NovelToon NovelToon
Tumbuh Di Tanah Terlarang

Tumbuh Di Tanah Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Nikahmuda / Poligami / Duniahiburan / Matabatin
Popularitas:46.2k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi Adra

Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.

Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.

Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TDT 30

Di ruang tengah sore itu...

“Ma! Ma! Ini serius banget, Ma!” Putri masuk dengan langkah cepat sambil masih memegang ponsel di tangan. Napasnya setengah tersengal karena tergesa.

Sang mama yang sedang membaca majalah di kursi rotan menurunkan kacamatanya. “Ada apa sih, Put? Teriak-teriak kayak ada kebakaran aja.”

Putri duduk di sebelah mamanya, wajahnya penuh dramatis. “Baru aja aku ditelepon Mbak Rita. Dia nangis-nangis. Tahu nggak kenapa?”

Sang mama mulai cemas. “Kenapa? Ada apa?”

Putri menatap mamanya dengan mata lebar. “Dia dan Mas Raka... putus!”

Kening sang mama langsung berkerut dalam. “Apa? Putus? Kamu nggak salah dengar?”

Putri menggeleng cepat. “Nggak, Ma. Serius. Mbak Rita telepon aku, katanya Mas Raka yang mutusin. Dia udah berusaha ngejar kejelasan, tapi katanya Mas Raka makin dingin, makin jauh. Padahal mereka udah nyiapin rencana ke jenjang serius, lho.”

Sang mama menegakkan tubuhnya, wajahnya berubah tegang. “Tapi kenapa? Selama ini mereka kelihatan baik-baik aja...”

Putri mengangkat bahu. “Mbak Rita juga nggak tahu pasti, Ma. Tapi katanya Mas Raka berubah setelah terakhir pulang dari rumah. Jadi lebih banyak diam, susah dihubungi...”

Ia terdiam sejenak, lalu mengerucutkan bibir. “Dan yang lebih nyebelin... kalau mereka udah nggak bareng lagi, berarti aku udah nggak bisa minjem baju-baju Mbak Rita lagi. Padahal bajunya itu lho, Ma... branded semua! Limited edition!”

Sang mama memandang putrinya tajam. “Putri! Astaga... kamu ini! Mbak Rita hatinya lagi hancur, kamu malah mikirin baju?”

Putri cemberut. “Yaaa... namanya juga sekalian mikir praktis, Ma.”

Sang mama mendengus dan berdiri dari kursi. “Sudah, kamu ini makin nggak bisa diajak serius. Mama mau telepon kakakmu Ini nggak bisa didiemin.”

Sambil berjalan ke dalam, sang mama memikirkan satu hal kalau benar Raka yang memutuskan hubungan itu, pasti ada sesuatu yang lebih besar sedang disembunyikan putranya.

Keesokan paginya, suara gerbang depan berderit pelan saat Bu Marni datang lebih pagi dari biasanya.

Ia membuka pintu pelan-pelan, tahu betul keadaan Aruna yang sedang tidak bisa banyak bergerak karena cedera kakinya.

“Bu Aruna?” panggilnya lembut dari pintu depan sambil melepas sepatunya.

Dari dalam terdengar suara pelan, “Masuk aja, Bu Marni...”

Bu Marni segera menuju ruang tengah, tempat Aruna tampak duduk di sofa dengan kaki berselonjor, ada bantal kecil di bawahnya sebagai penyangga.

“Wah, Ibu bangun pagi juga,” kata Bu Marni sambil tersenyum.

Aruna membalas senyumnya lemah. “Sudah dari tadi nggak bisa tidur. Kaki masih agak cenat-cenut.”

“Coba nanti saya bantu urut pelan-pelan ya, Bu,” ujar Bu Marni penuh perhatian, lalu segera menuju dapur untuk menyiapkan teh hangat.

Tak lama, ia kembali dengan nampan kecil berisi teh dan beberapa potong roti panggang. “Sebelum minum obat, sarapan dulu ya, Bu. Saya juga sudah bawa beras sama daging dari pasar.”

Aruna tersenyum, matanya tampak berkaca. “Terima kasih ya, Bu Marni... Saya jadi nggak repot-repot jalan ke dapur. Kalau nggak ada Ibu, saya bingung.”

Bu Marni tersenyum hangat. “Ah, Ibu juga baik banget sama saya dari dulu. Nggak usah dipikirin, Bu. Saya malah senang bisa bantu.”

Sambil duduk di ujung sofa, Bu Marni mulai bercerita, “Anak saya juga sudah mendingan sekarang, Bu. Udah bisa sekolah lagi. Waktu itu bantuan dari Ibu sangat berarti. Bisa buat berobat ke spesialis dan beli obatnya.”

Aruna mengangguk pelan. “Saya ikut senang dengarnya. Anak Ibu harus tetap sehat, ya. Jangan sampai putus sekolah.”

“Iya, Bu... saya selalu doakan Ibu juga, semoga kebaikannya dibalas berkali-kali lipat.”

Aruna hanya bisa tersenyum, hatinya terenyuh. Di tengah rasa sakit dan keruwetan pikirannya, ucapan Bu Marni adalah pengingat lembut bahwa kebaikan sekecil apa pun bisa berbalik jadi penguat untuk dirinya sendiri.

Pagi itu, udara masih sejuk saat suara mobil terdengar pelan di depan rumah Aruna. Bu Marni yang sedang menyapu halaman sontak menoleh. Dari balik pagar, tampak sosok Raka turun dari mobilnya sambil membawa kantong plastik berisi beberapa bungkus makanan hangat.

“Eh, Mas Raka... tumben pagi-pagi ke sini,” sapa Bu Marni, sedikit terkejut namun tetap ramah.

Raka tersenyum sopan. “Saya mau lihat kondisi Bu Aruna dulu, Bu. Kemarin itu kakinya keseleo.”

Bu Marni mengangguk. “Alhamdulillah sekarang sudah mendingan. Tapi masih belum bisa jalan jauh. Masuk aja, Mas, Ibu lagi duduk di ruang tengah.”

Raka mengucapkan terima kasih, lalu melangkah masuk. Di ruang tengah, Aruna terlihat sedang duduk bersandar dengan selimut tipis menyelimuti kakinya. Ia terkejut melihat kedatangan Raka yang tiba-tiba.

“Raka?” tanyanya pelan, ada keterkejutan dan haru bercampur di matanya.

“Aku cuma mau pastikan ibu baik-baik saja sebelum ke kebun,” jawab Raka tenang, lalu menyerahkan kantong plastik yang dibawanya. “Ini aku bawakan bubur dan roti, siapa tahu belum sempat sarapan.”

Aruna menerimanya, tidak menyangka perhatian itu datang tanpa diminta.

“Kamu nggak harus repot-repot, Raka...”

“Kalau itu bisa bikin aku tenang, berarti aku perlu melakukannya,” jawab Raka lembut, menatapnya dalam.

Hening sesaat mengisi ruang. Dalam diam itu, keduanya saling memahami bahwa perhatian bisa hadir tanpa banyak kata, dan bahwa luka di kaki Aruna tak seberapa dibanding luka di hatinya yang mulai terasa hangat kembali.

Aruna tersenyum lemah sambil membuka bungkus bubur yang dibawa Raka. Tangannya sempat gemetar, tapi ada ketenangan yang mengalir setiap kali pria itu berada di dekatnya.

“Kamu selalu datang di saat yang tepat, Raka,” bisik Aruna pelan, nyaris seperti bicara pada diri sendiri.

Raka duduk di pinggir sofa, tidak terlalu dekat, tapi juga tidak menjauh. Ia menatap Aruna lembut.

Aruna mengalihkan pandangan, mencoba menyembunyikan rona merah yang merayap ke pipinya. “Jangan terlalu baik sama aku, nanti aku makin... bergantung.”

Raka tertawa kecil, namun matanya tetap serius. “Bukankah lebih baik bergantung pada seseorang yang memang ingin ada buat ibu?”

Aruna menoleh, mata mereka bertemu. Sunyi sesaat mengikat keduanya, seperti tak ada ruang bagi keraguan di antara perasaan yang mulai tumbuh.

Namun dari arah dapur, dua pasang mata memperhatikan diam-diam.

“Pak Yusron, kenapa melihatin begitu?” tanya Bu Marni sambil mencuci gelas.

Pak Yusron menghela napas, lalu bersandar di pintu dapur dengan ekspresi gusar. “Bu Marni... sebenarnya saya diminta Pak Bagas buat ngawasin Mas Raka. Katanya, harus tahu terus gerak-geriknya kalau deket sama Bu Aruna. Bahkan disuruh lapor tiap waktu.”

Bu Marni menghentikan aktivitasnya, menatap Pak Yusron dengan tidak suka. “Ya ampun, Pak. Kita ini dipekerjakan buat bantu-bantu, bukan buat nyusupin urusan rumah tangga orang. Ibu Aruna itu orang baik, Mas Raka juga nggak pernah aneh-aneh.”

“Saya tahu,” jawab Pak Yusron pelan. “Tapi Pak Bagas bilang, kalau saya bisa kasih bukti, saya akan dikasih bonus. Saya bingung, Bu. Hati saya nggak tenang.”

Bu Marni menggeleng, suaranya tegas. “Kalau Bapak masih punya hati nurani, jangan perlakukan Bu Aruna kayak orang yang layak dicurigai. Biarpun suaminya cemburu, bukan berarti kita harus ikut mainan curiga-curigaan.”

Pak Yusron terdiam, menunduk. Ia tahu, apa yang dikatakan Bu Marni benar. Tapi janji bayaran dari Bagas menggoda logikanya.

Dari ruang tengah, tawa kecil Aruna terdengar samar. Ia sedang bercanda pelan dengan Raka soal bubur yang terlalu panas. Momen-momen seperti itu, sederhana tapi dalam, justru membuat Yusron makin sulit memutuskan ke arah mana ia harus berpihak.

1
Wiji Lestari
lanjoot
Yuni Asih
hamidunn thor😀
Dee: Hihihi.... hamidun banget ya? Aku aja yang nulisnya ikut senyum-senyum sendiri 😅
total 1 replies
Aksara_Dee
hamil
Aksara_Dee
ini yg aku pikirkan,.Aruna hamil anak Raka
Aksara_Dee
aku kasihan sama ayu
Aksara_Dee: ceritanya bikin terhanyut
Dee: Plis, jgn katakan lg, aku jadi ngerasa bersalah padamu Ayu,🥹
total 2 replies
Aksara_Dee
membayangkannya saja aku ngerasa ada di cafe milik Aruna
Aksara_Dee
muda, cantik, kaya, oke... ayu punya.

tapi hati Raka sdh utk Aruna buk
Dee: Cakeeep..
total 1 replies
Aksara_Dee
aku mau bisikin ke Bu Ayunda, "Syukurin!" boleh ya ka...ya boleh ya 🤭
Dee: Hihi...,🤭
total 1 replies
Aksara_Dee
knpa karmanya bu ayunda ke ayu...
Dee: Ini sih suka2nya author 😁🤭
Aksara_Dee: tapi takdir hrs begitu yaa
total 3 replies
Aksara_Dee
aku kok takutnya Aruna hamil anak Raka nih
Dee: Hehe...😁
total 1 replies
Aksara_Dee
aku juga tergila-gila dgn tulip
Dee: Aku juga,🤭🌷
total 1 replies
Aksara_Dee
aku JD kasian sama ayu
Aksara_Dee: iya bagus ka, seringkali author goyah saat bikin cerita pendukung JD lebih kuat. karena gak tegaan
Dee: Hehe... memang bikin kasihan ya. Tapi keluarga Ayu memang aku tulis sebagai cerita pendamping aja, untuk menguatkan konflik di alur utama
total 2 replies
Aksara_Dee
penolakan yg elegan
Aksara_Dee: yup 👍
Aksara_Dee: yup 👍
total 3 replies
Aksara_Dee
terbaik utk mama bukan utk Raka
Aksara_Dee: andai bisa di tukar sehari saja, perasaan Raka dgn mamanya.
Dee: Hehe, mamanya Raka punya standar “terbaik” versi dia sendiri, tapi jangan lupa... yang terbaik untuk hati Raka belum tentu sama dengan yang mamanya pikirkan..
total 2 replies
Aksara_Dee
tapi kok begitu, aku gak rela 🥹
Dee: Bentuk kepasrahan🥹
total 1 replies
Daniah A Rahardian
Wow... kalo beneran hamil🥰💃
Wiji Lestari
hamilkah
Wiji Lestari
pertemukan mereka thor..satukan dong
Dee: Nanti bakalan ada, tunggu aja😊
total 1 replies
🅰️Rion bee 🐝
🤔mungkin lelahnya Aruna x ini bukan lelah yg bikin dia capek,tapi justru lelah yg bikin hari harinya penuh dg semangat karena bakalan gak sendirian lagi ada sejuta semangat dan harapan kedepanya..😉
Dee: Siap Kakak💕😊
🅰️Rion bee 🐝: wuaaah jadi makin semangat dan gak sabaarrr..😄
total 3 replies
octa❤️
emm..tdk mau menduga..semoga kabar bahagia buat aruna
Dee: Tetap semangat bacanya ya..
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!