Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#22
Happy reading...
.
.
.
Hari ini Raka mengantarkan Naira untuk memeriksakan kandungannya yang sudah memasuki trimester kedua. Sejak pagi, Raka tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia memastikan semua dokumen yang dibutuhkan sudah berada di dalam map, memastikan Naira sarapan lebih dulu. Sedangkan Jingga dititipkan pada Bik Sumi. Sikapnya yang seperti itu membuat Naira hanya bisa tersenyum kecil.
Mereka berangkat dengan mobil Raka menuju salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya, RSIA Putri. Rumah sakit itu dipilih berdasarkan rekomendasi beberapa tetangga yang akhir-akhir ini mulai dekat dengan Naira. Ya, beberapa minggu terakhir Raka memang mulai mengizinkan Naira untuk membaur dengan tetangga sekitar. Menurut laporan anak buahnya, keluarga Ardiansyah dan Arvino belum menemukan jejak keberadaan mereka. Selama Naira hanya keluar sebatas lingkungan kompleks, maka semuanya masih aman.
Kelonggaran itu membawa nafas baru bagi Naira. Ia mulai mengenal dunia luar dengan lebih santai, berbicara dengan ibu-ibu kompleks dan sesekali mengikuti aktivitas sederhana seperti senam ibu hamil di balai warga. Untuk pertama kalinya setelah ia mengalami amnesia Naira merasa menjalani kehidupan yang.. normal.
Sesampainya di RSIA Putri, Raka segera menggandeng tangan Naira turun dari mobil. “Pelan-pelan.” ucapnya sambil menuntun perempuan itu menuju ruang pendaftaran.
Naira tersenyum tipis
Setelah mengurus administrasi, mereka duduk di kursi tunggu. Hampir tiga puluh menit berlalu sebelum nama Naira dipanggil. “Ibu Naira Ardiansyah, silakan masuk.” suara perawat memecah suasana.
Naira berdiri. Raka refleks memegang lengannya. “Ayo.”
Proses pemeriksaan cukup panjang. Karena ini kunjungan pertama mereka di rumah sakit itu, data Naira belum terdaftar sehingga mereka harus melalui berbagai prosedur mulai dari pemeriksaan riwayat kehamilan, pengecekan tekanan darah, pemeriksaan urin, hingga konsultasi perkembangan janin.
Setelah itu, dokter mempersilakan Naira berbaring untuk dilakukan USG. Raka berdiri di sisi kanan ranjang.
Dokter tersenyum ramah. “Baik, Bu Naira. Kita lihat ya perkembangan bayi.”
Begitu monitor menyala, suara detak jantung janin terdengar jelas. Naira memejamkan mata sejenak, terharu. Raka menatap layar tanpa berkedip. Selalu ada rasa tak percaya setiap kali melihat makhluk kecil itu bergerak.
“Perkembangannya bagus.” Ucap dokter. “Beratnya sesuai usia kandungan. Posisi juga baik.”
“Syukurlah...” desah Naira pelan.
Dokter melanjutkan, “Kalau Ibu mau, sekarang kita sudah bisa melihat jenis kelaminnya.”
Naira langsung menggeleng. “Tidak usah, Dok. Saya ingin sebagai kejutan saja."
Dokter tertawa kecil. “Baiklah, kalau begitu rahasia dulu ya.”
Pemeriksaan selesai. Namun sebelum mereka pergi, Naira tampak ragu. Ia menatap Raka sekilas, lalu kembali menatap dokter.
“Dok.. saya ingin bertanya sesuatu.”
“Silakan.”
Naira terlihat canggung. “Dengan kondisi saya sekarang... Sebenarnya, apakah suami istri masih boleh... melakukan hubungan...” tanyanya sangat pelan.
Raka sontak tertegun, bahkan hampir tersedak udara sendiri. Wajahnya memanas. “Naira…”
Dokter tersenyum bijak, seolah sudah terbiasa dengan pertanyaan semacam itu. “Boleh saja, Bu. selama kehamilan tidak berisiko dan Ibu merasa nyaman. Tapi tetap harus hati-hati, ya. Tidak boleh terlalu agresif.”
Naira mengangguk malu-malu. Raka hanya menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Baik, Dok. Terima kasih,” ucap Naira cepat.
Mereka keluar dari ruangan dengan suasana canggung yang tidak bisa diabaikan. Raka beberapa kali mengusap tengkuknya. Naira menahan senyum, menatap jalan tanpa berani menoleh ke suaminya.
Di perjalanan pulang, suasana terasa hening karena canggung.
“Kita makan dulu.” Raka mengemudi menuju restoran All You Can Eat yang kebetulan tidak jauh dari rumah sakit. Wajah Naira langsung cerah ketika melihat papan restoran itu.
“Mas serius?” tanya Naira dengan mata berbinar.
“Tentu. Katanya tadi kamu ingin..” jawab Raka.
Mereka masuk, memilih meja dan mulai mengambil makanan. Naira terlihat sangat senang, memilih beberapa daging dan sayuran. Raka memperhatikannya dari seberang meja.
Tapi tiba-tiba ia bersuara. “Tapi jangan sering-sering makan seperti ini. Tidak baik untuk ibu hamil.”
Naira terdiam sebentar. Lalu tersenyum hangat lalu menganggukkan kepalanya.
Raka mengangkat alis. “Memangnya dari dulu saya tidak peduli kepada kamu?”
“Sekarang lebih... terasa.” jawab Naira pelan.
Raka tidak menjawab. Ia hanya menunduk, memotong daging di piringnya. Tapi sudut bibirnya sedikit terangkat nyaris tidak terlihat, namun cukup bagi Naira untuk menyadarinya.
.
.
.
Malam ini setelah berhasil menidurkan Jingga ia duduk di tepi ranjang. Menatap kosong ke arah pintu kamar sambil memainkan jari-jarinya. Ada sesuatu yang sejak tadi mengganjal di dadanya.
Sedangkan Raka masih berada di ruang kerja. Satu jam berlalu, namun Naira tetap menunggu. Entah kenapa hatinya terasa gelisah. Hingga akhirnya, suara langkah kaki Raka terdengar mendekat. Pintu kamar terbuka dan laki-laki itu masuk sambil menghela napas kecil. Namun langkahnya langsung berhenti begitu melihat Naira masih terjaga.
“Kamu belum tidur?” Raka mengerutkan kening. “Bukankah dokter tadi mengatakan kamu harus banyak- banyak istirahat dan tidak boleh begadang.”
Nada suaranya terdengar seperti teguran, tetapi berbeda dari biasanya. Lebih lembut... Lebih hangat... Dan Naira suka itu.
Naira mengalihkan pandangannya, jarinya saling berkaitan gugup. “Aku menunggu kamu.”
Raka menaruh berkas kerjanya di meja rias, kemudian berjalan mendekati ranjang. Ia menaiki kasur dan duduk tepat di samping Naira, tubuhnya sedikit miring menghadap perempuan itu.
“Kenapa?” tanyanya lagi, kali ini lebih lembut. “Apa kamu ingin sesuatu?”
Naira masih tidak menjawab, hanya menggenggam ujung selimut sambil menelan ludah. Raka mencondongkan tubuh, mencoba melihat wajahnya dengan lebih jelas.
“Kenapa?” ulangnya pelan.
Naira menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku ingin bertanya sesuatu…”
Raka mengangguk agar Naira melanjutkan.
Perempuan itu akhirnya menoleh, menatap Raka dengan mata yang tampak ragu dan takut bersamaan. “Apa... kamu tidak ada niatan untuk menyentuhku?”
Raka terdiam. Matanya membesar sedikit, jelas tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulut Naira. Naira tampak makin gugup, tapi ia tetap berbicara. “Apa sudah tidak ada cinta lagi untukku? Atau.. atau kamu jijik dengan tubuhku sekarang?”
Suara Naira sedikit melemah di akhir kalimat. Ia menunduk dalam, takut melihat reaksi Raka. “Aku tahu tubuhku banyak berubah... aku semakin berat... dan aku merasa aku tidak secantik dulu.”
Raka menatapnya lama, namun tetap tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia seperti mencari jawaban yang tepat, tetapi tidak menemukannya.
Sementara Naira salah menafsirkan keheningan itu sebagai pertanda buruk. Ia menunduk makin rendah hingga bahunya sedikit bergetar.
“Naira.” Raka akhirnya bersuara, tapi tetap pelan.
Namun Naira masih menunduk. “Kalau kamu tidak mau lagi... kamu bisa bilang. Aku hanya ingin tahu alasannya. Aku tidak ingin terus menebak-nebak.”
Raka menghela napas panjang, lalu mengangkat tangannya lalu ragu-ragu meraih dagu Naira. Tapi gerakannya sangat pelan, seolah takut membuat perempuan itu terkejut. Ia akhirnya mengangkat wajah Naira agar kedua mata mereka saling menatap. “Bukan seperti itu…” ucap Raka, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Naira menatapnya, menunggu.
“Aku diam... karena aku tidak tahu harus menjawab apa” lanjutnya. “Aku tidak menyentuh kamu karena jijik. Sama sekali bukan itu.”
“Lalu?” tanya Naira, suaranya bergetar.
Raka menarik napas berat. “Aku... takut menyakiti kamu dan dia. Aku takut kalau aku menyentuh kamu, aku justru membuat kamu merasa tidak nyaman atau sakit. Aku hanya... tidak tahu bagaimana harus memperlakukan kamu sekarang.”
Naira membulatkan mata. “Jadi... itu alasannya? Tapi kan ini bukan kehamilan pertama untukku. Aku pernah hamil Jingga...”
Raka kembali bingung harus menjawab apa. Meskipun ia bukan manusia yang baik, tapi Raka tahu agama. Mereka memang sudah menikah... Tapi anak yang ada di kandungan Naira sekarang bukanlah anaknya. Dan juga Jingga adalah anaknya dengan Nayla bukan dengan Naira.
Raka mendekat sedikit. “Aku hanya berhati-hati. Itu saja.”
Butiran air mata mengalir di pipi Naira tanpa ia sadari. “Kenapa kamu tidak bilang dari awal...” bisiknya lirih.
“Aku tidak pandai menjelaskan, Nai...” jawab Raka jujur. “Aku takut salah bicara. Dan akan semakin menyakiti kamu.”
Naira menunduk, namun kali ini bukan karena malu...melainkan kelegaan. Untuk pertama kalinya suasana di antara mereka terasa lebih dekat...
.
.
.
Jangan Lupa tinggalkan JEJAK...