Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab1
Tahun 2005.
Suara petir menggelegar memecah langit, badai besar melanda ibu kota Shanghai malam itu. Hujan turun tanpa henti, membasahi jalanan yang lengang dan gelap.
Di dalam sebuah rumah sakit, di tengah suara guntur dan angin yang meraung, terdengar tangisan bayi—nyaring, menembus udara yang tegang.
Di luar ruang bersalin, tiga orang pria menunggu dengan cemas.
Mereka adalah Micheal Lin, Mike Shu, asistennya yang setia, dan Nic Shu, putra Mike yang berusia sepuluh tahun.
Pintu ruang bersalin terbuka. Seorang dokter keluar bersama suster yang menggendong bayi mungil dengan kain putih bersih.
“Tuan, selamat. Istri Anda melahirkan bayi perempuan yang cantik,” ucap dokter itu dengan senyum lega.
Micheal berdiri dengan mata berkaca-kaca, senyum hangat menghiasi wajahnya.
“Terima kasih, Dokter… Suster…” katanya lirih, lalu dengan hati-hati menerima bayi itu ke dalam pelukannya.
Begitu dokter dan suster pergi, Mike menatap bayi kecil itu dan tersenyum.
“Nona kecil ini benar-benar cantik,” ujarnya lembut.
Nic mencondongkan tubuh, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Aku akan melindungi adik kecil ini. Aku janji, tidak akan ada penjahat yang bisa menyakitinya!”
Micheal tertawa kecil, tapi belum sempat menjawab, sebuah suara tua bergema di belakang mereka.
“Dilahirkan di tengah badai dan petir yang menyambar langit… pertanda besar bagi seorang anak,”ucap suara itu tenang namun penuh wibawa.
Mereka menoleh serentak.
Di koridor berdiri seorang pria tua berambut putih, berpakaian panjang bergaya kuno, memegang kipas lipat berukir naga. Aura keemasan samar memancar dari tubuhnya.
Micheal menatapnya heran.
“Tuan… Anda siapa?”
Pria itu tersenyum lembut.
“Namaku Tao. Orang-orang memanggilku Guru Tao.”
Micheal segera menunduk sopan.
“Guru Tao… kehormatan bagi kami Anda datang ke sini.”
Guru Tao melangkah mendekat. Tatapannya tajam namun tenang, menatap bayi yang masih berada di pelukan Micheal.
“Anak ini akan membawa masalah sekaligus kemakmuran. Ia memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak dimiliki manusia biasa. Orang di sekitarnya harus siap menghadapi takdirnya.”
Kata-kata itu membuat ruangan seolah hening.
Mike bertukar pandang dengan Micheal, sementara Nic menggenggam tangan ayahnya erat.
“Guru Tao, maksud Anda… bencana?” tanya Micheal dengan wajah tegang.
Guru Tao mengangguk pelan.
“Setelah beranjak usia dua belas tahun, anak ini akan menjadi sumber banyak masalah bagi kehidupan kalian. Tapi jangan salah—ia juga membawa anugerah. Ia memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan menolong banyak orang. Namun, sifatnya… sangat sulit diatur. Hanya ada satu orang di dunia ini yang kelak bisa mengendalikannya.”
Mike bertanya dengan hati-hati,
“Siapa orang itu, Guru?”
Guru Tao menatap jauh seolah melihat masa depan.
“Belum waktunya ia muncul. Tapi ketika takdir mempertemukan mereka, anak itu akan menjadi jodoh putrimu.”
Nic tersenyum polos.
“Jadi, jodohnya nanti bisa membuatnya patuh, ya?”
Guru Tao mengangguk kecil sambil tersenyum samar.
“Benar. Bahkan badai pun bisa tenang ketika bertemu dengan angin yang tepat.”
Micheal masih memandangi bayinya dengan campuran takut dan kagum.
“Guru… apakah kehidupannya akan baik-baik saja?”
Guru Tao menepuk bahu Micheal.
“Tenanglah. Storm adalah anak yang kuat. Tak akan mudah dikalahkan oleh dunia.”
“Storm?” ulang Micheal.
Guru Tao tersenyum.
“Namanya Storm. Aku memberinya nama itu—sesuai dengan cuaca ketika ia lahir.”
Saat itu juga, bayi kecil itu membuka matanya. Cahaya kuning keemasan berkilat dari kedua bola matanya—hanya Guru Tao yang dapat melihatnya.
Ia menatap dalam, lalu menelusuri udara dengan jari-jarinya seolah membaca nasib.
“Cahaya keemasan…” gumamnya lirih.
“Anak ini memiliki penglihatan luar biasa, bakat yang melampaui nalar manusia. Tapi ingatlah—anugerah besar selalu datang bersama kutukan. Ia diberkahi penglihatan tajam… namun dikutuk dengan ingatan yang buruk.”
Suara petir kembali menyambar.
Guru Tao menutup kipasnya perlahan, menatap bayi itu terakhir kali sebelum berjalan pergi.
Badai di luar semakin deras—dan di dalam pelukan sang ayah, Storm Lin membuka matanya sepenuhnya untuk pertama kali.
“Dua puluh tahun lagi, anak ini akan bertemu dengan seorang pria yang memiliki aura luar biasa—seorang pahlawan negara,” gumam Guru Tao sebelum sosoknya perlahan menghilang dari pandangan mereka.
“Tuan, Guru Tao... dia menghilang tiba-tiba,” ujar Nic sambil mengucek matanya, masih tak percaya.
“Baru lahir sudah bisa membuka mata,” ucap Mike dengan nada takjub.
Michael tersenyum hangat, menatap bayi mungil di pelukannya.
“Storm… nama yang indah. Berbeda dari anak-anak lain. Apa pun yang terjadi, Storm akan menjadi putri kesayanganku.”
Dua puluh tahun kemudian.
Sebuah gedung apartemen mewah berdiri menjulang di tengah kota.
Seorang gadis berjalan santai di lorong, memegang tongkat golf di tangan. Langkahnya ringan tapi penuh percaya diri.
Setiba di depan sebuah pintu, ia menekan kombinasi sandi di keypad.
Klik.
Pintu terbuka, dan pandangannya langsung jatuh pada pakaian pria dan wanita yang berserakan di lantai ruang tamu.
Storm, gadis bar-bar dengan temperamen meledak, menghela napas panjang.
“Ternyata kau sedang bermain dengan wanita lain,” gumamnya pelan, tapi tajam.
Dari dalam kamar, terdengar suara desahan pria dan wanita bercampur menjadi satu.
Storm memutar kenop perlahan… lalu membuka pintu kamar itu.
Dan di sana, di atas ranjang, dua tubuh yang saling bertaut terlihat jelas di hadapannya.
“Ricky jahanam!” teriak Storm, matanya menyala penuh amarah.
Tanpa pikir panjang, ia langsung menjambak rambut pria itu, yang masih berada di atas tubuh wanita lain.
“Aaarghhh!” jerit Ricky, terhempas jatuh ke lantai dengan keras. Bruk!
Wanita di ranjang itu menjerit, buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya.
“Siapa kamu?!” tanyanya panik.
Storm melipat tangan di dada, senyum miring di wajahnya.
“Aku adalah nenekmu!” jawabnya tajam.
Ricky berusaha bangkit, tapi Storm sudah melangkah mendekat, menenteng tongkat golf di tangannya.
“Hei, kau suka bermain dengan wanita?” katanya dingin. “Bagaimana kalau sekarang aku yang bermain denganmu?”
Sebelum Ricky sempat bicara, byarr!—tongkat golf itu mendarat tepat di antara kedua kakinya.
“AAAAAHHH!!!” jerit Ricky kesakitan, berguling-guling di lantai sambil memegangi “pusaka” kebanggaannya.
Storm mendengus puas. “Tenang saja, kalau putus aku sambungkan lagi dengan ini," katanya sambil menunjukan sebuah benda lonjong yang di dalam botol kaca kecil.
"Kau gila ...," teriak Ricky yang kesakitan dan terlihat darah yang berserakan di lantai.
"Dasar psikopat," kata wanita itu yang ketakutan.
"Kau begitu suka dengan sosisnya? Apa kau tahu isi botol ini? Ini adalah milik anak anjing yang baru dikebiri. Akan aku gantikan untuk selingkuhanmu," ucap Strom dengan senyum