DALAM PROSES REVISI
"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Akhir dari Raina
Suasana kantor cabang Nugroho Group di New York sore itu tenang. Bram duduk di balik meja kerjanya, memandangi layar laptop yang menampilkan laporan proyek terbaru. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana. Matanya sesekali melirik ponsel yang tergeletak di samping meja. Layar ponsel itu berkedip sesaat, menunjukkan nama yang sudah tidak asing lagi: Raina.
Panggilan keempat hari ini. Bram hanya menatapnya dingin, tanpa ada niatan sedikit pun untuk menjawab. Ia tahu apa yang diinginkan wanita itu. Sejak kasus pencemaran nama baik yang dilakukan Raina terhadap Cassie dibawa ke jalur hukum, Raina terus mencoba menghubungi Bram, wanita itu memohon, menangis, berdalih bahwa ia tidak berniat menghancurkan kehidupan siapa pun.
Namun Bram tidak bisa melupakan apa yang sudah terjadi. Bagaimana fitnah Raina disebar ke berbagai media, bagaimana reputasi Cassie hancur, dan bagaimana semua itu berujung pada keputusan Cassie untuk pergi dari Jakarta dan menjauh dari semuanya. Dari dirinya.
Ia menarik napas panjang dan menekan tombol decline. Ponsel itu berhenti berdering.
Di sisi lain, Raina duduk di ruang tahanan sementara. Wajahnya pucat, rambutnya tergerai tak terurus, dan matanya sembab. Ia memandangi layar ponselnya dengan putus asa. Pesan-pesan yang ia kirim tidak pernah dibaca. Rekaman suara yang ia kirim hanya centang satu. Ia tahu, Bram benar-benar memutus semua hubungan dengannya.
Ingin menemui Bram, tidak mungkin dia lakukan hal tersebut karena pria itu sedang berada di Amerika. Raina merutuki nasibnya yang tidak beruntung. Bram secepat itu melupakan dirinya dan beralih pada Cassie.
“Bram... tolong dengar aku. Aku nggak punya siapa-siapa lagi...” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri.
Pengacaranya masuk, membawa selembar surat panggilan sidang. “Sidang perdana akan dimulai minggu depan. Kau harus bersiap, Raina.”
“Bram akan datang, kan? Aku ingin bicara dengannya...”
Sang pengacara hanya menatapnya datar. “Aku tidak yakin dia akan muncul di pengadilan. Lagipula, kamu tidak bisa berharap simpati darinya. Semua bukti merugikanmu.”
Raina terdiam. Pundaknya gemetar. Dia tidak pernah membayangkan hidupnya akan berakhir seperti ini.
***
Sementara itu, di apartemen Cassie di kawasan Upper West Side, perempuan itu berdiri di depan cermin besar. Tangannya mengelus lembut perutnya yang mulai membulat. Kandungannya telah memasuki usia lima bulan. Ia bisa merasakan gerakan kecil dari dalam tubuhnya. Sebuah kehidupan baru yang ia jaga sendiri, jauh dari semua keramaian dan tekanan.
Terdengar ketukan di pintu. Cassie perlahan mendekati pintu dan membukanya. Dibanding tinggal bersama Tante Lydia, dia memilih untuk menyewa sebuah apartemen. Bram sering kali mengunjungi Cassie karena dirinya menempati unit di sebelah apartemen Cassie.
“Masuk saja,” ucap Cassie.
Pintu terbuka, dan Bram muncul dengan wajah lelah namun hangat. Ia membawa kantong belanjaan dan satu buket bunga segar. Pria itu sering kali mengunjungi Cassie, keduanya memiliki kesempakatan tanpa kata untuk kembali bersama.
“Aku bawa rosemary segar dan lemon. Kamu bilang kemarin ingin makan sup ayam, kan?”
Cassie tersenyum tipis. “Masih ingat aja.”
Bram berjalan ke dapur, mulai menyiapkan bahan-bahan masakan. Cassie memperhatikannya dari kejauhan. Selama beberapa minggu terakhir, Bram selalu datang setiap akhir pekan, membantunya belanja, memasak, dan bahkan menemani kontrol kehamilan. Tapi Cassie belum memberikan hatinya kembali. Tidak sepenuhnya.
“Aku heran,” ucap Cassie tiba-tiba. “Kenapa kamu masih di sini?”
Bram berhenti memotong bawang, lalu menoleh. “Karena kamu penting buatku, Cass. Bukan karena anak ini, bukan karena rasa bersalah. Tapi karena aku masih mencintaimu.”
Cassie mengalihkan pandangannya. Ada banyak luka yang belum sembuh. Tapi hatinya juga tahu—Bram yang berdiri di hadapannya kini, adalah pria yang berbeda.
Keesokan harinya, Cassie mengunjungi dokter kandungan untuk pemeriksaan rutin. Bram ikut, duduk di sebelahnya sambil menggenggam tangannya. Saat layar USG memperlihatkan detak jantung si kecil, Cassie menoleh pada Bram.
“Kamu tahu? Waktu kehamilan pertama kita dulu, kamu nggak pernah ikut begini...”
Wajah Bram menegang. “Aku menyesal, Cass. Aku melewatkan terlalu banyak hal.”
Setelah pemeriksaan selesai, mereka berjalan menyusuri trotoar kota. Bram tampak ragu sebelum akhirnya berkata, “Kalau kamu mau, kita bisa kembali ke Jakarta setelah bayi ini lahir. Kita bisa mulai dari awal.”
Cassie menggeleng pelan. “Aku nyaman di sini. Untuk saat ini... aku ingin tetap di New York.”
Bram tidak memaksanya. Ia hanya mengangguk dan menggenggam tangan Cassie lebih erat. Tidak ingin memaksanya kembali.
***
Beberapa hari kemudian, berita mengenai sidang Raina mulai tersebar di media. Publik mengetahui bahwa semua fitnah terhadap Cassie adalah bohong belaka. Raina kehilangan simpati. Bahkan keluarganya mulai menjaga jarak. Satu-satunya yang masih bertahan hanyalah ibunya, Rini.
Rini bersikeras untuk menghubungi Bram. Ia memohon agar kasus itu dicabut. Tidak ingin sesuatu terjadi pada dirinya.
“Raina hanya terobsesi, Nak. Dia masih mencintaimu. Dia... dia butuh bantuan.”
Bram menatap wanita paruh baya itu dengan tajam. “Maaf, Tante. Tapi saya tidak bisa lagi membiarkan kebohongan melukai Cassie. Dia sudah cukup menderita.”
Rini menangis, tapi Bram tak bergeming. Ia sudah memilih untuk melindungi satu-satunya hal yang paling berharga dalam hidupnya. Cassie. Dan anak mereka.
Hancur sudah hidup Raina. Dia tidak terima dengan keputusan hakim yang membuatnya mendekam di penjara.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Dan juga Bram sekarang sudah bisa bersikap tegas sama Raina & emaknya, setelah dia menyadari kesalahannya dan gak mudah menggapai hati cassie
Dan kamu Bram memang harus sabar dan menunggu bumil untuk membuka hati lagi?? 🤔😇😇💪💪💪
semoga bumil kali ini bisa menjalani kehamilannya dengan happy dan kerjain Bram dengan ngidammu yg menyusahkan ya calon dekbay?? 🤔😇😇
Selamat menikmati buah kebodohanmu? dan selamat berjuang menaklukan bumil yg sensitif karena hormonal dan rasa kecewanya padamu??? 🤔😇😇😇