NovelToon NovelToon
Reany

Reany

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Aerishh Taher

Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.


Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.

Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.

Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.

Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.


Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.

memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.

Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 : Mansion Keluarga Wijaya( Reani Pulang)

Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya ketika Reani keluar dari mobilnya. Lampu-lampu taman bergemerlap, memantul di kaca jendela mansion pribadinya—rumah kecil yang disiapkan keluarganya di Jakarta, jauh dari hiruk pikuk rumah utama keluarga Wijaya.

Begitu menutup pintu mobil, ia menghela napas panjang.

Bukan karena lelah.

Tapi karena pikirannya masih terbayang-bayang besok pagi—saat ia harus kembali ke rumah utama.

“Duh…” Ia menyandarkan kepala di pintu mobil. “Kalau Papa marah, tamat riwayat aku. Beliau tuh kalau ngomel, bisa bikin bunga layu. Hiks.”

Ia melangkah masuk ke dalam mansion. Karena terbiasa hidup sederhana, rumah itu tidak dipenuhi pelayan. Hanya lampu-lampu temaram yang menyala otomatis. Sandalnya jatuh entah ke mana, jaketnya terlempar entah ke mana juga.

Namun satu hal yang tidak bisa ia lempar:

kegelisahan besok hari.

Ia meraih sofa dan menjatuhkan diri seperti boneka kehabisan baterai.

“Besok gimana ya…” gumamnya sambil menatap langit-langit. “Papa pasti ngamuk karena Juna selingkuh. Padahal… ya bukan salah aku juga sih. Tapi Papa tuh suka protektif parah.”

Tiba-tiba sudut bibirnya terangkat, nakal.

“Tapi… kalau Juna tau aku anak keluarga Wijaya? Duh, pasti mukanya berubah jadi warna sepuluh ribu rupiah yang luntur kena hujan. Ihh, lucu banget kebayangnya!”

Ia menenggelamkan wajah ke bantal, menahan tawa.

Lalu mengerang.

“Aku minta Papa jangan ikut campur, ah. Aku masih mau main-main sama dua anjing liar itu. Tenang aja sayang… besok kalian kebagian giliran.”

Ponselnya tiba-tiba bergetar.

Arian.

Reani memejamkan mata. “Ya ampun, ini anak… jam segini ngapain sih?”

Tetap diangkat.

“Halo, Ar… Ini udah malem Ar. Aku ngantuk banget.”

Di ujung sana terdengar dengusan tidak sabar.

“Rea. Baru jam delapan. Kamu tuh hidupnya normal nggak sih? Aku belum terima email dari kamu. Kirim sekarang. Mau aku kerjain malam ini, biar cepat selesai.”

Reani memutar badan dan memandang langit-langit dengan muka kosong.

“Oh… iya. Lupa. Gara-gara kepala aku kebanyakan mikirin pasangan laknat itu.”

“Kamu ngomong apa, Rea?”

“Bentar, aku kirim.”

Tanpa menunggu satu detik pun, ia menutup telepon.

Seperti biasa.

Ia membuka laptop, mengirim dokumen, lalu menulis judul email tanpa berpikir panjang:

“Proyek Anjing Menggigit Tuannya.”

Tidak sampai satu menit, ponselnya kembali bergetar.

Arian menelpon lagi.

“Rea.” Suaranya meninggi, putus asa.

“Itu apaan judulnya begitu? Kamu pikir aku nggak malu baca itu di inbox tim?”

Reani menguap panjang, hampir jatuh dari sofa.

“Udahlah, Ar. Cek dulu isi file-nya. Aku ngantuk.”

“Re—”

Tut.

Telepon mati lagi.

Ia menjatuhkan ponsel ke samping, menarik selimut, dan membenamkan diri ke dalamnya seperti kepompong.

Dalam tiga detik, napasnya sudah stabil.

Dalam lima detik, ia sudah tertidur pulas—tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Dan jauh di sana,

di sebuah apartemen yang ditemani monitor-monitor menyala,

Arian memijit pelipis sambil mengutuk pelan.

“Perempuan itu… bikin darah tinggi.”

____

Keesokan harinya......

Reani terbangun dengan kepala berat dan rasa malas yang menempel seperti lem. Cahaya matahari menyusup dari sela tirai, tepat menampar wajahnya.

Ia melirik jam.

11.07.

“Ya Tuhan… bangkong banget,” gerutunya sambil menarik selimut lalu melemparkannya lagi.

Begitu mengaktifkan ponsel, layar langsung banjir notifikasi.

Panggilan tak terjawab.

Juna (7x)

Stef (3x)

Arvian (4x)

Reani mendengus pendek.

Nama pertama langsung ia blokir tanpa pikir panjang.

“Hidup tanpa sampah digital lebih damai.”

Ia menekan nomor Stef.

“Halo nona—”

“Halo… hoammm… ada apa? Aku baru bangun.”

Di seberang, suara Stef terdengar hati-hati, seperti biasa—gabungan antara sopan dan terlatih menghadapi ulah Reani.

“Nona Rea, Tuan telah menunggu lebih dari dua jam.”

Reani menatap langit-langit. “Ah… katakan pada papa aku otw. Bilang aja aku ada urusan penting. Jangan bilang aku ketiduran.”

Keheningan tipis.

“Hmmm… saya tidak bisa berbohong pada Tuan, nona.”

Tut.

Reani memutus telepon begitu saja. “Paman Stef itu nyebelin banget, sumpah.”

Ia bangkit, mandi kilat, memakai pakaian seadanya, lalu langsung cabut—tanpa sarapan.

Perutnya protes keras.

“Sabar ya, cacing-cacing. Papa lebih menakutkan dari kalian semua.”

Ponselnya bergetar lagi.

Papa is calling…

Reani terpaku satu detik.

Lalu ia meletakkan ponsel itu di jok mobil.

“Angkat nggak ya?”

Ia menggeleng cepat. “Nggak usah. Sebentar lagi juga sampai.”

Mobil berhenti di gerbang tinggi yang menjulang seperti portal ke dunia lain. Dua penjaga membungkuk, gerbang besi terbuka pelan, dan pemandangan yang sudah lama ia hindari kembali menyapa.

Mansion Wijaya

Jika rumah orang lain punya halaman… tempat ini punya tanah lapang, kolam panjang, dan taman simetris dengan patung yang entah kenapa makin banyak setiap tahun.

Gedung utamanya menjulang anggun, sementara beberapa paviliun terletak memanjang di sisi lain—selalu ramai, selalu berpenghuni.

Reani menghela napas panjang.

“Lelah banget… baru sampai udah capek. Rumah kok luas begini? Nyusahin diri sendiri.”

Ia baru melangkah turun ketika suara familiar muncul dari samping.

“Selamat datang, nona.”

Reani memutar badan. “Ah, paman—eh, Stef.”

“Nona, cukup panggil saya Stef saja.”

“Iya, iya. Stef.” Reani melambaikan tangan malas. “Aku ke ruang keluarga sendiri. Masih tau jalan kok.”

Stef memberi sedikit senyum formal. “Tuan sedang menunggu bersama yang lain.”

Reani mengerutkan dahi.

“Yang lain? Siapa? Mama kan masih di luar negeri?”

“Nyonya tiba di rumah tadi malam, nona.”

Diam.

Reani mencicit pelan.

“Duh…”

Selesai sudah hidupnya hari ini.

Dan ia bahkan belum sarapan.

__

Reani berhenti di depan pintu besar berukir, menghela napas sambil merapikan rambut yang jelas-jelas masih berantakan. Ia menepuk pipi pelan, berharap terlihat lebih hidup dari kenyataannya.

Begitu pintu didorong, aroma kayu manis dari diffuser mahal langsung menyergap—hangat, manis, sekaligus mengintimidasi.

Dan Reani langsung ingin menutup pintu lagi.

Karena yang menunggu di dalam bukan cuma dua orang.

Papa—Johan Wijaya—duduk di kursi utama, tangan besar terlipat di dada. Wajahnya tenang, tapi alisnya sudah membentuk “bukit bencana”.

Di sebelahnya, Mama Reani—Sisilia Brata—menatap Reani dengan senyum halus berbahaya. Senyum yang berhasil membuat banyak orang luluh… dan membuat Reani ingin pura-pura pingsan.

Tapi mereka tidak sendirian.

Di sofa kanan, Aunty Cassy duduk anggun, kaki bersilang rapi. Wanita itu tak pernah terlihat tidak sempurna, bahkan rambutnya saja seperti tidak mengenal kata "frizzy".

Di samping Cassy, Doroty—Sepupu Reani yang berumur 18, dan bibirnya lebih tajam daripada eyeliner Reani— Reani menatap Doroty dengan pandangan yang jelas-jelas berkata.

“Wah kita bertemu kembali Drama Queen.”

Sementara di kursi lain, Paman Aryan—adik bungsu papa Reani—mengangkat alis sambil menggoyang-goyangkan satu kaki. Gayanya santai, tapi sorot matanya mengukur Reani dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Reani menelan ludah.

“Wah… lengkap banget ya… kayak rapat darurat negara…” gumamnya pelan.

Mama tersenyum lebih lebar. “Kami hanya ingin sarapan bersama. Tapi kamu bangunnya hampir makan siang.”

Reani menggaruk pipi. “Kan… yang penting bangun, Ma.”

Aunty Cassy berdeham kecil. “Sayang, seorang gadis seumurmu seharusnya menjaga pola tidur.”

Doroti ikut menimpali tanpa diminta, sambil menggulung ujung rambutnya.

“Atau setidaknya… menjaga wajah biar nggak kayak habis digilas truk.”

Mata Reani menyipit. “Hei, muka aku tuh limited edition. Barang langka. Kamu nggak bakal ngerti.”

Doroti berdecak. “Iya, langka karena cuma kamu yang punya muka bangun tidur jam sebelasan.”

Paman Aryan tertawa pelan. “Sudahlah, anak-anak. Duduk dulu, Rea.”

Reani menghela napas panjang… sangat panjang… lalu berjalan mendekat.

Sambil melangkah, ia melirik sekeliling ruangan luas itu—dinding marmer, chandelier kristal, rak buku tinggi, lukisan keluarga yang tatapannya terasa mengawasi.

Rumah sebesar ini—dengan gedung utama, paviliun di sisi timur dan barat, serta taman belakang yang sepanjang lapangan sepak bola—selalu membuatnya merasa kecil.

Bahkan Aunty Cassy dan Paman Aryan saja tinggal di paviliun timur.

Mereka sesekali menginap di paviliun utara ketika tidak sedang ke luar negeri.

Dan Oma-Opa?

Mereka di paviliun paling belakang, dekat kebun anggur yang mereka rawat sendiri. Dua orang tua yang lebih memilih ketenangan, tetapi ironisnya tetap mengawasi keluarga besar seperti jenderal pensiunan.

Reani menarik kursi lali duduk, dan meremas ujung bajunya.

Papa—yang sejak tadi diam seperti patung singa—akhirnya membuka suara.

“Reani,” katanya pelan, tapi suaranya mengisi seluruh ruangan, “ada banyak hal yang harus kita bicarakan.”

Reani menelan ludah, perlahan mengangkat kepala.

Di bawah tatapan seluruh keluarga Wijaya…

ia merasa seperti terdakwa utama di persidangan kerajaan.

Padahal dirinya baru bangun dua puluh menit yang lalu.

bersambung......

1
Noor hidayati
wah saingan juna ga kaleng kaleng
Noor hidayati
ayahnya juna tinggal diluar kota kan,waktu ayahnya meninggal juna balik kampung,ibunya juna itu tinggal dikampung juga atau dikota sama dengan juna,ibunya juna kok bisa ikut campur tentang perusahaan dan gayanya bak sosialita,aku kira ibunya juna tinggal dikampung dan hidup bersahaja
drpiupou: balik Lampung bukan kampung beneran kak, maksudnya kita kecil gitu.
ibunya Juna itu sok kaya kak 🤣
total 1 replies
Noor hidayati
mereka berdua,juna dan renata belum mendapatkan syok terapi,mungkin kalau juna sudah tahu reani anak konglomerat dia akan berbalik mengejar reani dan meninggalkan renata
drpiupou: bener kak
total 1 replies
Noor hidayati
lanjuuuuuuuut
Aulia
rekomended
drpiupou
🌹🕊️🕊️👍👍👍👍
Noor hidayati
apa rambut yang sudah disanggul bisa disibak kan thor🙏🙏
drpiupou: makasih reader, udah diperbaiki/Smile/
total 2 replies
Noor hidayati
juna berarti ga kenal keluarga reani
drpiupou: bener kak, nanti akan ada di eps selanjutnya.
total 2 replies
Noor hidayati
definisi orang tidak tahu diri banget,ditolong malah menggigit orang yang menolongnya,juna dan renata siap siap saja kehancuran sudah didepan mata
Noor hidayati
lanjuuuuuuut
Noor hidayati
kok belum up juga
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!