NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:260
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2

"Ada yang bilang kamu masuk ke gedung Adiwijaya?"

Suara berat Harris memecah keheningan meja makan yang biasanya sunyi. Pertanyaan itu membuat semua mata menatap ke arah Diandra, yang saat itu sedang memotong ayam di piringnya.

Diandra terdiam sesaat, lalu menjawab santai, "Diandra salah masuk, Pah."

Nada suaranya ringan, tapi ketegangan di ruangan langsung terasa. Semua tahu, nama Adiwijaya bukan sekadar nama biasa bagi keluarga ini.

"Jangan pernah berhubungan dengan keluarga Adiwijaya, Diandra" tegas Harris. Tatapannya menusuk, menyiratkan larangan yang tidak bisa ditawar.

Diandra hanya mengangguk kecil. Kalau bukan karena Marissa, dia pun tak akan pernah menginjakkan kaki di gedung itu.

"Ra," suara lembut Mama Salma terdengar dari seberang meja makan, "Mama dengar Marissa mau dijodohkan dengan anak sulung keluarga Adiwijaya, ya?"

Diandra mengangguk sambil berpura-pura tak tahu. "Katanya sih, Ma... Diandra juga kurang paham," ujarnya sambil menyuap makanan, berusaha tetap tenang.

"Pasti urusan bisnis," tebak Mama Salma, nada suaranya santai, seolah perjodohan karena kepentingan bisnis adalah hal yang lumrah.

"Diandra nggak tahu pasti sih, Ma... Tapi kayaknya iya," jawabnya pelan, tak ingin menyulut percakapan lebih jauh.

Dari ujung meja, Harris meletakkan sendoknya perlahan. Tatapannya menelusuri wajah putri bungsunya. "Kamu sampai kapan mau tinggal di apartemen?" tanyanya.

"Pah-"

"Kamu nggak bisa terus menghindar, Diandra," potong Harris, suaranya kini terdengar lebih tegas. "Cepat atau lambat, semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya."

Ucapan itu membuat Diandra menunduk. Rasa bersalah menyelinap di dadanya, mengendap pelan.

Selama ini, ia memang sengaja menjauh. Tinggal sendiri di apartemen, bekerja tanpa menggunakan nama besar keluarganya, bahkan menolak fasilitas yang ditawarkan sang ayah. Bukan karena benci, tapi karena Diandra ingin dikenal karena kemampuannya, dan dia memiliki alasan lain.

Ia tahu betul, hidup di bawah bayang-bayang nama keluarga besar bukan hal mudah. Ia melihat sendiri bagaimana kakaknya berjuang keras mempertahankan nama keluarga, tapi tetap saja ada saja yang meremehkan. Menuduh kesuksesannya hanya hasil warisan.

"Gimana Koasnya lancar?" tanya Mama Salma, berusaha mengalihkan arah pembicaraan. Ia tahu betul, jika dibiarkan berlarut, topik tadi bisa memicu perdebatan yang tak perlu.

"Lancar, kok, Mah," jawab Diandra singkat. Senyum kecil menghiasi wajahnya, tapi nada suaranya tetap datar. Bukan karena tak ingin berbagi, melainkan karena tidak akan ada yang perduli dengan pekerjaanya.

Sejak awal keluarganya tidak suka dengan pilihannya, karena papanya ingin ia seperti kakaknya menjadi penerus keluarga. Namun ia tidak suka bersaing apalagi dengan kakaknya sendiri.

Hening sejenak menyelimuti meja makan. Hanya denting sendok dan aroma masakan hangat yang mengisi ruangan, seolah semua orang mencoba menyesuaikan kembali napas dan pikiran mereka.

Tiba-tiba, suara langkah heels menggema di lantai marmer. Irama sepatunya terdengar mantap dan familiar. Semua kepala menoleh hampir bersamaan.

"Malam," sapa sebuah suara tenang dari ambang pintu.

Di sana berdiri Sandra, anak sulung keluarga Aditama. Tubuhnya masih dibalut setelan kerja formal berwarna netral, rambutnya diikat rapi, dan wajahnya tampak lelah namun tetap memancarkan ketegasan.

Aura Sandra selalu berbeda. Ada wibawa yang melekat dalam diamnya, seolah seluruh dunia tahu bahwa dia adalah penerus keluarga Aditama.

"Maaf telat," ucapnya pelan, meletakkan tas kerja di kursi dan menarik kursi di sebelah Diandra.

"Makan dulu, sayang," ujar Salma penuh kasih, sambil buru-buru menyiapkan piring untuk anak sulungnya.

Sandra duduk dan tersenyum tipis. Ia baru pulang dari perjalanan dinas luar kota. Meski lelah, ia tetap anggun seolah mencerminkan siapa dirinya. Calon penerus perusahaan keluarga yang sangat diandalkan.

"Bagaimana perjalanan dinasnya, San?" tanya Harris, jelas bangga pada anak sulungnya itu.

"Lancar, Pah." jawab Sandra singkat namun cukup untuk membuat Harris tersenyum puas.

Kalau Diandra memilih kuliah kedokteran dan menolak ikut campur urusan bisnis keluarga, Sandra justru berjalan di jalur yang diharapkan ayahnya-menjadi pilar masa depan Aditama Group.

Namun suasana kembali berubah saat Sandra menoleh ke Diandra, ekspresinya serius.

"Kenapa kamu ke kantor Adiwijaya, Ra?" tanyanya tiba-tiba.

Diandra menghela napas. Bahkan kakaknya sudah tahu.

"Viral banget ya, Kak? Baru masuk sebentar, udah kayak masuk istana presiden." keluhnya malas.

"Jangan bercanda, Ra. Ada urusan apa kamu ke sana?"

Diandra meletakkan garpunya, lalu menatap semua orang di meja makan.

"Aku salah masuk, Kak. Sumpah, nggak sengaja. Beneran cuma salah gedung." katanya berusaha terdengar meyakinkan.

_____

"Untuk apa kamu menyuruh Diandra masuk ke kantor saya?"

Suara Lingga terdengar tenang, namun dingin dan tajam. Tatapannya menusuk lurus ke arah gadis di hadapannya, mengunci Marissa dalam ruang tak nyaman yang nyaris membuatnya sulit bernapas.

Malam ini seharusnya menjadi pertemuan formal untuk membahas perjodohan. Tapi Lingga punya tujuan lain yang lebih penting.

Tentang kedatangan seorang Diandra Elene Maris ke dalam wilayahnya.

Marissa menegakkan bahu, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap di seluruh tubuhnya.

"Maaf... saya tidak paham maksud Anda," elaknya dengan suara bergetar tipis.

"Diandra Elene Maris," ulang Lingga tanpa tergesa. "Sahabatmu, bukan?"

Marissa menunduk, tak sanggup membalas tatapan itu. Diandra tidak berlebihan. Pria ini memang membawa aura dingin yang mengintimidasi siapa pun yang duduk di hadapannya.

"Saya tidak tahu kalau Diandra masuk ke kantor Anda," katanya pelan.

Lingga menyunggingkan senyum. Bukan senyum ramah. Lebih menyerupai senyum mengejek.

“Kamu tahu alasan ayahmu ingin kita menikah?” suaranya terdengar tenang, tapi di baliknya ada sesuatu yang membuat udara terasa berat.

Marissa menggeleng pelan, namun tatapannya dipenuhi kegelisahan. “Tidak… saya benar-benar tidak tahu.”

“Perusahaan ayahmu hampir ambruk, Marissa,” katanya datar, nyaris tanpa jeda. “Dan satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya… adalah saya.”

Marissa mendongak cepat, seolah kata-kata itu menamparnya. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Ia mencoba mencari tanda bahwa pria di depannya hanya bercanda, namun yang ditemuinya hanyalah tatapan dingin yang tak memberi ruang untuk ragu.

Tak pernah sekalipun ia mendengar bisnis keluarganya berada di ujung jurang. Apa ini ada hubungannya dengan kasus besar beberapa bulan lalu?

“Ayahmu datang langsung pada saya,” lanjutnya, suaranya kali ini lebih pelan, namun justru terasa menusuk. “Memohon. Dan… menjadikan kamu sebagai jaminan.”

Ucapan itu menghantam seperti pukulan keras di dada Marissa. Napasnya tercekat. Ia ingin menyangkal, namun ekspresi tak berperasaan Lingga membuatnya sadar... jika pria di depannya ini tidak berbohong.

"Lalu... kenapa Anda menerimanya?" tanyanya pelan, seperti seseorang yang menggantungkan harapan terakhir pada logika.

Lingga menyandarkan punggung ke kursi, menyilangkan kaki dengan tenang.

"Menerimanya?" Ia tertawa pendek. "Saya bahkan belum mengatakan setuju. Tapi ayahmu... dia sudah cukup putus asa, hingga berniat menjual putri tunggalnya."

Marissa menggeleng lemah, matanya mulai berembun. "Tidak mungkin... Papa nggak akan pernah..."

"Tanyakan langsung jika kamu tidak percaya." potong Lingga.

Hening. Suara alat makan dan alunan piano di restoran terdengar seperti gema jauh dari dimensi berbeda.

Lingga menyesap secangkir kopi peranannya, kemudian menatap Marissa penuh.

"Saya ingin menawarkan kamu, kerja sama."

Marissa menegakkan tubuhnya, menatap curiga.

"Kerja sama?"

Lingga mengangguk, masih dengan ketenangan yang mengancam.

"Kamu tidak perlu menikah dengan saya. Saya akan tetap berinvestasi di perusahaan ayahmu. Akan saya selamatkan bisnis Hadinata... tapi, dengan satu syarat."

Perasaan lega Marissa seketika menghilang. Ia menggenggam gelas di hadapannya, jari-jarinya bergetar. "Apa syaratnya?"

Lingga menatapnya dalam-dalam. Tatapan yang tak bisa dibaca. Lalu bibirnya melengkung kecil.

"Tukar semua itu... dengan sahabatmu."

Marissa mengerutkan alis."Maaf... maksud Anda?"

"Saya tertarik dengan Diandra Elene Maris." Ucapan jelas dan tenang.

"Tidak!" seru Marissa spontan, emosinya meledak. "Saya nggak akan pernah menyerahkan Diandra! Dia nggak ada hubungannya dengan semua ini!"

Lingga tetap tak bereaksi. Ia hanya menaruh kembali gelasnya dengan tenang ke atas meja, lalu menatap Marissa tajam.

"Pilihannya cuma dua, Marissa." Suaranya pelan, tapi mengandung tekanan luar biasa.

"Berikan Diandra Elene Maris kepada saya... atau saksikan sendiri bagaimana keluargamu hancur, perlahan-lahan, satu per satu."

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!