong aku" kata anak itu.
Darren terpaku. Rasa takut menyelimuti tubuhnya. Napasnya tersendat, jantungnya berdebar cepat.
"A-apa... apa yang kamu maksud?" suaranya gemetar.
Anak itu melangkah mendekat, langkahnya ringan tapi menimbulkan hawa dingin yang menusuk tulang Darren. Bonekanya tetap digenggam, tapi kini ia mengangkat tangan kecilnya, seolah meraih bantuan.
"Aku… aku tidak bisa sendiri,apakah kamu mau membantuku?"
Darren menutup wajahnya dengan tangan, tubuhnya gemetar hebat. Rasa takut bercampur dengan rasa bersalah yang aneh entah kenapa hatinya terasa tertekan oleh kesedihan anak itu. Ia ingin lari, tapi kakinya lumpuh oleh ketakutan.
Sosok anak itu menatapnya terus, wajah terbakar itu memancarkan rasa putus asa.
"Aku membutuhkanmu kak,tolong bantu aku menghukum pembunuhku"
Darren menelan ludah, matanya mulai basah. Ia tahu, entah bagaimana, bahwa anak itu benar-benar membutuhkan bantuannya meski sosok itu menakutkan, ia merasakan ketulusan dan penderitaan yang dalam.
"Apakah aku harus menolongmu?"
"Cuman kakak yang bisa menolongku dan yang lain"kata anak kecil itu air matanya berlinang.
"Tetapi aku tidak tahu apapun tentangmu,dimana makammu?"
"Setelah kakak sembuh,aku akan menunjukan sesuatu"
"Kalau aku gagal membantumu?"
"Kakak pasti berhasil"
"Kenapa kalian percaya kalau aku bisa,aku juga sering gagal"
Lampu IGD berkedip, menyorot wajah anak itu. Darren menunduk sejenak, mencoba menenangkan diri. Dalam hati kecilnya, meski takut setengah mati, ia tahu satu hal ia harus memilih mengabaikan atau menolong.