Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.
Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.
"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.
"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.
"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.
Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Manusia Lebih Menakutkan
Parto tersenyum misterius, pikirannya mulai terhubung dengan beberapa kejadian aneh yang terakhir dialaminya. "Aku rasa aku tahu kenapa api itu tidak menyentuhku," katanya dengan nada yang penuh teka-teki.
Lasmi menatapnya dengan penasaran, "Kamu tahu?" tanyanya menyelidik.
Parto mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku rasa aku telah dibantu oleh arwah nenek itu. Aku ingat sekarang, dia menemuiku saat itu,"
Lasmi membuka matanya lebar karena terkejut. "Apa? Itu berarti..."
Parto mengangguk, "Ya, aku rasa itu sebabnya aku selamat dari kebakaran tadi, nenek itu yang melindungiku."
Lasmi terdiam, pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan spekulasi tentang kejadian yang aneh ini. “Terus, kenapa kamu menanyakan soal cucunya?”
“Hm, dia menyebutkan hal itu, aku harus mencari cucunya yang katanya seorang polisi, untuk membantu kita membalas perbuatan e—” Parto tak mampu menyelesaikan ucapannya.
Dilema, Parto sangat ingin segera menyelesaikan semua hal aneh yang dialaminya, namun penjahat utamanya adalah ayah dari Lasmi. Ada rasa tak enak hati, tak tega dan membuat Parto sedikit goyah.
“Jangan merasa tak enak hati padaku, penjahat tetap harus dihukum sesuai dengan kejahatannya.” Seakan tak terpengaruh, Lasmi menanggapi dengan santai, bahkan sempat mengulas senyum, walaupun sangat tipis dan hampir tak terlihat.
"Hm, maaf untuk semua itu. Aku—”
“Aku rasa sebaiknya aku masuk dan istirahat, besok aku harus pergi ke suatu tempat.” Lasmi menghentikan langkah, tanpa sadar mereka telah sampai di depan rumah pak Ngatnu.
“Ah, benar juga, ini sudah terlalu larut untuk seorang bocah SMP, harusnya kamu sudah bermimpi sekarang!” sahut Parto sedikit bercanda.
“Asem, jangan dilihat seragamku, kenapa sih?” sahut Lasmi dengan nada sedikit kesal. “Dah sana pulang, jaga diri baik-baik, jangan sampai dirasuki mbak Jum, hiii” Lasmi balas mencerca Parto seraya menyeringai mengejek lalu segera berbalik dan berjalan memasuki halaman rumahnya.
Jumini yang berdiri tak jauh dari keduanya pun balas menyeringai, namun segera tersenyum melihat kekonyolan Lasmi.
“Las, terimakasih!” seru Parto.
Lasmi tak menjawab, hanya melambaikan tangan, ia meneruskan langkah kakinya lalu memasuki rumah, tanpa menoleh lagi.
Dan kini, tinggal Parto dan arwah Jumini yang berjalan beriringan menuju ke ruko.
Parto berjalan menuju ruko dengan langkah yang santai, sementara arwah Jumini mengikutinya dengan langkah yang lebih santai lagi.
"Kamu tahu, To, kamu beruntung sekali bisa punya banyak hantu yang baik hati," kata Jumini dengan nada yang sedikit menggoda.
Parto menggelengkan kepala, "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya aku memang sedang berada di tengah-tengah sesuatu yang membuatku selalu sial, tapi juga beruntung di saat yang bersamaan."
Jumini tersenyum, "Ya, sepertinya kamu ditakdirkan memiliki kisah hidup yang menarik, diikuti oleh hantu-hantu yang haus akan pertolonganmu,” kelakar Jumini membuat keduanya terbahak.
“Tapi entah apa karena kamu sudah terbiasa, atau kamu memang tak takut sama hantu?” tanya Jumini kemudian.
Parto kembali menghela napas, tampak sedikit lebih berat. “Ah, entahlah. Seperti yang kamu tahu, —terkadang, manusia justru lebih menakutkan daripada hantu.”
Jumini terkekeh, “Hm, ada benarnya juga.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju ke ruko dalam keheningan.
………
Ketika mereka tiba di ruko, Parto membuka pintu dan masuk ke dalam. Jumini mengikutinya, masih dengan senyum yang sama. "Kamu tahu, To, aku rasa aku akan menempel di sini untuk sementara waktu," kata Jumini dengan nada yang sedikit nakal.
Parto hanya menghela napas, "Aku rasa aku juga tidak bisa mengusirmu.”
Parto menuju ke dapur di lantai bawah untuk membuat kopi, lalu duduk santai di tangga, belum ada niat untuk membersihkan badan.
"Jum, coba kamu pikir, kamu ingat Sukijo itu suamimu kan?"
Jumini yang duduk selonjoran di lantai pun beringsut mendekat, bukan bergerak layaknya manusia, namun hanya bergerak dalam sekejap mata, menghilang lalu muncul lagi tepat di depan Parto. Kali ini Parto sudah mulai terbiasa dengan kejahilan Jumini, jadi bisa dengan lebih cepat menghalau rasa terkejutnya.
"Aku ingat semua orang, bude Sutini, Pakde Sukiyat, pak Ngatnu, Bu Sumiyem, semua orang aku ingat, bahkan ibu mertuaku yang jahat, si Gemi setiti tapi pelit ndulalit medit julid kalau ngasih apa-apa cuma saiprit sak ndulit, pokoknya tulalit!"
Parto terbahak beberapa saat setelah mendengar kicauan Jumini.
"Kenapa sih, nanya-nanya begitu memangnya, To?" tanya Jumini kemudian dengan penuh rasa penasaran.
"Yang lebih aneh, kamu ingat aku yang bahkan sudah sangat lama nggak ketemu, tapi—"
Jumini membalikkan badan, lalu duduk jongkok tepat di depan Parto, menyangga dagunya dengan kedua telapak tangannya, menatap Parto berharap penjelasan yang lebih detail.
“Tapi apa, To?”
"Tapi kamu nggak ingat kenapa kamu bisa jadi seperti sekarang ini, Apa yang terjadi padamu, siapa yang melukaimu, bahkan dimana tubuhmu?"
Jumini mendesah, wajahnya yang pucat terlihat semakin sendu, Jumini berdiri lalu berjalan pelan mondar-mandir di depan Parto.
Parto memperhatikan Jumini dengan rasa iba, melihat bagaimana arwah itu masih terpengaruh oleh kenangan yang tidak menyenangkan. "Jum, apa sama sekali kamu tak mengingat apa yang terjadi padamu?” tanya Parto dengan nada yang lembut.
Jumini berhenti mondar-mandir dan menatap Parto dengan pasrah. "Kalau aku tahu, mungkin aku tidak akan menempel terus padamu seperti ini.”
Parto mengambil napas dalam-dalam lalu keduanya terdiam.
Parto dan Jumini duduk berdua di tangga, dengan suasana yang lebih tenang. Parto memikirkan cara untuk membantu Jumini mencari tahu apa yang terjadi padanya, dan membantu di arwah lain bebas.
“Jika dua arwah lain terkait dengan perbuatan Ngatnu, mungkinkah kamu juga?" pikir Parto berharap Jumini bisa mengingat sesuatu yang bisa dijadikannya sebagai petunjuk.
“Setelah mengetahui betapa jahatnya orang itu, mungkin saja mereka juga yang membuatku seperti ini.” Jumini semakin pasrah. “Ah! Mungkinkah mereka juga menguburku hidup-hidup? Atau membakarku seperti yang dia lakukan padamu?”
Parto menyeruput kopi panasnya beberapa teguk, lalu kembali meletakkan gelas itu di anak tangga di belakangnya.
“Sebenarnya aku sudah sangat yakin dengan pelakunya, aku juga punya bukti-bukti dari penglihatanku, hanya tinggal menunggu hasil tes DNA dari temanku, lalu akan kita pakai untuk membuat ya meringkuk dipenjara!”
Jumini memikirkan ucapan Parto, “ Untuk sekarang, hanya itu kan satu-satunya cara yang memang kamu bisa?”
“Hmm, tapi menunggu satu minggu itu terasa sangat lama,” Parto kembali mendesah dengan gelisah, sedikit menggaruk alisnya yang sebenarnya tak terasa gatal. “Haruskah aku menghubungi Sutarman sekarang?”
“Tak ada salahnya,” sahut Jumini santai. “Semakin cepat, lebih baik kan?”
“Baiklah, kamu cari saja tempat yang nyaman untukmu beristirahat, aku akan naik untuk melakukannya.” Parto pun memutuskan untuk naik ke lantai dua.
Klotak!
Dua makhluk beda alam itu dikejutkan oleh suara sesuatu benda terjatuh di kamar Parto. Keduanya saling pandang, lalu perlahan menaiki anak tangga.
...****************...
Bersambung....