Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.
Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.
Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.
Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.
Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4. Ihsan Semakin Melancarkan Rencananya
Latihan berakhir lebih malam dari biasanya. Lampu-lampu di halaman sanggar mulai redup, udara dingin menusuk kulit. Naina keluar sambil menenteng helm di tangan kanan, rambutnya sedikit basah oleh keringat. Janeta berjalan di sebelahnya, sesekali melirik curiga ke arah jalan.
“Eh, Nai… itu kayaknya motor merah tadi yang…” bisik Janeta, matanya melotot.
Naina mengikuti arah pandang Janet. Benar saja, di seberang jalan, motor sport merah mengkilap terparkir rapi. Pemiliknya bersandar santai di jok, jaket jeans terbuka, satu tangan memegang helm hitam, satu lagi menyelipkan mawar di saku.
Dua teman sanggar yang baru keluar langsung heboh. “Ih gila, itu siapa? Cakep parah. Udah kayak oppa-oppa Korea, tapi lebih mature,” seru Rani.
“Kayak oppa? Kayak om, kali,” sahut Della sambil cekikikan.
Janeta mendengus. “Oppa atau om, yang jelas tatapannya tuh nggak biasa, Nai. Lo hati-hati,” ujarnya pelan, tapi nadanya serius.
Naina menunduk, meremas tali helmnya. “Gue nggak ngerti apa maunya dia. Yang jelas, makin hari makin aneh,” ucapnya, berusaha santai tapi suaranya bergetar.
Dari kejauhan, Ihsan menatap tajam. Begitu Naina melangkah ke arah motornya, ia langsung berdiri, seolah memang menunggu saat itu. “Kita perlu bicara,” ujarnya begitu Naina berada dalam jarak dengar.
Janeta dan teman-temannya saling pandang. “Wah, ini drama beneran,” gumam Rani, separuh kagum, separuh khawatir.
Naina baru saja hendak mengenakan helmnya ketika tangan Ihsan cepat menahan pergelangannya. Sentuhannya dingin, tapi tekanannya cukup kuat untuk membuat Naina terhenti.
“Lepasin, Pak. Saya mau pulang,” tegasnya sambil menatap tajam mencoba melepaskan diri.
Ihsan mencondongkan tubuh, suara rendahnya nyaris seperti bisikan tapi penuh tekanan.
“Kamu ikut aku atau aku telpon Bu Rahayu sama Pak Aditya. Pilih mana?” ujarnya sambil mengangkat alis, bibirnya melengkung tipis.
Janeta yang berdiri tidak jauh langsung maju setapak. “Pak, ini udah kelewatan,” ucapnya gusar. Tapi tatapan Ihsan hanya sekilas beralih padanya lalu kembali menancap pada Naina.
Naina menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca tapi suaranya tetap nyaring.
“Kalau saya bilang nggak dua-duanya gimana? Telepon aja, sekalian kirim foto saya lagi berdiri di sini. Biar mama sama papa sekalian tahu, anaknya dideketin om-om,” serunya sengaja keras, membuat beberapa teman sanggar yang belum pulang ikut menoleh.
Sudut bibir Ihsan bergerak, antara kesal dan tertantang. “Kamu ini memang beda,” imbuhnya, menahan diri untuk tidak tersenyum lebar. “Tapi kita lihat nanti, siapa yang lebih tahan.”
Naina mendengus, meraih helmnya dan menatap Ihsan tanpa gentar. “Kita lihat aja, Pak. Tapi jangan harap saya takut cuma karena ancaman begitu,” ujarnya, lalu melangkah ke motornya, meninggalkan aroma parfum bunga yang samar.
Ikhsan mengendarai sepeda motornya motor sport berwarna merah itu di belakang Naina tanpa sepengetahuan prempuan belia yang membuatnya jatuh cinta sekaligus seperti orang gila, padahal jelas-jelas usia mereka terpaut jauh. Ikhsan malah pantas disebut Om atau bapak.
Langkah Ihsan terhenti di depan pagar rumah bercat krem itu. Lampu teras menyala redup, suara televisi samar terdengar dari dalam. Tanpa basa-basi, ia memarkir motor sportnya, merapikan jaket, lalu mengetuk pintu.
Bu Rahayu membuka dengan wajah heran. “Lho… malam-malam gini ada apa, Pak?” tanyanya hati-hati.
Ihsan tersenyum tipis, tatapannya mantap. “Maaf mengganggu. Saya datang dengan niat baik. Saya mau melamar Naina,” ujarnya tenang, namun membuat udara di ruang tamu langsung terasa berat.
Bu Rahayu terpaku, bola matanya membesar. “Melamar…? Tapi dia itu masih sekolah, Pak!” ucapnya nyaris tercekat.
Dari arah tangga, Namira yang baru turun dengan piyama bergambar kelinci langsung heboh. “Hah?! Kak Naina dilamar? Om-om ganteng ini mau jadi kakak ipar aku?!” serunya sambil menatap Naina yang baru muncul dari dapur dengan wajah kaget setengah mati.
Naina menatap Ihsan tajam. “Pak, ini rumah saya, bukan tempat audisi drama Korea,” ujarnya dingin.
Ihsan tidak goyah. “Saya serius, Naina. Usia, sekolah, semua itu bisa kita bicarakan. Yang penting saya mau kamu jadi istri saya,” imbuhnya dengan nada penuh keyakinan.
Namira terkikik, bergumam lirih, “Wih, langsung tembak di depan mama…”
Bu Rahayu memijit pelipis, masih berusaha mencerna. “Pak… ini gila namanya,” katanya pelan.
Tetapi Ihsan hanya menatap Naina seolah tidak mendengar apa pun selain degup hatinya sendiri.
Naina menatap Ihsan tajam. “Pak, ini rumah saya, bukan tempat audisi drama Korea,” ujarnya dingin.
Ihsan tidak bergeming. “Saya serius, Naina. Usia, sekolah, semua itu bisa kita bicarakan yang penting saya mau kamu jadi istri saya,” imbuhnya mantap.
Namira terkikik, menutup mulutnya sambil bergumam, “Wih, langsung tembak di depan Mama…”
Bu Rahayu memijit pelipis, mencoba mencerna ucapan pria yang duduk di hadapannya. “Pak… ini gila namanya,” katanya pelan, namun matanya justru memandang Ihsan penuh perhitungan.
Ihsan Ghazi pengusaha sukses, duda berwajah baby face meski sudah empat puluh tahunterlihat begitu percaya diri. Sikapnya tegas, tatapannya dingin, sedikit arogan, tapi dalam senyum tipisnya tersimpan kelicikan yang hanya orang berpengalaman yang punya.
DIa tak pernah menyangka bisa jatuh cinta pada pandangan pertama pada gadis SMA kelas dua belas seperti Naina.
Bu Rahayu mempersilahkan tamunya duduk. Tatapannya menelusuri penampilan Ihsan dari ujung sepatu hingga rambutnya yang rapi. Senyum samar muncul di bibirnya.
“Laki-laki ini jelas bukan orang sembarangan. Kalau serius nikahin Naina, hidup kami pasti berubah. Suami nggak perlu lagi kerja jauh di Surabaya, Namira bisa kuliah tinggi-tinggi,” batinnya sambil menahan sinar antusias di wajahnya.
Di sudut sofa, Ihsan memperhatikan gerak-gerik Bu Rahayu. “Kayaknya jalanku buat dapetin Naina nggak bakal susah,” gumamnya dalam hati.
Naina keluar dari dapur dengan nampan berisi gelas-gelas teh manis. Ia memperhatikan mamanya dan pria asing itu satu per satu, mencoba membaca arah pembicaraan.
Rumah berlantai dua itu terasa lebih sempit, seakan tembok ikut menahan napas mendengar percakapan mereka.
“Aku tulus dan serius ingin menikahi putri sulung Ibu,” ucap Ihsan dengan nada penuh keyakinan. “Saya bisa memberikan apa pun yang Anda inginkan.”
Bu Rahayu, yang memang terkenal mata duitan dan kerap membedakan kasih sayang antara kedua anaknya, langsung menanggapi tanpa berpikir panjang. “Anda tenang saja, Pak Ihsan. Saya akan bicara sama Naina, bahkan memaksanya kalau perlu.”
Naina menaruh nampan di meja dengan gerakan tegas. “Mama, aku masih sangat muda. Baru delapan belas. Aku mau kuliah, aku masih SMA!” protesnya dengan nada menahan emosi.
“Kamu bisa menikah diam-diam, nggak ada yang tahu. Masa depanmu terjamin kalau sama Pak Ihsan,” ujar Bu Rahayu enteng, seakan hidup putrinya bisa diringkas jadi hitungan untung-rugi.
Naina tertawa pendek, getir. “Jaminan? Dari Mama yang selama ini nggak pernah dengerin aku? Dari orang yang bahkan baru aku kenal lima menit?”
Bu Rahayu memelototinya. “Jaga bicara kamu, Naina. Mama cuma mau yang terbaik.”
“Terbaik buat Mama atau buat aku?” potong Naina cepat. Suaranya bergetar, tapi matanya lurus menatap mamanya.
“Dari kecil aku dibedain sama Namira, sekarang disuruh nikah sama orang asing demi uang. Mama pikir aku ini anak kandung atau cuma anak pungut?”
Keheningan langsung jatuh di ruangan. Namira melirik ke arah Mama, lalu ke Naina, terkejut tapi juga terlihat menikmati keributan itu.
Ihsan mencondongkan tubuhnya, suaranya lebih lembut namun sarat tekanan.
“Saya nggak mau memaksa, Naina. Tapi kalau kamu mau dengar dulu, mungkin kamu bakal lihat sisi lain dari saya. Saya bisa bikin hidup kamu jauh lebih baik.”
Naina menoleh cepat, tatapannya menusuk. “Hidup lebih baik versi kamu itu apa? Nggak bebas, nggak punya pilihan, dan jadi properti seseorang?”
Bu Rahayu mendengus, berdiri sambil melipat tangan di dada. “Kamu pikir Mama tega? Ini buat masa depanmu! Jangan egois!”
“Mama yang egois,” ucap Naina lirih tapi mantap. “Mama nggak pernah tanya aku mau bahagia dengan cara apa.”
Udara di ruang tamu itu makin berat. Bahkan senyum licin Ihsan sedikit memudar, namun sorot matanya masih menyala memandang Naina seperti tantangan yang harus ia taklukkan, bukan hanya sekadar dilamar.
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺