NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Reyhan duduk sendiri di ruang kerjanya, tapi pikirannya tidak bisa fokus pada apa pun. Tangannya mengepal di atas meja, matanya kosong menatap dinding.

“Aku ingin kamu menceraikan aku.”

Ucapan Nayla terus terngiang dalam kepalanya, mengusik ketenangannya. Ia mengingat-ingat setiap detik pertemuan mereka tadi di hotel. Wajah Nayla yang begitu senang saat melihatnya datang, tapi tatapannya menyimpan sesuatu… sesuatu yang Reyhan tidak bisa pahami.

Ia menghembuskan napas panjang, lalu menatap tangannya sendiri, tangan yang semalam memeluk Nayla dengan penuh cinta.

“Kalau dia benar-benar ingin pergi… kenapa semalam dia tidak menolak?”

Pertanyaan itu menyayat dadanya. Ia masih bisa merasakan kehangatan tubuh Nayla dalam pelukannya. Perasaan yang nyata, bukan ilusi. Bukan sekadar pelampiasan karena teh terkutuk itu. Tapi karena ia benar-benar menginginkan Nayla.

Dan Nayla, Nayla pun merespons pelukannya, ciumannya… dengan perasaan yang sama. Reyhan yakin akan hal itu.

Lalu kenapa sekarang Nayla ingin berpisah?

Ia berdiri, mulai mondar-mandir. Hatinya resah.

"Aku yakin ini tidak benar." gumamnya pelan. "Atau dia sedang menyembunyikan sesuatu?"

Pikirannya kembali pada setiap perubahan sikap Nayla beberapa hari terakhir. Raut wajahnya yang sering terlihat lelah. Tapi sikapnya yang benar-benar berubah akhir-akhir ini.

Hatinya mencelos.

Reyhan duduk kembali. Dilema mulai menguasai pikirannya.

“Apa aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya?”

Ia meraih ponselnya dan membuka galeri foto.

Sebuah foto muncul, foto Nayla tertidur di ranjangnya, semalam. Wajah itu begitu damai, begitu lembut… tapi sekarang terasa begitu jauh.

Reyhan mengepalkan tangan.

“Kalau kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi, Nayla… kamu salah.”

***

Malam mulai merambat turun, dan udara di halaman rumah keluarga Adnan terasa lebih dingin dari biasanya. Reyhan berdiri diam di depan gerbang rumah itu, tangannya mengepal di sisi tubuh, matanya menatap rumah yang terlihat begitu tenang dari luar.

Namun hatinya sama sekali tidak tenang.

Setiap langkah yang hendak ia ambil terasa berat. Bayangan masa lalu menghantuinya, sikap dinginnya pada Nayla, ucapannya yang pernah menyakiti, tuduhan-tuduhan yang tak pernah ia klarifikasi. Bahkan pada Papa Adnan, yang hanya ingin melindungi putrinya, Reyhan pernah bersikap kasar.

Mungkinkah… Nayla ingin bercerai karena semua luka itu?

Reyhan menunduk. Rasa bersalah menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas.

“Aku terlalu banyak menyakiti,” gumamnya pelan. “Terlalu banyak salah.”

Ia hampir berbalik pergi ketika sebuah sentuhan ringan mendarat di bahunya.

Reyhan mendongak, sedikit terkejut, dan mendapati Papa Adnan berdiri di sana, dengan tatapan tenang namun sorot mata yang penuh kekhawatiran.

"Masuklah, Reyhan," ucap Papa Adnan lembut.

Namun Reyhan menggeleng pelan. “Aku… tidak pantas, Pa. Setelah semua yang saya lakukan pada keluarga ini… pada Nayla…”

Papa Adnan hanya menghela napas perlahan. Ia menatap Reyhan dengan penuh pertimbangan.

“Jika kamu benar-benar ingin memperbaikinya, maka berdiri di luar pagar seperti ini tidak akan menyelesaikan apa pun,” katanya tenang. “Aku tahu Nayla tidak akan pernah mengatakan semua luka yang dia simpan. Tapi kamu harus tahu… dia tidak pernah berhenti mencintaimu.”

Reyhan menatap Papa Adnan dengan mata berkaca-kaca. Kalimat itu menampar perasaannya, mencabut kembali segala kenangan yang selama ini coba ia tutupi.

“Tapi kenapa sekarang dia ingin berpisah, Pa?” suara Reyhan terdengar serak. “Apa karena semua kebodohan yang sudah aku lakukan? Atau... dia menyembunyikan sesuatu?”

Papa Adnan terdiam.

“Papa yakin Nayla punya alasannya sendiri, Reyhan. Tapi aku yakin... bukan karena dia tidak mencintaimu,” ucapnya pelan. “Kalau kamu benar-benar ingin tahu, maka kamu harus tetap di sisinya. Jangan menyerah, apalagi menjauh.”

Reyhan hanya bisa mengangguk, walau pikirannya masih penuh tanda tanya.

***

Nayla duduk diam di ruang tamu rumah Papa Adnan. Di hadapannya, Papa dan Mama duduk dengan ekspresi penuh tanya dan kekhawatiran. Suasana hening sejenak, hanya suara detik jam dinding yang terdengar mengisi ruangan.

“Nayla,” suara Papa akhirnya memecah keheningan, “apa benar kamu ingin bercerai dari Reyhan?”

Nayla mengangkat wajahnya perlahan. Ada sorot sedih yang tak bisa ia sembunyikan. Tapi dia tidak langsung menjawab.

“Kami tahu… awal pernikahan kalian memang penuh tekanan,” lanjut Papa pelan. “Reyhan memaksa, karena dia marah. Tapi kamu, Nayla… kamu nggak pernah benci Reyhan.”

Mama yang duduk di samping Papa ikut mengangguk. “Kami tahu semua itu, Nak. Kami bukan buta. Kami tahu sejak dulu kamu sudah menyukainya.”

Nayla mengatupkan bibirnya erat, menunduk dalam. Perkataaan itu menghantam hatinya. Benar. Dia memang sudah menyukai Reyhan sejak kecil.

Dan saat remaja, ketika Reyhan tidak pernah melihat ke arahnya, Nayla tetap menaruh harap dalam diam.

Semua orang mungkin bisa mengatakan bahwa pernikahan mereka diawali dari luka dan dendam. Tapi Nayla... tidak pernah menyesali pernikahan itu.

Lalu kenapa sekarang dia menyerah?

Karena dia tahu, takdirnya berbeda. Karena dia tak ingin Reyhan menghabiskan hidupnya bersama wanita yang hanya akan menyakitinya nanti, bukan karena keegoisan, tapi karena waktu yang tak lagi panjang.

Air mata menggenang di pelupuk mata Nayla. Tapi ia segera menyekanya sebelum jatuh.

“Papa, Mama… ini bukan tentang cinta,” ucap Nayla pelan. “Aku hanya… ingin Reyhan bahagia.”

“Tapi bukankah kebahagiaannya ada padamu, Nak?” tanya Mama pelan. “Semalam, dia datang kemari."

Nayla mengerjap, menoleh pada Mama dengan mata membulat.

“Reyhan… datang ke sini?”

Mama mengangguk. “Dia tidak masuk. Cuma berdiri di luar pagar. Papa yang menemuinya.

Dada Nayla seketika sesak.

Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan isakan yang hampir pecah.

Tapi tidak. Nayla tidak boleh goyah. Reyhan butuh seseorang yang bisa menemaninya sampai tua, bukan wanita rapuh dengan waktu yang semakin menipis.

Ia mengatur napasnya perlahan, lalu menatap Papa dan Mama dengan mata yang sudah sembab.

“Aku sudah memutuskan. Ini yang terbaik.”

Papa menggeleng lemah, menatap putrinya dengan tatapan yang penuh rasa pilu.

“Kadang yang terbaik bukan yang paling masuk akal, Nayla. Tapi… kalau ini sudah keputusanmu, Papa tidak akan memaksamu. Tapi setidaknya… jangan menutup semua pintu. Mungkin Tuhan belum selesai menulis cerita kalian.”

Nayla hanya diam.

Dalam diam itu, hatinya sudah hancur… tapi tekadnya tetap bulat.

Ia hanya ingin Reyhan hidup bahagia.

***

Keesokan harinya, suasana rumah keluarga Adnan terasa sunyi. Nayla duduk di kamar lamanya, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Sinar matahari pagi menyentuh wajahnya lembut, tapi tidak bisa menghangatkan hatinya yang dingin.

Di tangannya, sebuah map berisi hasil pemeriksaan medis tergeletak begitu saja. Ia menatapnya sekilas, lalu membalikkan tubuh dan menyembunyikannya di bawah tumpukan pakaian di laci lemari. Itu bukan waktunya, belum.

Belum ada satu pun yang tahu.

Papa, Mama… bahkan Reyhan. Tidak ada yang tahu bahwa waktu Nayla mulai dibatasi. Bahwa detik demi detik yang ia jalani sekarang adalah hitungan mundur yang tidak bisa ditawar.

Bukan karena ia takut… tapi karena ia tidak ingin dikasihani. Tidak ingin semua kasih sayang yang datang padanya berubah menjadi belas kasihan.

Suara ketukan pelan di pintu membuat Nayla terkejut.

“Nayla?” suara Mama terdengar dari balik pintu. “Sarapan dulu, Nak.”

Nayla cepat-cepat menghapus air mata yang tak ia sadari mulai turun dan membuka pintu dengan senyum yang dipaksakan.

“Iya, Ma. Aku turun sebentar lagi.”

Mama mengangguk, menatap wajah putrinya yang pucat. Tapi ia tidak bertanya apa pun. Ia hanya tahu bahwa Nayla sedang menyimpan sesuatu, tapi belum siap membaginya.

***

Reyhan menatap layar ponselnya dalam diam. Sudah beberapa kali ia membuka pesan terakhir Nayla, membaca ulang kalimat yang membuat dadanya terasa sesak. Hatinya tidak tenang. Sejak malam itu, bayangan Nayla terus menghantui pikirannya, senyumnya, tatapannya, bahkan kehangatan tubuhnya yang masih bisa ia rasakan seolah belum sepenuhnya hilang dari kulitnya.

Ia rindu.

Rindu dengan cara yang menyakitkan.

Dengan napas berat, Reyhan menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang terus berpacu tanpa ritme. Namun percuma. Yang ada justru wajah Nayla semakin jelas dalam ingatannya. Reyhan membuka mata dan menatap foto di bingkai kecil di atas meja, foto pernikahan mereka, yang diam-diam ia simpan saat Nayla tidak tahu.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Nayla," gumamnya, suara itu nyaris tak terdengar. "Aku tidak akan menceraikanmu."

Bukan hanya karena cinta, tapi karena penyesalan. Karena dia kini menyadari bahwa Nayla adalah satu-satunya yang ia butuhkan. Wanita itu telah melalui begitu banyak luka karena dirinya, dan kini saat semuanya mulai membaik, Nayla justru memilih menjauh.

Tidak. Reyhan tidak bisa menerima itu begitu saja.

Ia meraih ponsel dan membuka kontak Nayla. Jarinya sempat ragu, tapi akhirnya pesan itu terkirim.

"Nayla, datanglah ke kantor hari ini. Ada hal yang perlu kita bicarakan tentang pekerjaan."

Reyhan sengaja menggunakan pekerjaan untuk bisa bertemu dengan Nayla. Ini satu-satunya cara Nayla mau menemuinya.

Ia menatap pesan itu selama beberapa detik, berharap Nayla membalas. Tapi tak ada balasan. Hanya tanda centang dua yang perlahan berubah biru.

Setidaknya Nayla membacanya.

Reyhan menarik napas panjang, lalu berdiri dari kursinya. Hari ini, ia akan memperjuangkan sesuatu yang selama ini ia sia-siakan. Bukan hanya pernikahannya, tapi juga hati seorang wanita yang selalu mencintainya dalam diam.

Dia tidak akan gagal lagi.

Dia tidak akan menyakiti Nayla lagi.

Reyhan akan membuktikan bahwa dirinya layak mendapat kesempatan kedua. Bahwa Nayla tidak perlu takut, karena ia tidak akan mengecewakan atau meninggalkannya, dalam keadaan apa pun.

Pukul sembilan lewat dua puluh. Reyhan berdiri di balik jendela ruangannya, menatap langit kota yang mulai mendung. Di tangannya, ponsel masih terbuka pada pesan terakhir yang ia kirim pagi tadi.

"Silakan datang ke kantor siang ini. Ada beberapa dokumen yang harus kamu bantu selesaikan, Nayla."

Alasan yang terdengar profesional. Tapi hanya ia yang tahu, alasannya jauh lebih dalam dari sekadar tumpukan dokumen.

Reyhan merindukannya.

Ia ingin melihat wajah itu. Wajah yang selama ini meneduhkan sekaligus meneguhkan hatinya. Ia ingin memastikan sendiri bahwa wanita itu masih baik-baik saja… bahwa dia belum menyerah sepenuhnya pada hubungan mereka.

Ketika suara ketukan halus terdengar dari arah pintu, jantung Reyhan langsung berdegup lebih cepat.

Tok. Tok.

“Masuk,” ucapnya pelan, mencoba terdengar tenang.

Pintu terbuka perlahan. Sosok Nayla muncul di baliknya, mengenakan stelan panjang berwarna krem yang jatuh anggun hingga mata kaki. Hijabnya senada, sederhana seperti biasanya, namun tetap membuat Reyhan terpaku sesaat. Kesan anggun, teduh, dan kuat melekat erat pada sosok wanita itu. Tetapi… hari ini, ada semburat pucat di wajahnya. Tatapannya kosong, bibirnya terlalu lama terkatup rapat.

Nayla menunduk sopan. “Selamat pagi, Tuan.”

“Selamat pagi,” jawab Reyhan, menyembunyikan gejolak yang naik ke tenggorokan. “Silakan duduk.”

Nayla melangkah pelan, lalu duduk di kursi yang biasa ia tempati sebagai sekretarisnya. Tidak banyak bicara, tidak bertanya. Ia hanya menunggu dengan tenang, seolah hubungan mereka memang tak lebih dari sekadar atasan dan bawahan.

Reyhan menatapnya sejenak. Rasanya aneh melihat Nayla di ruangan ini dan bersikap dingin padanya. Reyhan ingin sekali memeluknya. Dia merindukannya.

“Aku meminta kamu datang… karena ada beberapa berkas tender dari perusahaan Mitra Karya yang perlu ditinjau ulang,” ucap Reyhan akhirnya, menjaga nada bicaranya tetap profesional. “Dan kamu satu-satunya yang tahu alurnya sejak awal.”

Nayla mengangguk pelan. “Baik, Tuan. Berkasnya ada di mana?”

Reyhan menggeser map dari tepi meja. Tapi ia tidak langsung menyerahkannya. Pandangannya tetap tertuju pada wajah Nayla.

“Nayla,” panggilnya pelan.

Wanita itu menoleh. Sekilas.

“Apa kamu benar-benar berniat meninggalkan semuanya?” tanya Reyhan tanpa basa-basi.

Nayla mengerjap, lalu mengalihkan pandangan. “Maaf, sebaiknya kita bicarakan hal tentang pekerjaan, Tuan.”

“Ini bukan tentang pekerjaan,” Reyhan berdiri perlahan, berjalan memutar meja, lalu berdiri tidak jauh dari tempat duduk Nayla. “Ini tentang kamu. Tentang kita.”

Nayla tetap menunduk, jari-jarinya mengepal di atas pangkuan. “Saya hanya ingin menyelesaikan apa yang harus diselesaikan, lalu pergi dengan tenang.”

“Dengan tenang?” Reyhan mengulang, suaranya parau. “Setelah kamu meninggalkan luka seperti ini, kamu menyebutnya tenang?”

Nayla menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang mulai menggenang. Tapi ia tetap tidak menatap Reyhan.

“Kalau kamu ingin aku benar-benar fokus pada pekerjaan, Nayla… kembalilah. Di sini. Bukan sebagai sekretaris. Tapi sebagai istri.”

Nayla mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah. “Reyhan… aku tidak bisa.”

“Kenapa?” bisik Reyhan. “Karena kamu takut aku akan menyakitimu lagi? Aku bersumpah, Nayla… aku tidak akan pernah menyia-nyiakanmu lagi. Apa pun alasannya, apa pun yang kamu sembunyikan, aku ingin kamu tahu, aku tidak akan pernah menceraikanmu.”

Nayla berdiri. Suaranya gemetar. “Reyhan… tolong. Jangan buat semuanya jadi lebih sulit.”

“Justru karena aku tahu kamu sedang menahan sesuatu… aku tidak akan tinggal diam.” Reyhan mendekat selangkah. “Kalau kamu lelah, biarkan aku yang menanggung sisanya. Tapi jangan pergi.”

Air mata Nayla jatuh, tapi dia segera menyekanya. Ia menunduk, lalu membungkuk pelan.

“Maafkan saya, Tuan. Saya akan mulai mengerjakan dokumennya sekarang.”

Lalu tanpa menunggu tanggapan, Nayla berbalik dan keluar dari ruangan itu, menyisakan Reyhan yang berdiri mematung, menatap punggung wanita yang selalu ia abaikan sebelumnya.

Langkah Nayla tergesa saat meninggalkan ruang kerja Reyhan. Tangannya menggenggam erat map dokumen yang bahkan belum sempat ia baca. Dadanya sesak. Tangisnya ingin pecah, tapi ia harus menahan semuanya sampai benar-benar jauh dari tatapan mata itu.

Namun baru beberapa meter dari ruangan, suara langkah cepat menyusulnya dari belakang.

“Nayla!”

Ia tak sempat menoleh. Tangannya tiba-tiba ditarik.

Reyhan berdiri di belakangnya, menatap wajah Nayla yang kaget dan berusaha menahan emosi.

“Jangan pergi,” ucapnya, napasnya memburu. “Jangan pergi dengan membawa luka yang tidak aku mengerti.”

Nayla berusaha melepaskan tangan Reyhan, tapi cengkeraman itu terlalu erat, terlalu putus asa.

“Reyhan, tolong…”

“Katakan alasannya!” desak Reyhan. “Kalau kamu benar-benar ingin aku menandatangani surat cerai itu, aku butuh alasan. Aku butuh penjelasan, Nayla. Apa aku tidak berhak tahu kenapa kamu ingin mengakhiri semua ini begitu saja?”

Nayla terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya tercekat. Ia tidak bisa memberitahu Reyhan bahwa waktu hidupnya mulai terbatas.

Dan kalau Reyhan tahu… dia pasti akan menolak untuk berpisah. Dia hanya akan memberikan luka yang dalam jika pria itu mencintainya.

“Kenapa kamu diam?” Reyhan menguatkan suaranya, tapi getaran dalam nadanya tidak bisa disembunyikan. “Kamu bilang ingin aku menceraikanmu. Tapi bahkan kamu tidak bisa menjelaskan alasannya!”

Nayla menggigit bibirnya. Tangannya bergetar. Ia menunduk, menahan gejolak dalam dadanya.

“Karena aku menyukai orang lain,” katanya akhirnya, dengan suara pelan namun menghujam.

Reyhan terdiam. Dunia seperti berhenti berputar untuk sesaat.

“Apa?” bisiknya, tidak percaya.

Nayla masih menunduk, tidak berani menatap mata Reyhan. “Aku tidak bisa terus bersamamu karena hatiku… sudah bukan milikmu lagi.”

Tamparan tak kasat mata itu begitu menyakitkan. Reyhan terdiam cukup lama sebelum akhirnya melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan Nayla.

“Kamu… menyukai pria lain?” ucapnya ulang, seolah ingin meyakinkan telinganya sendiri.

Nayla mengangguk. Dusta itu terasa begitu tajam, menyayat dari dalam. Tapi ia harus mengatakannya. Ia harus mendorong Reyhan pergi. Itu satu-satunya cara untuk melindunginya.

“Apa ini benar?” suara Reyhan terdengar lemah. “Atau… kamu hanya mencoba menyakitiku agar aku pergi?”

Nayla tetap diam.

Reyhan menatapnya lama, mencari celah kebohongan dari sorot matanya. Tapi Nayla tidak memberinya jawaban, tidak memberinya penyangkalan. Dan itu membuat semuanya terasa nyata.

Satu tarikan napas berat keluar dari dada Reyhan. Tangannya mengusap wajahnya dengan frustrasi.

“Siapa dia?” tanyanya akhirnya. “Siapa pria itu?”

Nayla masih diam. Tapi kemudian ia mengangkat kepala pelan. “Itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah... aku ingin kamu menceraikan aku.”

Kata-kata itu seperti mengunci segalanya. Seperti membentangkan tembok tinggi di antara keduanya.

Reyhan memejamkan mata, mencoba menahan gejolak emosinya. Tapi hatinya seperti diremas keras.

Setelah semua yang terjadi, setelah ia membuka hatinya sepenuhnya, mengapa Nayla justru mengucapkan kalimat itu?

“Baik. Kalau memang itu yang kamu inginkan,” ucap Reyhan menahan emosi.

Setelah itu, Reyhan berbalik, meninggalkan Nayla yang berdiri terpaku, tubuhnya berguncang menahan tangis yang nyaris pecah.

Di balik kebohongan itu, Nayla tahu… ia baru saja menghancurkan satu-satunya orang yang mencintainya dengan tulus.

Dan itu… lebih menyakitkan dari apa pun.

Tapi ini yang terbaik. Lebih baik Reyhan membencinya, daripada mencintainya yang akan membuatnya terluka nantinya.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!