Fenomena pernikahan tidak selalu berjalan sesuai harapan. Pengkhianatan pasangan menjadi salah satu penyebab utama keretakan rumah tangga. Dalam banyak kasus, perempuan sering menjadi pihak yang dirugikan. Namun, di tengah luka dan kekecewaan, tak sedikit perempuan yang mampu bangkit dan membuka hati terhadap masa depan, termasuk menerima pinangan dari seorang pria.
Pertemuan yang tak terduga namun justru membawa kebahagiaan dan penyembuhan emosional.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 30 MULAI AKTIVITAS.
Langit Senin pagi di desa terlihat bersih, matahari menyembul malu-malu di balik pepohonan rindang. Udara segar masuk dari jendela kamar Sofia, menggoyangkan tirai tipis yang menari perlahan.
Jam di dinding menunjukkan pukul 06.15. Alarm tak perlu dibunyikan. Setelah perjalanan ke Puncak dan momen-momen yang penuh makna, tubuh dan pikirannya terasa lebih ringan, lebih sadar.
Di cermin, Sofia menatap bayangannya sendiri sambil menyematkan pin kecil di kerudungnya.
“Guru Sofia,” gumamnya pelan. “Selamat datang kembali.”
Ia tersenyum. Bukan senyum palsu yang biasa dipaksa saat menyambut Senin. Tapi senyum hangat — dari hati yang baru saja pulih, meski belum sepenuhnya.
Setelah sarapan cepat dan pamit pada ibunya, Sofia melangkah keluar rumah. Jalanan desa masih basah sisa embun, beberapa anak sekolah bersepeda sambil menyapa riang.
“Bu Sofiaaa!” teriak Rina, murid kelas 8 yang selalu ceria.
Sofia melambaikan tangan, senyumnya makin lebar.
Sampai di sekolah, rekan guru menyambut hangat. Tapi yang membuatnya benar-benar tersentuh adalah saat ia masuk ke kelas, dan murid-murid berdiri serempak, berteriak.
“Selamat datang kembali, Bu Sofiaaa!”
Sofia menahan napas sejenak. Senyumnya tak bisa ditahan.
“Baiklah,” katanya sambil berdiri di depan kelas. “Hari ini kita mulai bab baru. Tapi sebelum itu... ada yang rindu ibu nggak, sih?”
Tawa ramai memenuhi ruangan.
Di tengah kegembiraan itu, Sofia sempat melirik ke jendela. Hatinya teringat akan seseorang. Ammar.
Malam itu, janji yang diucapkan Ammar tak pernah benar-benar pergi dari pikirannya.
Saat istirahat tiba, Sofia duduk di meja guru. Ia membuka tasnya, hendak mencari hp.. ada pesan masuk dari no yang tak di kenal.
0812830xxxx : Kalau hari ini kamu duduk di meja ini dan membaca pesan ini, berarti kamu benar-benar pulang.
Tapi aku harap kamu tahu. perasaan seseorang tidak pernah tertinggal di Puncak. Ia ikut pulang, meski diam.
Hari ini kamu kembali jadi guru. Aku masih jadi Ammar, Tapi pelan-pelan… izinkan aku membuktikan bahwa aku juga bisa jadi seseorang yang menepati janji.
Sampai jumpa lagi. di desa ini, atau di tempat mana pun semesta mempertemukan kita.
Sofia tersenyum. Murid-murid mulai berdatangan lagi. Bel istirahat akan segera berakhir. Hidup kembali berjalan.
Tapi kini, Sofia tidak hanya berjalan ia melangkah.
Dengan hati yang telah diberi ruang untuk tumbuh kembali.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langit sore mulai meredup, menyisakan semburat jingga di balik pepohonan desa. Langkah Sofia menyusuri jalan setapak menuju rumahnya terasa ringan, meski pikirannya belum sepenuhnya bebas. Hari ini cukup melelahkan, tapi juga menyenangkan hingga seseorang menghentikan langkahnya.
"Sofia!"
Sofia menoleh. Suara itu... asing tapi menggetarkan. Sosok perempuan berdiri di sisi jalan, mengenakan dress pendek dengan membawa seorang anak kecil. Wajahnya pucat, tubuhnya tampak sedikit gemetar.
Luna.
Sofia langsung tahu, dan entah kenapa, hatinya berdebar bukan karena marah, tapi karena jengah. Ia ingin menghindar, tapi sudah terlambat.
“Maaf... aku cuma butuh lima menit,” ucap Luna cepat, hampir seperti bisikan yang tertahan air mata.
Sofia berdiri diam, tak melangkah, tapi juga tak sepenuhnya membuka diri.
“Ada apa?”
Luna menggigit bibirnya. Matanya sudah basah.
“Aku... aku hamil, Sof. Anak dari Ilham.”
Sofia menahan napas. Dada kirinya terasa seperti ditikam ulang. Namun ia berusaha tenang wajahnya tetap datar, matanya lurus menatap Luna.
“Aku udah coba hubungi Ilham, dia nggak respon. Bahkan ibunya ngusir aku. Aku nggak tahu harus ke siapa lagi... dan satu-satunya orang yang pernah dekat sama dia... ya kamu.”
Suara Luna pecah di akhir kalimat. Tapi Sofia hanya mengangguk perlahan.
“Aku dengar,” jawabnya datar.
“Tolong, Sof. Aku bukan mau nyusahin kamu, aku cuma... aku nggak kuat sendiri.”
Sofia menarik napas panjang. Memandang Luna lama. Dalam benaknya, semua luka lama kembali berbaris. pengkhianatan Ilham, diamnya Luna, dan malam-malam ketika Sofia tidur dengan air mata.
Namun hari ini... hatinya tak lagi berdenyut karena amarah.
“Luna,” ucap Sofia pelan, namun tegas. “Aku turut sedih sama kondisi kamu. Tapi… maaf. Aku nggak bisa bantu.”
Luna menatapnya, bingung. “Tapi kenapa? Kamu satu-satunya—”
“Karena aku bukan lagi bagian dari hidup Ilham. Dan aku juga nggak mau jadi bagian dari drama yang dia ciptakan.”
Hening.
Sofia melanjutkan, nadanya masih tenang, tapi dalam.
“Dulu, saat aku yang disakiti, kamu diam. Sekarang kamu yang terluka, dan itu akibat dari keputusan kalian berdua. Bukan tugasku untuk membereskan kekacauan yang bukan aku buat.”
Air mata Luna jatuh. “Jadi kamu benar-benar... nggak peduli?”
Sofia tersenyum tipis. “Justru karena aku peduli sama diriku sendiri, aku pilih untuk nggak ikut campur.”
Ia menatap Luna terakhir kali, dengan mata yang jernih dan penuh batas.
“Aku harap kamu bisa kuat, Luna. Tapi maaf... kamu harus jalanin ini tanpa aku.”
Sofia pun melangkah pergi, meninggalkan Luna berdiri sendiri di bawah langit yang kini makin kelabu.
Untuk pertama kalinya, Sofia sadar. dia bukan perempuan yang kalah. Dia hanya sedang memilih untuk menang dengan caranya sendiri: dengan tidak tinggal dalam luka yang bukan lagi miliknya.
Luna melihat kepergian Sofia. Luna benar-benar tidak menyangka jika Sofia akan menolak permintaan nya. andai saja dulu, dirinya tidak menyakiti hati perempuan lain. mungkin saat ini Luna tidak akan mendapatkan karma yang telah di perbuatan nya.
lanjutkan Thor 🙏🙏🙏