"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Nyonya
Langit di atas Mansion Maheswara diselimuti mendung tipis, seakan menjadi tirai lembut yang meneduhkan halaman megah penuh pepohonan tua dan bunga lavender yang mekar di taman sisi timur. Hujan semalam menyisakan gemericik kecil di selokan marmer yang berliku-liku di sekeliling bangunan.
Langit di atas Mansion Maheswara mendung, seolah ikut menahan napas. Angin berembus pelan melewati pepohonan tua di halaman luas, membawa bau tanah basah dan aroma melati dari taman belakang. Jam di ruang utama berdentang pelan—menandai pukul sebelas lewat dua puluh lima. Hening, terlalu tenang untuk sebuah rumah sebesar ini.
DI ruang tengah Audy duduk ditemani Ivana dan Mario, dua orang yang selalu setia untuk Audy. Manusia-manusia yang akan selalu memperioritaskan kebahagian Audy di atas segalanya.
"Bagaimana perasaanmu hari ini? Apa lebih baik?" Mario mengangkat cangkir tehnya, menetap lembut wanita cantik yang sudah ia kenal sejak mereka zaman kuliah.
Helaan nafas pelan terdengar lembut, wanita yang memakai dress pendek warna abu-abu itu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Menatap jauh kearah taman samping mansion.
Sorot matanya diam namum penuh dengan keraguan, ia bingung dengan dirinya sendiri. Satu sisi ia ingin suaminya lekas bangun dan bisa menjalani kehiduan seperti sebelumnya. Namun, di sisi lain ketakutan membungkam rasa ingin itu begitu erat. Ketakutan yang menenggelamkan logika nya.
"Audy ..." Suara lembut Mario membuyarkan lamunannya.
Wanita itu tersenyum tipis lalu menggeleng pelan.
"Apa yang harus aku katakan. Aku ada tapi separuh jiwaku sedag tertidur bersamaanya," lirih Audy, Mario mendengus keci nyaris tak ketara.
Tapi tentu saja raut kesa itu tak lepas dari pantauan Ivana. Wanita paruh baya itu menyeringai tipis melihat ke arah Mario. Seringai yang nyaris tak terlihat.
Seorang pelayan wanita muda masuk terburu-buru. Nafasnya memburu, wajahnya terlihat pias. Dengan tergesa ia menghentikan langkah di samping Ivana.
"Kenapa kau berlari seperti itu," suara dingin Ivana terdengar ketus.
Pelayan muda itu menunduk.
"Ma-maaf Ivana," cicitnya takut.
“Nyonya… Nyonya Anneliese telah tiba di gerbang depan... bersama Tuan Kaspar.”
Kalimat itu jatuh seperti batu di danau tenang.
Audy membeku di tempat, matanya membelalak. Ia menoleh cepat menatap pelayan itu dengan tidak percaya. Ivana tampak terkejut, tapi cepat menahan diri. Ia menghampiri Audy dan menggenggam tangannya pelan. Mario pun hampir tersedak mendengar apa yang baru saja pelayan itu ucapkan.
Audy mengangguk cepat, meski gemetar jelas di bahunya. Ia bahkan sempat mencengkram tepi sofa untuk menstabilkan napasnya. Bukan karena takut… tapi karena tidak menyangka. Tak ada kabar. Tak ada panggilan. Tiba-tiba, sosok paling berpengaruh dalam keluarga Maheswara itu datang sendiri.
Audy menegang. Tubuhnya mundur selangkah tanpa sadar, menatap pelayan itu seolah baru saja mendengar kabar bahwa badai besar akan segera menghantam mansion ini. Di sampingnya, Ivana ikut menoleh cepat. Sorot matanya langsung berubah—dari netral menjadi siaga.
“APA?” Audy nyaris berteriak.
“Ibu—ibu mertua saya?” lirihnya lagi, dengan napas tercekat.
Pelayan itu mengangguk gugup, menunduk.
“Mereka baru saja masuk gerbang depan. Mobil mereka sedang berhenti di pelataran…”
Ivana segera menghampiri Audy, menggenggam lengannya, mencoba menenangkan.
“Tenang... kau harus tenang, Nona. Kita harus menyambut beliau. Jangan tunjukkan kalau kamu takut.”
“Tapi... tapi kenapa dia tiba-tiba datang?” Audy berbisik, lebih pada dirinya sendiri. Bibirnya bergetar, seluruh tubuhnya seperti kehilangan keseimbangan. Ia belum siap—belum siap bertemu wanita yang darahnya mengalir di nadi Brivan. Wanita yang selalu memandangnya dari balik lensa kaca ekspektasi bangsawan.
Ivana menarik napas panjang, menggeleng pelan. "Aku juga tidak tahu. Tapi lebih baik kita segera menyambut Beliau."
Dengan napas tak beraturan, Audy dan Ivana melangkah cepat ke arah ruang depan. Tumit sepatu mereka berdenting di lantai marmer, mengiringi langkah penuh kegugupan.
Begitu mereka sampai di lobi utama, suara mesin mobil klasik terdengar pelan dari luar. Pintu kayu besar itu terbuka perlahan—dan sosok itu muncul di ambang pintu.
Anneliese Maheswara.
Elegan dalam balutan mantel cashmere krem, rambut peraknya disanggul rapi dan dipadukan bros safir kecil di bahu. Di belakangnya, Kaspar Albrecht, berdiri tegap seperti bayangan setia yang selalu menyertainya.
Audy reflek melangkah maju, matanya membasah.
“Ibu…”
Anneliese tak menunggu waktu. Ia segera membuka tangan dan mendekap Audy erat-erat. Pelukannya hangat, tulus, membuat bahu Audy tergetar karena emosi yang datang mendadak. Wajahnya tenggelam di dada Anneliese yang masih harum seperti bunga sedap malam.
“Oh sayangku… aku kangen sekali…” bisik Anneliese di sela pelukan.
“Ibu…” suara Audy pecah, tubuhnya perlahan melemas karena dekapan itu membuatnya nyaris tak bisa berpura-pura.
“Kenapa tidak kabari dulu? Aku bisa siapkan semuanya…” gumam Audy, masih dalam pelukan.
Anneliese tersenyum, mengusap pipi menantunya yang mulai basah. “Aku tidak datang untuk jamuan. Aku datang karena aku rindu. Dan… karena aku ingn bertemu putraku.”
Ivana yang berdiri beberapa langkah di belakang menunduk hormat, “Selamat datang kembali di mansion, Nyonya.”
Anneliese mengangguk ramah. “Terima kasih, Ivana. Aku tahu kalian pasti sudah menjaga rumah ini baik-baik.”
Kaspar menoleh, menatap Audy dan memberi senyum hangat.
“Senang melihatmu dalam keadaan baik, Audy.”
Audy mengangguk, sedikit menunduk sopan.
"Bagaimana kandunganmu, apa semua baik. Pasti berat untukmu ...." Anneliese mengusap surai Audy dengan penuh kasih sayang.
Audy hanya tersenyum penuh arti.
"Ayo kita masuk dulu, … biar saya temani lihat Brivan.”
Anneliese menatap menantunya sejenak lau mengangguk.
Mereka bertiga melangkah masuk ke dalam mansion. Langit-langit tinggi dan lukisan tua para pendiri keluarga Maheswara menyambut langkah kaki mereka. Cahaya dari lampu gantung kristal berkilau lembut di atas kepala. Karpet merah tua yang membentang panjang di lorong utama menjadi saksi bisu pertemuan keluarga yang jarang terjadi.
Sambil berjalan, Anneliese melirik Audy yang berjalan di sisinya.
“Kamu makin cantik. Dan makin dewasa.”
Audy menunduk, tersenyum malu. “Saya hanya berusaha sebaik mungkin, Bu…”
“Aku tahu kamu sudah berjuang banyak untuk keluarga ini. Aku bangga padamu, Audy.”
Kalimat itu jatuh seperti embun di padang gersang. Hangat. Menenangkan. Dan… berbanding terbalik dengan semua cerita yang pernah Audy bisikkan ke telinga Hania—tentang betapa keras dan dinginnya ibu mertua yang menuntut cucu, kekuasaan, dan citra.
Lalu… siapa yang sebenarnya memutar kebenaran?
Saat mereka sampai di depan kamar Brivan, Anneliese berhenti sejenak. Ia meletakkan tangannya di daun pintu, menarik napas dalam, sebelum akhirnya masuk perlahan.
“Brivan…” gumamnya pelan, seolah tak ingin mengejutkan siapapun.
Senyap.
Audy berdiri di sampingnya. Diam-diam, matanya bergerak gelisah. Ia tahu, masa tenangnya mungkin sudah usai. Karena satu langkah Nyonya Besar ke dalam rumah… bisa mengubah segalanya.
ga sabar nunggu waktu nya tiba ibu nya brivan tau apa ygenantunya Audy lakukan pada anaknya