Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Pion yang Sulit Tumbang
Tepat saat lonceng berdentang sembilan kali, suara deru mesin mobil terdengar di halaman. Para tamu menoleh serempak. Ivy melangkah masuk, di sampingnya Noah dengan setelan formal hitam yang melekat sempurna.
Gaun panjang berwarna midnight blue membalut tubuh Ivy, mengikuti lekuk anggun setiap langkahnya. Rambutnya disanggul separuh, menyisakan leher jenjang yang dihiasi kalung berlian, hadiah Noah di hari ulang tahunnya. Cahaya lampu kristal menimpa perhiasan itu, berkilau memantulkan pandangan iri dan kagum dari banyak mata.
Namun, yang paling terguncang justru Mentari. Wajahnya menegang bukan karena kecantikan Ivy, melainkan karena aura berbeda yang terpancar dari Noah. Malam itu, Noah berdiri tegap dengan sorot mata tajam dan tenang. Seolah dunia tak punya kuasa untuk meruntuhkan posisinya sebagai suami Ivy, sekaligus pewaris Wisesa Grup.
“Selamat malam,” ucap Ivy, suaranya jernih, dibarengi sedikit tunduk sopan ke arah Mentari.
Mentari membalas dengan senyum tipis yang lebih mirip garis dingin di wajahnya. “Kalian datang juga akhirnya. Silakan duduk.”
Suasana awal berjalan tenang. Hidangan mewah mulai disajikan, sendok dan garpu beradu menimbulkan denting kecil yang mengisi keheningan. Mentari mengendalikan percakapan ringan dengan lihai, seolah jamuan itu hanya pertemuan keluarga biasa. Akan tetapi, kilatan matanya tak pernah lepas dari Ivy, seperti ular yang menunggu saat tepat untuk menyergap.
Isyarat halus dari jemari Mentari membuat seorang pria berjas rapi masuk, membawa map berstempel merah. Dia berbisik ke telinga Mentari, menyerahkan dokumen. Senyum tipis mengembang di wajah perempuan itu. Dia berdiri, mengetukkan gelas anggurnya.
“Mohon perhatian.” Suara Mentari mengiris keheningan, membuat semua kepala terarah padanya.
“Saudara-saudara sekalian,” lanjut Mentari dengan nada manis.
“Malam ini saya ingin memperkenalkan seseorang yang sangat istimewa. Sekaligus membuka sedikit tabir mengenai siapa sebenarnya perempuan yang kini menjadi istri anak saya.”
Jantung Ivy seolah terjun bebas. Jemari perempuan tersebut mencengkeram sisi meja, buku-bukunya memutih. Noah menoleh sekilas padanya, menyadari ketegangan di bahu istrinya.
Mentari maju ke depan, bibirnya melengkung dalam senyum kemenangan. “Tahukah Anda?" Mentari menatap tamu satu per satu, “bahwa Ivy … bukanlah siapa-siapa?” Tawa kecilnya terdengar menusuk.
Noah spontan berdiri. “Ma! Cukup!”
Namun Mentari mengangkat telapak tangannya, menghentikan. “Tenang, Noah. Aku hanya akan menyampaikan fakta.” Mentari mengangkat dokumen dari map merah itu.
“Inilah catatan kriminal Yudha Adinata, ayah kandung Ivy. Seorang narapidana kasus penggelapan dana perusahaan dan penipuan investor. Dan sekarang, darah penipu itu mengalir di diri Ivy.”
Hening mencekam menyapu ruangan. Beberapa tamu ternganga, sebagian lain saling berbisik, menutupi mulut sambil melirik Ivy. Tatapan-tatapan berubah. Dari hormat menjadi ragu, dari ramah menjadi sinis.
Ivy terpaku. Tubuhnya terasa berat, seolah kursi yang diduduki berubah jadi besi cair yang menahannya. Kata-kata Mentari bergema di telinga, membuat pandangannya berkunang. Ayah yang tak pernah dia kenal, yang namanya dikubur rapat-rapat oleh sang ibu, kini dijadikan cambuk di depan khalayak.
“Noah.” Suara Ivy parau dalam tenggorokan.
“Apa kamu juga akan menjauhiku setelah ini?”
Di hadapannya, Noah mengepalkan tinju hingga urat-urat di pergelangannya menegang. Rahangnya keras, napasnya berat. “Ma, ini keterlaluan!”
Namun, Mentari hanya menatap dingin. “Aku ingin kamu sadar, Noah. Perempuan ini tidak pantas untukmu. Lihatlah masa lalunya. Apa kau ingin darah keturunanmu tercemar?”
Kursi bergeser pelan. Ivy berdiri dengan langkah yang hampir goyah, tetapi dagunya tetap terangkat. Air matanya menggenang, tetapi bukan karena malu, melainkan kekecewaan yang menusuk ulu hati.
“Apakah Anda sudah selesai, Nyonya Mentari?” suara Ivy tenang, dingin, menusuk.
Senyum Mentari pudar perlahan. Ada kilatan waswas di matanya, meski dia mencoba menutupinya dengan ekspresi congkak.
“Kalau begitu ....” Ivy menarik napas panjang, menatap kerumunan dengan mata basah yang bersinar oleh tekad.
“Izinkan saya bicara.”
Langkah Ivy maju ke tengah ruangan. Sepatu hak tipis beradu dengan marmer, suaranya menggema. Semua tamu menahan napas.
“Benar, ayah kandung saya seorang mantan narapidana. Tapi saya tidak pernah mengenalnya. Saya dibesarkan oleh seorang ibu tunggal yang bekerja siang malam, membesarkan saya dengan air mata dan keringat.” Suaranya bergetar, tetapi masih terdengar lantang.
Tatapan Ivy berkeliling, menatap wajah-wajah yang kini campur aduk antara kasihan dan curiga. “Apakah dosa orang tua harus diwariskan pada anaknya? Apakah cinta saya tidak layak hanya karena darah saya tidak biru?”
Bisikan berhenti. Keheningan menggantung, berat. Ivy mengalihkan pandangan ke arah Mentari.
“Jika tujuan Anda malam ini untuk mempermalukan saya, selamat. Anda berhasil membuat saya semakin yakin, bahwa saya memang tidak pantas berada di lingkaran orang seperti Anda. Tapi .…” Suara Ivy meninggi, menembus ruang.
“Saya pantas dicintai Noah. Karena cinta kami bukan ditentukan masa lalu, melainkan pilihan kami hari ini.”
Noah tak tahan lagi. Dia melangkah maju, berdiri tegak di sisi istrinya. Noah melirik Ivy sekilas kemudian menggenggam jemari sang istri.
“Jika aku menilai Ivy dari darah dan masa lalunya, maka akulah pria paling bodoh di dunia.” Suara Noah serak dan matanya berkaca.
“Aku tidak menyesal mencintainya. Aku memilihnya, sekarang dan selamanya.”
Noah meraih Ivy dalam pelukan. Ivy menutup mata, tubuhnya bergetar menahan isak yang akhirnya pecah. Untuk pertama kalinya di malam itu, dia merasa benar-benar terlindungi.
Mentari menggertakkan gigi. “Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan! Aku hanya ingin menyelamatkanmu, Noah!”
Noah menoleh, sorot matanya tajam. “Tidak. Mama hanya ingin mengendalikanku. Dan mulai malam ini, aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.”
Noah menggandeng Ivy, meninggalkan aula. Suara langkah mereka bergaung, sementara bisik-bisik tamu mengikuti, bercampur antara kekaguman, simpati, dan kebingungan.
Di mobil, Ivy terdiam menatap keluar jendela. Kota berkelebat dalam cahaya lampu, tetapi matanya kosong. Noah meraih tangan sang istri dan menggenggamnya erat.
“Maaf, No.” Suara Ivy lirih, hampir tak terdengar.
Noah menoleh cepat. “Untuk apa minta maaf?”
“Karena membuat semuanya jadi rumit.”
“No, Vy.” Noah menggeleng, menekan lembut tangannya. “Kamu tidak membuatnya rumit. Mama yang membuat segalanya rumit.”
Noah menarik napas panjang, lalu menatap Ivy dengan keteguhan yang jarang dia tunjukkan. “Tapi aku janji. Ini terakhir kalinya kamu dibuat merasa kecil. Aku akan lindungi kamu. Apa pun yang terjadi.”
Air mata Ivy jatuh, membasahi pipi. “Apa kamu yakin? Aku bahkan belum tahu bagaimana menghadapi kabar soal ayahku itu.”
“Kita akan cari tahu bersama.” Noah mengusap pipinya dengan ibu jari, lembut. “Kamu tidak sendiri. Kamu punya aku sekarang.”
Hati Ivy merespons dengan hangat, meski kepalanya masih penuh badai. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia benar-benar percaya bahwa ada bahu tempat dia bisa bersandar, ada pelindung yang tidak akan pergi meski badai datang.
Sementara itu, jauh di rumah besar Mentari, perempuan itu berdiri di depan cermin ruang kerjanya. Bayangan wajahnya yang menegang menatap balik. Jemari perempuan itu menggenggam meja rias hingga buku-buku jarinya memutih.
“Ivy … kalau masa lalu itu tidak bisa menjatuhkanmu,” bisik Mentari lirih, tetapi penuh bara.
“Maka aku akan menciptakan luka baru.” Refleksi mata Mentari menyala, menyimpan dendam yang belum selesai.