Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Lamaran
Pagi di Bandung berhembus lembut. Embun masih menempel di dedaunan halaman rumah keluarga Bu Aina ketika Rizal memanaskan mobilnya. Hari itu terasa berbeda—ada degup jantung yang lebih cepat dari biasanya. Hari ketika ia akan melamar seorang perempuan bernama Nadia, perempuan yang kini menjadi pusat doanya.
Bu Aina sudah siap sejak subuh. Dengan kebaya biru lembut dan bros perak di bahu, ia tampak anggun dan berwibawa. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya memancarkan kebanggaan yang tak bisa disembunyikan.
"Sudah semua, Zal?” tanyanya, memastikan kotak hantaran telah tertata di bagasi.
"Sudah, Bu,” jawab Rizal sambil merapikan baju batiknya. “Kain, alat salat, kue, buah, perhiasan, semuanya lengkap.”
Raisha membantu memeriksa ulang daftar hantaran sambil sesekali tersenyum. “Semoga lancar ya, Zal. Aku kok ikut deg-degan.”
"Yang mau lamaran aja belum setegang ini,” gurau Bimo sambil menggendong salah satu anak kembarnya, Kenzie. Sementara itu, Kenzo sudah sibuk berlari-lari kecil di teras, suaranya riang.
Lintang, kakak tertua Rizal, menepuk bahu adiknya. “Akhirnya ya, Zal. Ibu dari dulu pengin lihat kamu serius sama seseorang. Semoga Nadia memang yang terbaik buat kamu.”
Rizal mengangguk. Tapi di sisi lain halaman, Rezky hanya terdiam, berdiri dengan tangan di saku. Tatapannya kosong ke arah jalanan yang masih berkabut.
Tak ada yang tahu, di dalam dadanya sedang beradu dua perasaan yang bertolak belakang: bahagia untuk adiknya, dan perih yang tak bisa ia jelaskan. Karena perempuan yang akan dilamar itu—adalah cinta pertamanya.
Ia tak pernah cerita pada siapa pun, bahkan pada Raisha, istrinya. Dulu, di masa putih abu-abu, Nadia adalah nama yang menempel di hatinya terlalu lama. Tapi waktu, jarak, dan kepindahannya ke Bandung membuat semuanya berakhir tanpa perpisahan yang jelas. Ia pikir sudah sembuh. Hingga Rizal membawa wanita itu ke rumah 2 minggu lalu.
Sejak itu, dadanya bergetar aneh setiap kali mendengar nama itu. Tapi hari ini, ia berusaha menenangkan diri. Ini adiknya. Ini bahagia adiknya. Ia harus kuat.
Pukul tujuh lewat sedikit, mereka berangkat. Dua mobil melaju dari Bandung menuju Jakarta. Mobil pertama dikemudikan Rizal, ditemani Rezky, dan Raisha di kursi belakang. Mobil kedua dikendarai Bimo, membawa Bu Aina, Lintang, serta si kembar yang riuh berceloteh sepanjang jalan.
"Om Rizal, nanti Kenzie dapet kue, ya?” teriak Kenzie dari jendela ke mobil depan, membuat semua tertawa.
Rizal tersenyum lewat kaca spion. “Dapet, dong. Banyak malah.”
Raisha terkekeh. “Anak-anak aja udah semangat, masa Om-nya malah pucat?”
Rizal menghela napas. “Deg-degan, Kak. Rasanya kayak mau sidang skripsi.”
"Kalau skripsi bisa diulang,” gumam Rezky pelan, "kalau lamaran, nggak ada revisi.”
Rizal menoleh sekilas, tertawa gugup, tak sadar nada lirih di suara kakaknya itu menyimpan getir. Raisha sempat menatap Rezky heran, tapi pria itu langsung memalingkan wajah, menatap jalan panjang yang mengarah ke Jakarta, membiarkan pikirannya tenggelam di masa lalu yang sudah semestinya ia kubur.
Sekitar pukul sepuluh kurang seperempat, mereka tiba di rumah keluarga Nadia. Rumah itu asri, berwarna krem dengan pagar putih dan taman kecil yang penuh bunga. Dari luar saja terasa kehangatan keluarga.
Bu Wati_ibu Nadia, menyambut mereka di teras dengan senyum yang ramah. “Selamat pagi keluarga dari Bandung, silakan masuk. Duh Jeeeng, akhirnya kita berbesan.” ucapnya penuh suka cita, dia memeluk sahabatnya erat.
Begitu Nadia muncul dari dalam rumah, seisi ruangan serasa melambat. Ia mengenakan kebaya krem lembut dengan selendang batik di pundak. Wajahnya tampak menenangkan.
Rizal terpaku beberapa detik, lalu menunduk sopan. Rezky menelan ludah pelan. Dunia di hadapannya terasa berputar sebentar. Wajah itu—tak berubah jauh dari yang dulu ia kenal. Hanya lebih dewasa, lebih lembut, lebih bijak. Dan kini akan menjadi milik adiknya.
Ia menarik napas panjang, mencoba menutup luka lama itu dengan doa dalam hati. Ya Allah, tolong kuatkan aku untuk ikut bahagia.
Acara dimulai dengan sambutan. Suasana hangat, sederhana, tapi penuh haru. Lintang duduk di samping Bu Aina, sesekali membantu menjelaskan makna hantaran yang dibawa. Kenzie dan Kenzo sibuk berlarian kecil, membuat beberapa tamu tersenyum gemas.
Bu Aina menatap anak bungsunya dengan mata berbinar. Akhirnya, Zal. Ibu lihat kamu serius. Dalam hati, ia mengucap syukur berulang kali. Perempuan itu selalu bermimpi bisa menikahkan putra-putranya satu per satu. Dan hari ini, langkah pertama Rizal membuat hatinya tenang.
Rezky ditunjuk menjadi perwakilan keluarga yang menyampaikan maksud kedatangan. Ia sempat ragu sejenak sebelum berbicara. Tapi pandangan Bu Aina membuatnya mantap.
"Bismillahirrahmanirrahim,” suaranya dalam tapi terdengar sedikit berat. “Kami dari keluarga Bandung datang dengan niat baik untuk melamar saudari Nadia agar kelak bisa menjadi pendamping hidup adik kami, Rizal.”
Kata-kata itu keluar dengan getir halus di sela napasnya. Ada sesuatu yang menyesak di dada, tapi ia menahannya rapat-rapat.
Pak Hariadi ayahnya Nadia tersenyum haru. "Alhamdulillah, kami menerima dengan bahagia. Semoga semua dimudahkan.”
Nadia menunduk, wajahnya memerah. Rizal menatapnya, tersenyum penuh syukur.
Ketika doa bersama dibacakan oleh ustadz keluarga, suasana hening. Rezky menutup mata, tapi di balik kelopak matanya, kenangan masa lalu berkelebat. Taman sekolah, tawa gadis berseragam putih abu, suara lembut yang memanggil namanya dulu. Ia menelan perih itu diam-diam.
Setelah doa selesai, suasana berubah lebih ringan. Bu Wati mengajak semua makan siang. Di meja panjang tersaji nasi kebuli, sate kambing, ayam bakar madu, hingga puding buah yang manis.
Kenzie dan Kenzo duduk di sebelah Lintang dan Bimo, cerewet menanyakan mana kue favorit mereka.
Bentar-bentar, jadi Nak Raisha ini ternyata menantunya Jeng Aina ya?
"Iya Tante, saya istrinya Mas Rezky, kakaknya Rizal."
"Nak Raisha ini yang membeli rumah ibu di Kopo Nad. Dunia memang sempit ya."
Bu Aina terkejut mendengarnya, dia tidak menyangka menantu dan besannya bisa membeli rumah Bu Wati. Karena pasti harganya mahal.
Menjelang sore, ketika mereka pamit pulang, Bu Wati memeluk Bu Aina. “Terima kasih sudah datang, Jeng. Semoga semua dilancarkan sampai hari akad nanti.”
"Insya Allah, Jeng. Terima kasih sudah menerima anak saya dengan baik,” jawab Bu Aina dengan senyum tulus.
Nadia menyalami satu per satu. Saat sampai pada Rezky, ia menunduk sopan. “Terima kasih sudah datang, Kak.”
Rezky menatapnya sejenak, lalu tersenyum tenang. “Selamat ya, Nad. Kamu kelihatan bahagia. Pertahankan itu.”
Nadia membalas dengan tatapan hangat. “Terima kasih.”
Mobil keluarga itu perlahan meninggalkan rumah Nadia. Senja mulai turun di langit Jakarta. Di kursi belakang, Bu Aina bersenandung kecil, Lintang tertidur di bahu Bimo, dan si kembar sudah pulas dalam pelukan.
Rizal menatap jalan dengan senyum lega. "Alhamdulillah, lancar ya, Mas.”
Rezky menatap langit jingga di luar jendela, lalu tersenyum samar. “Lancar, Zal. Dan semoga nanti seterusnya juga lancar, sampai kamu benar-benar bahagia.”
Rizal tak tahu, di balik kalimat itu ada satu bab perasaan yang telah ditutup dengan doa paling tulus seorang kakak.
Dan sore itu, perjalanan pulang mereka terasa lebih tenang—seolah semua yang belum selesai, akhirnya menemukan tempat pulangnya masing-masing.