Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Langit mulai menggelap saat mobil mewah berwarna hitam pekat itu berhenti di depan sebuah bangunan megah yang menjulang kokoh di tengah kesunyian, jauh dari hiruk-pikuk kota. Rumah milik Rafael itu berdiri seperti istana kematian. sunyi, angkuh, dan mematikan.
Pintu mobil dibuka dengan paksa. Tangan kekar Rafael mencengkeram pergelangan tangan Dewi dengan kasar, lalu menyeretnya keluar. Tumit kecil perempuan itu tersandung di tanah berbatu, tapi Rafael tidak peduli. Ia menyeret tubuh ringkih Dewi menaiki anak tangga batu marmer menuju pintu utama.
Begitu pintu besar dari kayu jati tua itu dibuka, Rafael menarik lebih kuat lalu melemparkan tubuh Dewi ke dalam rumah. Tubuh mungil itu terhempas ke lantai keras, suara benturannya menggema di ruangan kosong yang seakan tak mengenal belas kasih. Lutut dan sikunya tergores, darah merembes pelan dari luka kecil yang kini terasa perih. Tapi rasa sakit itu tak ada artinya dibandingkan rasa takut yang menancap dalam di dadanya.
Rafael berdiri menjulang di atasnya. Mata hitamnya dingin dan penuh kekuasaan. Tidak ada amarah yang meledak. Tidak ada teriakan. Justru ketenangan itulah yang membuat aura mengerikannya semakin nyata. Ketika bibirnya bergerak, suaranya datar tapi mematikan.
“Marco,” katanya tanpa menoleh. Dalam sekejap, seorang pria berpakaian serba hitam muncul dari balik bayangan. “Kumpulkan semua orang. Bawa ke sini. Sekarang.”
Tak butuh waktu lama. Satu demi satu, pria-pria bertubuh besar dengan wajah kaku mulai memenuhi aula utama rumah itu. Ada dua puluh orang — penjaga, pengawal, sopir, asisten. Mereka berbaris dengan tegap, membentuk dua barisan di sisi kanan dan kiri, menyisakan ruang kosong di tengah, seperti lorong eksekusi.
Dewi masih duduk di lantai. Nafasnya memburu. Air mata jatuh satu-satu, membasahi pipinya yang pucat. Tapi Rafael tetap tak bergeming. Ia menatap perempuan itu seperti sedang mengamati seekor tikus kecil yang terjebak di sudut ruangan.
“Lihat mereka,” ucap Rafael pelan. “Semua ini orang-orangku. Dan sekarang, pilih salah satu dari mereka.”
Dewi mengangkat wajahnya dengan takut. “A-apa...?”
“Pilih,” ulang Rafael tegas, tatapannya membakar. “Satu orang saja. Siapa pun.”
Kepalanya langsung menggeleng. “Tidak... aku tidak bisa.”
“Kamu akan memilih, Dewi. Kalau tidak, aku yang akan memilih untukmu.”
Tubuhnya bergetar hebat. Isak tangis mulai terdengar, lemah, namun menyayat.
“Jangan paksa aku... jangan libatkan mereka. Ini semua salahku…”
Rafael tak tersentuh oleh permohonan itu. Ia menunduk, mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Dewi yang berlinangan air mata.
“Sudah aku bilang sebelumnya,” bisiknya dingin. “Setiap perlawananmu... akan dibayar dengan nyawa orang lain.”
Dewi mencengkeram lantai, menggigit bibir hingga berdarah. Tapi ia tetap tak bisa memilih. Mulutnya terkunci. Jiwanya menolak.
Rafael mendesah pelan, lalu perlahan mengangkat tangannya. Telunjuknya bergerak. Perlahan. Seperti pisau yang menari di atas kulit, ia menyapu barisan demi barisan, hingga akhirnya berhenti. Jarinya menuding ke arah seorang pria muda yang berdiri paling ujung . Matanya membelalak ketakutan, namun tetap berdiri tegak.
“Dia,” ucap Rafael santai. “Lihat baik-baik, Dewi.”
Dewi menggeleng, tubuhnya meluncur maju, mencoba bangkit.
“TIDAK! Jangan dia! Kumohon...!”
Tapi Rafael hanya menyeringai.
“Ingat nama ini, Dewi,” katanya sambil menatap dalam ke mata Dewi.
“Ingat bahwa setiap tetes keberanianmu... akan menciptakan luka baru untuk orang lain.”
Lalu dia berbalik pada Marco.
“Bawa dia ke ruang bawah tanah. Masukkan ke kandang harimau.”
Marco hanya mengangguk, dua pria lain langsung bergerak dan menarik paksa pria yang ditunjuk Rafael. Jeritannya menggema, “Tuan! Tuan Rafael, saya mohon... saya tidak salah apa-apa!”
Dewi meraung. Ia merangkak, mencoba menghampiri, tapi Rafael menahan tubuhnya dengan satu tangan, menekannya ke lantai.
“Saksikan ini, Dewi,” bisiknya dengan suara tajam dan beracun. “Saksikan, dan pahami... kamu bukan apa-apa di sini.”
Di kejauhan, suara jeritan pria yang ditarik menuju ruang bawah tanah masih terdengar, bercampur dengan isak tangis Dewi yang menghancurkan keheningan malam itu.
Tangga menuju ruang bawah tanah itu curam dan sempit, hanya diterangi lampu temaram yang menggantung dengan rantai berkarat. Dinding-dinding batu yang lembap seakan menyimpan bisikan-bisikan siksaan masa lalu. Bau logam, darah lama, dan keringat bercampur menjadi aroma kematian yang menusuk hidung.
Rafael menuruni anak tangga dengan langkah santai. Di belakangnya, dua anak buah menyeret Dewi yang tangannya diikat ke belakang. Tubuhnya lemah, lututnya gemetar, dan wajahnya penuh air mata. Tapi tak ada yang peduli. Di tempat ini, empati sudah lama mati.
Saat mencapai dasar tangga, ruangan terbuka dengan luas sekitar dua kali aula utama di atas. Di tengahnya, sebuah kandang baja besar berdiri kokoh. Batangan besinya hitam, berkarat di beberapa bagian, namun masih tampak kokoh dan mengerikan. Di dalamnya, lima ekor harimau benggala berjalan mondar-mandir. Tubuhnya besar, gerakannya tenang namun penuh ancaman. Matanya memancarkan kelaparan... dan kebiasaan menyantap apa pun yang dilempar ke kandangnya.
Pria yang tadi ditunjuk Rafael. namanya Arman. telah dibawa lebih dulu dan kini duduk terikat di sudut ruangan, tubuhnya gemetar. Mulutnya diplester, matanya liar memohon. Keringat membanjiri wajahnya.
Rafael berhenti tepat di depan kandang. Ia menoleh pada Dewi yang kini dipaksa berlutut di sampingnya. Kepalanya ditekan ke bawah oleh Marco, agar tak bisa memalingkan muka.
"Lihat baik-baik," ucap Rafael, suaranya tenang namun menggema seperti racun. “Ini bukan tentang dia. Ini tentang kamu, Dewi.”
Dewi menggeleng pelan, air matanya jatuh tanpa henti. “Tolong... kumohon… cukup… aku salah… aku janji takkan kabur lagi…”
Rafael berjongkok di sampingnya, menatap wajahnya dari jarak sangat dekat.
“Kau tahu yang paling kubenci di dunia ini?” bisiknya. “Orang yang mengkhianati kepercayaanku. Kau berani kabur. Kau kira aku tidak akan menemukanmu? Kau pikir aku tidak akan menghukummu?”
Dewi menangis terisak. “Dia tidak tahu apa-apa… dia tidak salah… lepaskan dia… hukum aku saja…”
Tawa pendek Rafael terdengar seperti pisau menggores kulit.
“Sayangnya, Dewi… aku tidak memberi hukuman untuk memperbaiki kesalahan. Aku memberi hukuman untuk mengingatkanmu bahwa aku adalah akhir dari setiap keputusanmu.”
Rafael berdiri, lalu mengangguk pada anak buahnya. Dua orang maju. Salah satunya menarik Arman dengan kasar, yang langsung memberontak, namun sia-sia. Ia ditarik ke depan kandang, di mana pintu baja terbuka perlahan. Harimau itu menggeram pelan, mencium bau darah, dan mulai mendekat.
Dewi memekik, mencoba berdiri, tapi Marco menahannya lebih kuat. “JANGAN! KUMOHON RAFAEL! DIA AKAN MATI! JANGAN!!”
Rafael menatap harimau itu dengan penuh kepuasan.
“Kau pernah berkata bahwa kau tidak takut mati,” ucapnya pada Dewi.
“Tapi bagaimana kalau orang lain yang mati untukmu? Bagaimana kalau setiap tetes pemberontakanmu… dibayar dengan darah orang tak bersalah?”
Harimau itu kini hanya berjarak satu meter dari Arman, yang terikat dan tak bisa bergerak. Matanya membelalak. Jeritan teredam dari balik plester menggema di seluruh ruangan. Nafas Dewi memburu, tubuhnya berguncang hebat, hampir pingsan.
“Berhenti… kumohon… kumohon Rafael… jangan lakukan ini…”
“Sudah terlambat,” Rafael menjawab dingin, lalu memberi isyarat dengan satu jari.
Pintu kandang ditutup... dari luar. Arman kini terkurung bersama lima predator yang sudah mencium aroma ketakutan. Harimau-harimau itu mengaum keras, lonjakan suaranya mengguncang langit-langit ruangan. Dalam hitungan detik, binatang itu menerkam.
Dewi menjerit sekuat tenaga. Suaranya pecah, mengguncang dinding batu. Ia berteriak sampai suaranya habis. “TIDAKKK!! ARMAAAAN!!!”
Rafael tetap berdiri, menatap ke dalam kandang dengan mata kosong namun puas.
Daging dan jeritan bercampur dalam kesunyian neraka bawah tanah itu. Darah mulai menggenang di lantai kandang. Rafael berbalik, berjalan perlahan menjauhi kandang.
Ia berhenti di samping Dewi yang masih berlutut dengan kepala tertunduk, terisak hebat.
“Satu nyawa,” katanya pelan, “dibayar untuk satu kebohongan.”
Dewi tidak menjawab. Ia hanya menangis, tubuhnya gemetar hebat. Dunia seperti berhenti berputar. Hatinya remuk. Trauma itu tertanam dalam, menjadi luka baru yang tak akan pernah sembuh.
Dan Rafael?
Ia hanya tersenyum tipis.
“Kau milikku, Dewi. Dan di sini, aku adalah Tuhanmu.”