Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENUJU ALAMAT
Pagi pukul delapan. Udara di sekitar kosan Aryan terasa segar, namun ketegangan menyelimuti suasana. Setelah konfrontasi sengit dengan Bu Indah, yang hanya menghasilkan cerita bohong yang tersusun rapi, mereka bertiga tahu mereka tidak punya pilihan selain mengikuti petunjuk terakhir Anggun: alamat di dalam kotak kayu.
Aryan sudah bersiap di halaman kosannya. Di sampingnya, sudah terparkir mobil Bima, yang dipinjamkan khusus untuk misi ini. Bima, meskipun skeptis terhadap unsur mistis dalam cerita Aryan, sangat mendukung temannya dalam hal mengungkap kejahatan yang terorganisir.
Saat Aryan sedang memeriksa perbekalan, Dina dan Rima tiba.
"Pagi, Yan. Sudah siap semua?" tanya Dina, membawa ransel kecil.
"Sudah. Makanan, air, power bank, dan buku harian Anggun ada di tas," jawab Aryan.
Tepat saat itu, Bima keluar dari kosan Aryan. Ia telah mengganti pakaiannya dengan baju kasual, siap mengemudi. Mereka berdua segera menghampiri Bima.
"Pagi, Bim," sapa Rima dan Dina serempak.
Bima tersenyum kecil. "Pagi. Sudah, enggak usah tegang. Anggap saja ini field trip aneh yang dibayar. Tapi ingat, kalau ada hantu yang minta nebeng, aku turun duluan."
Mereka bertiga tertawa hambar. Meskipun mencoba bercanda, Bima menyadari keseriusan di wajah teman-temannya.
Mereka berkumpul sebentar di dekat mobil, meninjau ulang rencana.
"Kita tidak tahu apa yang ada di alamat ini," ujar Aryan, merujuk pada catatan di tangannya. "Bisa jadi keluarga Anggun, atau mungkin tempat di mana ritual pesugihan itu dimulai. Kita harus hati-hati dan mencari info secara detail."
"Kita akan berpura-pura menjadi mahasiswa yang sedang melakukan penelitian sosial tentang kasus lama," usul Dina. "Jangan pernah menyebut hotel atau Nyonya Lia."
"Aku setuju. Yang penting, kita tidak boleh terlihat mencurigakan. Kita akan cari tahu siapa Beni, dan apa hubungan alamat ini dengan Anggun dan Bu Indah," kata Rima.
Setelah mencapai kesepakatan, mereka pun masuk ke mobil Bima. Bima mengambil posisi mengemudi, Aryan di sampingnya, dan Rima serta Dina di kursi belakang. Misi penyelidikan mereka dimulai.
Perjalanan dari Jakarta menuju Bogor terasa lancar dan damai. Bima mengemudikan mobil dengan santai. Mereka memasuki jalan tol, meninggalkan hiruk pikuk kota.
Aryan memegang ponselnya, sesekali melihat peta digital yang menunjukkan alamat spesifik di Bogor: sebuah desa yang cukup terpencil. Suasana di dalam mobil sempat rileks. Mereka mencoba menghindari pembicaraan tentang hantu atau pembunuhan, malah membahas hal-hal ringan, berusaha melepaskan ketegangan.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.
Saat mereka melaju di jalur paling kanan di jalan tol yang cukup sepi, tiba-tiba, dari belakang, muncul sebuah truk besar berwarna gelap. Truk itu melaju dengan kecepatan yang mencurigakan, jauh di atas batas kecepatan truk pada umumnya.
Truk itu mulai menglakson tanpa henti, klaksonnya keras dan agresif, menekan Bima.
"Kenapa truk itu rusuh banget, sih?" gerutu Bima, melihat ke kaca spion. "Jalur kanan memang buat menyalip, tapi ini masih batas kecepatan, kenapa dia rish banget?"
Bima mencoba mengabaikannya, namun truk itu tidak sabar. Ia menglakson lebih keras dan lebih lama, bahkan mulai memepet mobil Bima dari belakang. Lampu depannya yang terang menyilaukan mata Bima di spion.
"Cepat minggir, Bim! Truk itu kencang banget!" seru Aryan, mulai merasa tidak nyaman.
Bima yang kesal, akhirnya mengalah dan memindahkan mobilnya ke jalur tengah. Begitu mereka pindah, truk itu melaju kencang melewati mereka.
"Anjing kontol! Ngapain buru-buru begitu, mau bunuh orang?" umpat Bima, meluapkan kekesalannya yang biasa.
Namun, perasaan tidak nyaman itu tidak hilang. Saat truk itu lewat, mereka berempat sempat melihat sekilas ke kabinnya. Kaca truk itu gelap, dan wajah pengemudinya tidak terlihat jelas.
Mereka mencoba melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa kilometer, mereka harus keluar dari gerbang tol dan memasuki jalan provinsi menuju desa tujuan.
Jalan yang mereka lalui kini mulai menyempit, dikelilingi oleh pepohonan rindang dan kebun-kebun. Suasana semakin sepi, dan jalanan mulai berkelok-kelok.
Saat itulah, Aryan melihat ke kaca spion.
Mobil truk yang sama.
Truk berwarna gelap itu, yang seharusnya sudah melaju jauh di jalan tol, kini terlihat mengikuti mereka dari belakang, melaju dengan kecepatan yang sama persis, menjaga jarak yang konstan.
"Bim... truk itu. Truk yang tadi di tol. Dia di belakang kita," bisik Aryan, suaranya tegang.
Bima melihat ke spion. Benar saja. Truk besar itu tampak seperti bayangan hitam yang mengancam.
"Nggak mungkin, Yan. Itu kan truk random," balas Bima, mencoba meyakinkan diri sendiri.
"Tidak, Bim. Aku yakin. Warnanya, bentuknya, persis. Kenapa dia ada di jalan sepi ini? Dia enggak menyalip, dia cuma mengikuti," tegas Dina, suaranya gemetar.
Bima meningkatkan kecepatan. Truk itu juga meningkatkan kecepatan. Bima mencoba mengerem, truk itu juga mengerem.
Kini, semua di dalam mobil menyadari: mereka sedang dibuntuti.
Truk itu tiba-tiba menglakson panjang lagi, kali ini klakson itu terdengar seperti peringatan yang mengancam. Truk itu mulai bergerak sangat agresif, mendekat dari belakang hingga hampir menyentuh bemper mobil Bima.
"Dia mau menabrak kita!" teriak Rima, panik.
Bima yang menyadari bahaya serius itu, menginjak gas dalam-dalam. Truk itu mengejar, memaksa mereka melaju di jalanan sepi yang penuh tikungan tajam.
Aryan melihat ke belakang, melihat monster logam itu memenuhi kaca belakang mobil Bima. Truk itu semakin mendekat, hampir menabrak mereka dari belakang, jelas hendak mengirim mereka ke jurang atau menabrakkan mereka ke pohon.
Namun, Bima adalah pengemudi yang terampil. Ia melihat tikungan tajam di depan, dan ia melakukan manuver berbahaya, mengarahkan mobilnya dengan kecepatan tinggi, hampir terpeleset di tikungan itu.
Srrreeettt!
Mobil Bima berhasil melewati tikungan itu. Truk itu, karena ukurannya yang besar dan kecepatannya yang ekstrem, tidak mampu mengimbangi tikungan. Mereka mendengar suara ban yang menderit keras, diikuti oleh suara benturan yang keras.
Bima tidak melihat ke belakang. Ia terus menginjak gas, melarikan diri sejauh mungkin. Setelah beberapa menit, mereka yakin mereka sudah aman.
"Ya Tuhan! Siapa itu? Mereka tahu kita ke sini!" ujar Dina, napasnya terengah-engah.
Aryan memegang buku harian Anggun di pangkuannya. Ancaman itu nyata. Mereka tidak hanya dikejar oleh hantu; mereka juga dikejar oleh jaringan rahasia yang menguasai hotel, yang dipimpin oleh Bu Indah dan Nyonya Lia, yang mengirim seseorang untuk menghentikan mereka di jalan.
Bima berhenti di pinggir jalan yang aman. Ia mematikan mesin. "Itu bukan cuma pengemudi iseng, Yan. Mereka tahu. Mereka mengawasi kita. Mereka enggak mau kita sampai di alamat ini."
Setelah lolos dari kejaran truk misterius, Bima mengemudi dengan sangat hati-hati, memastikan tidak ada lagi kendaraan yang mengikuti mereka. Ketegangan di dalam mobil sudah mencapai puncaknya. Mereka akhirnya tiba di area Bogor yang semakin terpencil, mengikuti alamat yang tertulis di catatan Anggun.
Pukul sepuluh pagi, mereka tiba di sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian kota. Rumah-rumah di sana masih sederhana, dikelilingi oleh pepohonan rindang.
Bima memarkir mobil di tepi jalan. Mereka bertiga turun, menghela napas lega merasakan udara segar desa yang tenang, yang sangat kontras dengan teror yang baru saja mereka alami.
"Kita istirahat sebentar. Kita harus terlihat seperti tamu biasa," ujar Aryan.
Mereka melihat sebuah warung kecil di pinggir jalan yang menjual kopi dan makanan ringan. Mereka memutuskan untuk mampir.
Seorang wanita muda, yang mereka panggil 'Teteh', melayani mereka dengan ramah. Mereka memesan kopi dan beberapa camilan. Sambil menikmati kopi panas yang menenangkan, mereka berbisik-bisik, menyusun strategi untuk mencari informasi tanpa menimbulkan kecurigaan.
"Baik, aku akan mulai bertanya. Kita harus mulai dari nama," kata Aryan.
Aryan mendekati Teteh pelayan warung itu. "Maaf, Teh. Mau tanya. Di sekitar sini, ada yang namanya Anggun tidak?"
Teteh itu berpikir sejenak, menggeleng ramah. "Anggun? Wah, enggak kenal, Mas. Kayaknya enggak ada deh di sekitar sini yang namanya Anggun."
Kegagalan pertama. Nama Anggun ternyata tidak familiar di desa itu. Aryan kembali ke meja, frustrasi. Mereka mencoba bertanya kepada beberapa warga lain yang lewat, namun hasilnya tetap sama: tidak ada yang mengenal nama Anggun.
Tepat ketika mereka mulai merasa putus asa, seorang wanita muda berusia sekitar 21 tahun, yang baru saja keluar dari rumah di seberang warung, menghampiri mereka.
"Permisi, Bapak-bapak, Ibu-ibu," sapa wanita itu dengan sopan. "Maaf, apa kalian sedang mencari Teh Anggun?"
Jantung Aryan, Rima, dan Dina langsung berdebar kencang. Mereka berhasil!
"Ah, iya, benar sekali!" balas Aryan, berusaha tampil santai. "Kami ini teman Anggun. Kami ingin mencari rumah keluarganya. Anggun bekerja di Jakarta, dan sudah lama tidak ada kabar. Kami ingin menyampaikan salam."
Wanita muda itu tersenyum mengerti. "Oh, mari sini. Rumah Teh Anggun tidak jauh kok dari sini."
Wanita itu menunjukkan arah. Ternyata, rumah keluarga Anggun terletak tidak jauh dari warung itu, tersembunyi di balik tikungan kecil. Mereka mengucapkan terima kasih, dan wanita itu pamit, kembali ke rumahnya.
Mereka bertiga berjalan menuju rumah yang ditunjuk, sebuah rumah kayu yang terlihat sederhana namun terawat. Mereka saling menguatkan diri.
Aryan mengetuk pintu kayu itu. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan muncul seorang ibu tua yang terlihat lelah namun memiliki raut wajah yang mirip dengan Anggun.
"Permisi, Bu," sapa Aryan sopan. "Apa benar ini rumah Ibu Anggun, yang bekerja di Jakarta?"
Ibu itu langsung terperanjat. Ekspresinya yang tadinya ramah langsung berubah menjadi jutek dan waspada.
"Iya, saya ibunya. Kenapa? Kalian siapa? Dari mana kalian tahu nama anak saya? Apa kalian yang membawanya pergi?" nada suara ibu itu meninggi dan penuh kecurigaan.
"Kami teman Anggun, Bu. Kami dari Jakarta," jawab Dina dengan lembut, mencoba menenangkan ibu itu.
Setelah melihat ketulusan di mata mereka, ibu itu menghela napas, terlihat lelah dan penuh kepedihan. Ia mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu yang kecil.
Setelah mereka duduk, Ibu Anggun memulai cerita dengan nada yang defensif.
"Jadi, apa benar anak Ibu, Anggun, bekerja di Jakarta?" tanya Aryan, mencoba memverifikasi identitas Anggun.
"Iya, anak saya di Jakarta. Dia bilang dia mau menikah dengan seseorang. Seorang pria. Pria itu janji akan memberikan kehidupan yang baik, janji akan membawanya dari desa ini," ujar Ibu Anggun, matanya mulai memerah.
"Tapi... Anggun tidak pernah balik lagi ke sini. Sejak dia pergi, dia tidak pernah kirim kabar. Dia udah tunangan, seharusnya sudah menikah dan hidup enak, tapi dia lupa sama orang tua. Sudah dua puluh lima tahun dia enggak pernah ke sini, enggak pernah kirim kabar," lanjut Ibu Anggun, suaranya dipenuhi rasa marah dan sedih.
Informasi itu bagai palu godam yang menghantam Aryan, Rima, dan Dina. Anggun bukan pelacur yang mengancam seperti cerita Bu Indah. Anggun adalah seorang wanita desa yang pergi ke Jakarta untuk menikah. Dan dia hilang persis 25 tahun yang lalu, sesuai dengan usia Anggun di KTP yang mereka temukan!
Anggun tidak bunuh diri. Dia menghilang setelah bertunangan.
Aryan terkejut. "Maaf, Bu. Apa saya boleh... melihat foto Anggun?"
Ibu Anggun mengangguk dan mengambil bingkai foto dari lemari. Begitu Ibu Anggun menyerahkan foto itu, Aryan dan Rima melihatnya. Wajah di foto itu sama persis dengan yang ada di KTP dan sama persis dengan hantu wanita bergaun merah yang mencekik Rima.
Aryan dengan cepat mengambil simpulan. Ia tahu mereka tidak boleh gegabah. Ibu Anggun tidak boleh tahu bahwa anaknya dibunuh, dirasuki, dan sekarang bergentayangan di hotel yang dimiliki oleh wanita yang diduga membunuhnya.
"Terima kasih banyak, Bu," kata Aryan, mengembalikan foto itu dengan hati-hati. "Saya mengerti. Kami akan mencoba menghubungi Anggun lagi di Jakarta, menyampaikan pesan Ibu. Kami harap Anggun baik-baik saja dan segera kembali."
Mereka bertiga pamit, meninggalkan Ibu Anggun yang masih terpukul oleh kenangan akan putrinya yang hilang. Begitu mereka keluar, mereka segera berjalan cepat menuju mobil Bima.
"Bu Indah bohong total," bisik Rima. "Anggun bukan pelacur, dia adalah tunangan seseorang yang hilang!"
"Anggun pergi untuk menikah. Dan tunangannya itu, yang berinisial 'B', pasti Beni," simpul Dina. "Bu Indah berbohong untuk menutupi kejahatan yang didasari cemburu buta dan pembunuhan!"
Misi mereka kini memiliki arah yang lebih jelas dan motif yang lebih kuat. Mereka harus menemukan Beni dan membuktikan bahwa Anggun dibunuh.