Nadin sangat mencintai Andrian. Seorang Dokter tampan yang memiliki sejuta pesona. Namun, ia juga tahu. Bahwa Andrian adalah seorang duda beranak satu.
— Adult 18+
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon auzuzah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 30
“Kau ingin makan apa? ”
Nadin terhenyak dari lamunannya, ia tersenyum sopan merespon pertanyaan dari orang yang baru saja menolongnya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela, Nadin menggeleng sekilas. Pria yang berdiri beberapa meter dari jaraknya, mengangguk maklum melihat respon Nadin yang masih terlihat canggung.
“Oh, baiklah, kalau mau makan, kamu bisa mengambil nya di belakang. ”
Pria dengan apron putihnya langsung mengambil langkah untuk melenggang pergi. Namun, Nadin dengan cepat memanggil Nama pria itu, untuk menghentikan langkah nya.
“Radit! ”
Seru Nadin berdiri dari duduknya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kedai yang tampak masih sepi di pagi hari ini, lalu ia langkah kan kakinya mendekat menghampiri pria, yang bernama Radit itu.
“Ada lowongan pekerjaan nggak? ” tanya Nadin dengan binar mata penuh harap. Radit tampak berpikir sejenak, lalu ia menatap penampilan Nadin dari ujung kaki, hingga rambut.
“Enggak ada, sorry. ” balas Radit dengan wajah ragu-ragu. Pundak Nadin yang awalnya tegap penuh semangat, kini turun seketika.
“Yah..” Nadin menghela nafas panjang. “Serius?! masa sih, enggak ada pekerjaan yang kosong. ” ujar Nadin menggerutu. Radit tampak berpikir-pikir lagi saat ingin menjawabnya.
“Kalo lowongan pekerjaan sih ada. Tapi kalo pekerjaan buat lu, engga tau dah. ” Nadin memincingkan matanya sebal, melihat tatapan Radit yang seperti menilai dirinya.
“Emang bedanya apa? ” tanya Nadin jengkel. Radit menarik nafasnya, lalu ia hembuskan kembali menatap gadis yang kemarin ia tolong, ternyata sangat ceriwis.
“Tolong liat penampilanmu noona, kau tidak seharusnya ku tawarkan menjadi pelayan kedai kan?! ” jawab Radit sewot melihat wajah Nadin yang begitu menjengkelkan.
Nadin tersenyum lebar, seperti layaknya anak kecil yang mendapatkan sebuah permen. “Serius?! aku akan jadi pelayan kedai!!! Ayolaahh... ” bujuk Nadin dengan wajah se melas mungkin. Mata Radit membelak kaget menerima jawaban Nadin yang diluar ekspetasi nya.
Radit bersedekap dada dengan mimik wajah yang menimang-nimang keputusan Nadin. “Eumm, benarkah? ” tanya Radit memastikan. Nadin langsung mengangguk mantap, dengan senyum yang terbit kembali pada bibirnya.
“Aku menolongmu ikhlas noona. Tak perlu kau seperti ini... ” tekan Radit mengangkat satu alisnya menjelaskan, Nadin mengerucutkan bibirnya sebal.
“Aku yang membutuhkan pekerjaan ini Radit! ” ujar Nadin menunjuk-nunjuk dirinya sendiri.
“Kau sedang membutuhkan uang? oh oke, aku akan memberikan nya. ”
“Stop! ” Nadin membuang nafasnya jengah akan sikap Radit yang terlalu meremehkannya.
Seingat Nadin, Radit bukanlah orang yang banyak berbicara ketika ia bangun dari tidurnya, lalu mendapati pria itu berdiri di sisi ranjang dengan nampan berisi cemilan. Sungguh Radit adalah pria baik yang baru ia kenal. Dan.. yaps! Nadin tentu saja terus melafalkan kalimat terimakasih berulang kali. Sampai-sampai, pria itu memutar bola matanya malas. Lalu melenggang pergi dari kamar.
Nadin melirik setengah tubuhnya yang berada di bawah selimut. Ia menghela nafas lega, saat pakaiannya masih lengkap dan juga sama. Tanpa berniat mengganti pakaiannya yang lembap, ia memakan cemilan itu dengan lahap. Setelah selesai, Nadin langsung melenggang pergi keluar.
Hingga, akhirnya Nadin berdiri berhadapan dengan Radit sekarang, meminta agar pria itu, memberikan dirinya pekerjaan, disini.
Di sebuah kedai.
Namun, seolah-olah pria itu menolak dirinya untuk bekerja. Karena melihat penampilannya yang. Oh oke, Nadin sedang memakai kaos oblong ber label GAP dan jeans panjang dari Bershka, yang notabenya adalah outfit anak muda yang harganya lumayan menguras dompet.
“Hei!! ”
Nadin tersentak kaget dari lamunan nya. Saat Radit berseru menyadarkannya, Nadin memejamkan matanya tampak berpikir untuk langkah yang akan ia ambil. Namun, keputusannya sudah bulat. Untuk menetap di... Bahkan Nadin tidak tahu dia dimana sekarang.
“Radit.. Aku sedang berada dimana sekarang? ” tanya Nadin melirik pemandangan jalanan, dari luar kaca kedai.
“Yang pasti kau sedang berada jauh dari kota. Sebelum, aku menjelaskan lebih rinci lagi. Aku ingin meminta maaf padamu, karena telah membawamu jauh dari tempat kau di temukan. ”
Nadin memejamkan matanya refleks. Saat bayangan kejadian kemarin, tiba-tiba saja mengingatkannya akan siapa oknum yang bisa membuatnya menjadi seperti ini.
“Harusnya aku yang berterimakasih Radit. Kau sudah banyak menolong ku.. ” ujar Nadin tersenyum lembut. Sekejap, Radit terkesiap melihat gadis yang begitu anggun saat tersenyum di hadapannya.
“Tentu saja. ”- Radit membalasnya dengan cepat. Radit melayangkan tangannya, memberikan instruksi untuk Nadin agar membalas jabatan nya.
“Kenalin, saya Radit Aditama, udah tinggal disini dari kecil. Lalu, membangun kedai ini... sekitaran tiga tahun yang lalu, saat saya lulus sma. ”
Nadin Tertawa kencang tanpa malu. Ia menggeleng-gelengkan wajahnya tak percaya, dengan gaya bicara Radit yang sangat-sangat berbeda menurutnya.
“Ehm ehm! ” Nadin berdehem jenaka dengan tangan mengepal yang berada di depan bibirnya. “Saya, Nadin Ramadani.. umur delapan belas tahun, baru lulus satu tahun yang lalu.. ” Nadin memperkenalkan dirinya meniru suara Radit secara sengaja.
“Masih lajang? ”
Nadin menyeringitkan keningnya mendengar pertanyaan Radit. Sedangkan Radit, pria itu merutuki mulutnya yang terlalu frontal. Keheningan melanda keduanya, hingga Radit merasa tidak enak melihat Nadin yang tampak kesulitan saat menjawab.
Nadin tampak berpikir sebelum menjawab nya. Dalam pikiran nya, wajah Andrian selalu saja muncul. Membuat Nadin menjadi terhenyak dalam diam. Hingga, pada akhirnya. Nadin mengangguk pasti.
“Masih lajang. ”
...•••••••...
Berulang kali, pria itu mengusap punggung kokoh temannya yang berpenampilan sangat acak-acakan. Dengan sabar, ia menyodorkan secangkir kopi espresso.
Namun, lagi-lagi Verrel menghela nafas kesal, menerima penolakan dari teman ter-kasar yang ia kenal sedari mereka kecil.
“Lu minum dulu kenapasih. ” Verrel berdecak kesal akan sifat Andrian yang menurutnya sangat kekanak-kanakan.
“Bisa gausah berisik ga?! ” Andrian mengangkat dagunya yang tadi sempat tertunduk frustasi.
“Gatau terimakasih banget lu ya! pantes di tinggalin. ” Verrel memelankan nada bicaranya pada akhir kalimat. Namun tetap saja, Andrian mendengarnya.
“Bacot. ”
Verrel terkekeh diam-diam, ia menggeleng-gelengkan wajahnya geli, akan sifat Andrian yang jauh berbeda dari biasanya.
“Udah lama banget gua ga denger lu ngomong bahasa bocah, hahahaha. ” ledek Verrel mendorong bahu Andrian dengan gaya maskulin. Andrian berdiri dari duduknya, sambil memasang wajah kesal.
“Lu. ”
Seruan Andrian terpotong saat ada seorang wanita yang datang dengan mengenakkan piyama berwarna satin. Andrian menatap jengah penampilan wanita itu, saat matanya melihat bercak merah yang ada di sekitar leher jenjang nya.
“Gila lu rel! Temen lagi kesusahan, malah asik di atas ranjang! ” Andrian membuang pandangannya ke arah Verrel. Verrel tertawa terbahak bahak, memandang wajah Andrian yang sangat menyeramkan menurutnya.
“Syill, kamu kalo keluar, mandi dulu dong. ” titah Verrel memberikan saran. Asyilli tersenyum malu, menanggapinya.
“Abisnya Asyilli kan engga tau, kalo ada ka Andrian. ” balas Asyilli menunduk, sesekali mencuri-curi pandangan ke arah Verrel.
Beberapa saat terjadi keheningan. Hingga Verrel menatap Andrian, yang tingginya melebihi tinggi badannya. Ia mengatupkan bibirnya ragu-ragu saat ingin melemparkan pertanyaan pada Andrian.
“Bro. ”
Panggil Verrel menatap lurus Andrian. “Sampe kapan, kita ngumpetin Asyilli? Keluarganya berhak tau, kalo dia kembaran nya Asyilla. ” titah verrel bertanya.
Kedua mata Andrian terpejam sejenak. “Secepatnya rel. ” jawab Andrian menganggukan wajahnya sekilas.
“Apa, harus nunggu kedatangan Nadin dulu? ”
Lidah Andrian seolah kelu saat pertanyaan itu terlempar kepadanya, ia mengalihkan tatapannya kearah lain. Lalu ia masukkan kedua tangan nya pada almamater putih yang ia kenakkan.
“Gua takut rel. ”
Andrian menghembuskan nafasnya gusar. Segala kecemasan sedang menghantui perasaannya saat ini. Kehilangan Nadin, sungguh membuat Andrian kelimpungan.
“Gua takut, kalo Nadin enggak mau maafin gua. Setelah apa, yang udah terjadi. ” lanjut Andrian penuh penyesalan.