Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.
Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.
Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 PUSTAKA JIWA
Pustaka Jiwa
Langit Aedhira mendung, dan awan-awan kelabu menggantung berat di atas kepala Lyra, Kaelen, dan Arven. Tapi kali ini bukan hujan yang bikin suasana berat—melainkan tempat yang akan mereka tuju: Sanctum Memoriel.
Bukan cuma perpustakaan kuno biasa. Tempat ini adalah jantung dari seluruh sejarah Aedhira. Setiap kenangan, peristiwa, bahkan perasaan terdalam dari leluhur bangsa ini tersimpan di sana. Dan lebih parahnya… tempat itu sekarang sudah disusupi bayangan Raja Kelam.
“Mereka nyebutnya pustaka, tapi tempat itu lebih mirip labirin hidup,” jelas Arven sambil menarik tudung jubahnya. “Sekali masuk, ingatan lo bisa jadi tiket masuk… atau justru jadi kunci buat lo terjebak selamanya.”
“Kayaknya nih dunia punya obsesi sama bikin gue hilang ingatan deh,” kata Lyra sambil menarik napas panjang.
Kaelen tertawa kecil. “Minimal lo nggak disuruh jawab soal-soal matematika sambil lupa nama sendiri.”
Lyra nyengir. “Kecuali kalau Sanctum ini berubah jadi sekolah.”
Sayangnya, lelucon mereka harus berhenti begitu mereka sampai di depan gerbang Sanctum Memoriel.
Bentuknya... nggak kayak bangunan biasa. Dari luar, tempat itu tampak seperti akar pohon raksasa yang membelit batu kristal yang menyala samar. Aura magis memancar dari setiap celahnya, dan suara-suara aneh—mirip bisikan dan lagu-lagu kuno—mengalun dari dalam.
“Kalau kalian mulai dengar suara-suara,” kata Arven, “abaikan. Itu bukan suara teman kalian. Itu suara dari masa lalu.”
Kaelen mengangguk, tapi Lyra justru terlihat makin penasaran.
“Gue penasaran sih, kayak gimana rasanya denger kenangan orang lain.”
Arven menatapnya serius. “Jangan terlalu larut. Sekali kamu terhanyut, Sanctum bisa menyerapmu. Selamanya.”
Dengan jantung berdegup cepat, mereka melangkah masuk.
Di dalam, cahaya aneh mengambang di udara. Seperti kunang-kunang tapi menyala biru muda. Dinding-dindingnya penuh ukiran aneh yang bergerak—ya, bergerak. Ukiran itu memutar ulang kejadian-kejadian sejarah, seperti hologram dari zaman kuno.
Lyra hampir jatuh saking terpukaunya. “Gila. Ini kayak museum hidup campur bioskop 5D.”
Kaelen mengangguk. “Dan semuanya nyambung ke satu inti di tengah bangunan: Inti Memoria.”
“Itu yang Raja Kelam incar?” tanya Lyra.
“Bukan cuma incar,” jawab Arven, suaranya menegang. “Dia sudah masuk duluan.”
Mereka bertiga langsung mempercepat langkah. Dan saat mereka mendekat ke pusat Sanctum, jalan mulai berubah. Lantai jadi seperti kaca, memantulkan kenangan-kenangan dari dalam diri mereka sendiri.
Lyra melihat bayangan masa kecilnya—berlarian di antara ladang gandum, memeluk ayahnya yang penuh tawa.
Tapi tiba-tiba bayangan itu berubah. Ayahnya jatuh. Berdarah. Dan suara tuduhan yang menghantui mulai menggaung lagi.
“Pengkhianat.”
“Pencuri sihir.”
“Bawa kehancuran.”
“LYRA!”
Suara Kaelen membuyarkan semuanya. Ia menarik Lyra dari lantai itu sebelum ia tenggelam ke dalam ilusi mematikan.
“Gue bilang jangan terlalu larut!” teriak Arven. “Sanctum menguji ketahanan batin!”
Lyra mengangguk, wajahnya pucat. “Gue gak nyangka... kenangan bisa segitu kuatnya.”
“Di tempat ini,” kata Arven pelan, “kenangan bisa lebih tajam dari pedang.”
Mereka akhirnya tiba di ruang tengah. Sebuah kubah raksasa dari kristal menjulang tinggi, dan di tengahnya berdiri… sosok berjubah hitam. Di belakangnya, cahaya ungu gelap melingkar—Inti Memoria, jantung dari seluruh pustaka ini.
Raja Kelam menoleh. Senyum sinis muncul di wajahnya.
“Ah. Pewaris kecil akhirnya tiba.”
Dan pertempuran yang akan mengubah seluruh sejarah Aedhira pun dimulai.
Cahaya ungu dari Inti Memoria berdenyut seperti jantung raksasa. Lyra bisa merasakannya—getarannya merambat sampai ke tulang, seolah-olah memanggil semua luka dan keraguan terdalamnya untuk keluar. Dan di depannya, berdiri musuh yang sudah muncul dalam bisikan, mimpi buruk, dan bayangan setiap orang Aedhira: Raja Kelam.
Sosok itu tampak lebih nyata dari yang dibayangkan Lyra. Tinggi, dengan jubah hitam yang bergerak seolah hidup, dan mata merah yang bersinar seperti bara. Tapi yang membuat Lyra merinding bukan penampilannya, melainkan aura ketenangan jahat yang menguar darinya. Kayak orang yang tahu dia udah menang—padahal bahkan perangnya belum dimulai.
“Wajahmu...” Raja Kelam mendekat, suaranya berat, dalam, tapi anehnya... hangat. “Seperti bayangannya. Seperti dia.”
Lyra menegang. “Dia siapa?”
“Ah... kau belum tahu, ya?” Raja Kelam menyeringai. “Lucia Caellum. Sang penghianat cahaya. Ibunda tercintamu.”
Dunia Lyra seperti berhenti sejenak. Nama itu... “Itu—bohong!”
“Tidak. Tapi jangan khawatir, anakku,” lanjutnya dengan nada seolah-olah mereka sedang ngobrol sambil minum teh sore. “Kau akan menemukan semua jawabannya… di sini.”
Ia mengangkat tangannya, dan Inti Memoria langsung meledak cahaya. Dari kristal ungu itu, muncul pusaran-pusaran kenangan. Ratusan. Ribuan. Semuanya beterbangan seperti kupu-kupu neraka, mengitari Lyra, Kaelen, dan Arven.
“LYRA, TUTUP MATA LO!” teriak Kaelen.
Tapi terlambat. Salah satu kenangan menyentuh Lyra—dan dia langsung terseret.
Lyra berdiri di padang luas, dikelilingi kabut. Seorang wanita berdiri di sana, rambut peraknya menjuntai lembut, dan di matanya ada kesedihan yang menua.
“Lyra...” bisiknya.
“...Ibu?”
Wanita itu tersenyum sedih. “Waktu kita tak banyak. Dengarkan aku. Sang Raja akan memutarbalikkan segalanya. Tapi kamu—kamu adalah kunci dari keseimbangan. Kamu... dan dia.”
“Dia siapa?”
Tapi kabut mulai menelan semuanya. Suara wanita itu memudar.
“Cari Lios... jaga dia... dan ingat: kepercayaan adalah pedang bermata dua...”
“LYRA!” Kaelen menarik tubuh Lyra dari lingkaran kenangan. Gadis itu jatuh berlutut, tubuhnya gemetar.
“Gue... gue ngeliat dia... nyokap gue,” bisiknya. “Dia tahu tentang Raja Kelam. Tentang semuanya.”
“Tentu saja dia tahu,” gumam Arven, matanya tajam. “Dia salah satu pendiri Aedhira.”
Raja Kelam mengangkat tangan lagi. Kali ini, bayangan-bayangan kenangan menjelma jadi sosok nyata: prajurit-prajurit kelam, makhluk berkepala serigala, dan bahkan salinan dari orang-orang terdekat Lyra—termasuk... Kaelen?
“Eh... itu gue?” Kaelen menatap ‘versi gelap’-nya yang mendekat sambil menghunus pedang. “Okay. Gue selalu penasaran gimana rasanya nyebelin.”
“Fokus, Kaelen!” Arven menghunus dua pedangnya. “Mereka cuma ilusi… tapi bisa bunuh kita beneran!”
Pertarungan pun pecah. Kilatan sihir dan suara denting senjata memenuhi udara. Lyra melompat menghindari serangan, tangannya terbakar cahaya biru—kemampuan yang ia sendiri belum sepenuhnya pahami, tapi mengalir begitu saja seperti insting.
Sementara itu, Kaelen bertarung melawan bayangannya sendiri—literally.
“Gue nyebelin juga, ya?” katanya sambil memukul versi gelapnya dengan gagang pedang.
“Kurang dari yang asli,” jawab Arven ketus sambil menebas dua makhluk bayangan sekaligus.
Lyra akhirnya sampai ke Inti Memoria, yang mulai retak di bagian tengah. Jika dibiarkan, tempat ini bisa runtuh—dan seluruh sejarah Aedhira ikut hancur.
Ia menatap Raja Kelam. “Apa yang lo cari sebenernya?”
“Bukan apa,” jawabnya. “Tapi siapa. Dan jawabannya... ada di dalam dirimu.”
Ia melesat maju, dan duel sihir pun terjadi—kilatan energi, percikan petir, dan semburan api membelah ruangan.
Tapi di tengah itu semua, Lyra menemukan sesuatu yang lebih kuat dari sihir: kenangan. Bukan hanya miliknya, tapi milik mereka semua. Saat dia menyentuh Inti Memoria, kenangan yang benar mengalir—tentang ibunya, tentang pengkhianatan palsu, dan tentang Lios, sosok yang belum pernah ia temui, tapi terasa... dekat.
Dengan tangisan dan teriakan, Lyra melepaskan seluruh energi yang ia miliki. Inti Memoria memancarkan cahaya besar, menelan seluruh ruangan.
Dan ketika semuanya kembali tenang... Raja Kelam sudah tidak ada.
Tapi bukan berarti semuanya selesai.
Lyra berdiri, napasnya berat. “Ini baru permulaan.”
Kaelen menepuk pundaknya. “Welcome to the rebellion, Princess.”
Arven hanya mendengus. “Kalau kita selamatin dunia, gue mau liburan seminggu. Di dunia normal.”
Mereka bertiga keluar dari Sanctum Memoriel yang mulai runtuh.
Dan entah di mana, di sebuah hutan yang sangat jauh... seorang anak laki-laki bermata emas tiba-tiba membuka matanya.
Langit Aedhira sore itu berubah kelam, seakan baru saja menyaksikan sebuah kebenaran yang terlalu berat untuk dicerna.
Lyra berdiri di tepi jurang yang menghadap reruntuhan Sanctum Memoriel. Jubahnya berdebu, tangannya bergetar, tapi matanya menyala seperti bintang yang baru lahir. Ia bukan lagi Lyra yang kabur dari desanya karena fitnah. Ia bukan lagi gadis bingung yang tanpa sengaja membuka gerbang ke dunia asing.
Dia sekarang… seorang pewaris. Seorang ancaman bagi Raja Kelam. Dan mungkin—semoga tidak berlebihan—harapan terakhir bagi Aedhira.
“Lo beneran nggak mau istirahat bentar, Ly?” tanya Kaelen sambil duduk di atas batu, kakinya menjuntai kayak anak TK nunggu dijemput. “Muka lo udah kayak disetrum tiga kali.”
“Gue nggak bisa,” jawab Lyra pelan. “Semua ini… kejadian barusan… kenangan itu… Lios.”
Arven menatapnya tajam. “Nama itu muncul lagi.”
“Dia disebut Ibu sebelum kabut narik dia,” kata Lyra sambil menggigit bibir. “Dan Raja Kelam juga… nyebut ‘dia’ berkali-kali.”
Kaelen mengangkat alis. “Kita belum tau siapa dia, tapi semua orang di Aedhira kayaknya obsesif banget sama orang itu. Kayak... fans garis keras.”
“Yang jelas,” sela Arven, “jika Raja Kelam mencarinya, kita harus menemukannya duluan.”
Sementara itu, di bagian lain Aedhira—lebih tepatnya, di desa tersembunyi bernama Nireya—seorang anak laki-laki duduk termenung di bawah pohon tua, memandang langit yang mulai gelap.
Rambut cokelat gelapnya kusut, tubuhnya kurus, tapi mata emasnya… mencolok. Terlalu mencolok untuk penduduk biasa. Namanya Lios. Dan dia, sejauh ini, hanya tahu bahwa setiap kali ia tidur, mimpi-mimpinya dipenuhi kobaran api, cahaya, dan suara wanita asing yang memanggilnya “anak”.
“Lios!” panggil seorang wanita tua dari balik jendela. “Makan malam! Sebelum ayam kita yang makan kamu!”
Lios bangkit pelan, tapi sebelum ia kembali ke rumah, ia menoleh ke langit satu kali lagi. Dadanya terasa aneh. Seperti ada seseorang yang… memanggilnya.
Dan di tempat jauh, Lyra juga merasakan hal yang sama.
“Jadi… rencana kita apa sekarang?” tanya Kaelen sambil ngelus pedangnya yang mulai berkarat sedikit. “Karena jujur, plan terakhir kita adalah ‘masuk pustaka, nyalain cahaya, dan berharap nggak mati.’”
Arven menarik peta dari dalam mantelnya dan membuka gulungan besar itu. “Kita cari Lios. Berdasarkan petunjuk di kenangan, dia mungkin berada di Nireya.”
Lyra mendekat, matanya menyipit. “Perjalanan ke sana berapa lama?”
“Tergantung… kalau kita lewat jalur gunung, bisa dua minggu. Tapi ada rute cepat lewat Lembah Rintik,” ujar Arven.
“Lembah Rintik?” Kaelen langsung nyengir. “Tempat romantis itu? Yang katanya ada peri bunga, air terjun berkilauan, dan…”
“...raksasa berkepala tiga yang doyan ngemil manusia,” potong Arven. “Ya. Itu tempatnya.”
Kaelen langsung mengangkat tangan. “Gue cabut pilihan gue. Jalur gunung kedengarannya lebih… nggak fatal.”
“Enggak,” kata Lyra mantap. “Kita ke Lembah Rintik. Kita nggak punya waktu. Dan gue... harus ketemu dia. Lios.”
Mereka bertiga saling bertatapan. Untuk pertama kalinya sejak semua kekacauan itu dimulai, ada rasa yang menyatukan mereka bertiga: kepercayaan.
Arven mengangguk. “Baiklah. Kita ke lembah.”
Malam itu, mereka berkemas dalam diam. Kaelen mencoba pura-pura sibuk, Arven berdiri seperti bayangan, dan Lyra duduk menatap api unggun yang perlahan mengecil. Di tangannya, tergenggam pecahan kecil dari Inti Memoria. Benda itu masih berdenyut pelan, seakan punya nyawa sendiri.
“Gue takut,” bisiknya.
Kaelen duduk di sampingnya. “Sama. Tapi kita jalan bareng. Jadi... kalaupun takut, minimal kita bisa saling lempar jokes sambil lari.”
Lyra tertawa pelan. “Lo itu ngelucu karena berani atau karena takut?”
Kaelen nyengir. “Campur. Kayak teh tarik. Nggak tahu dominannya apa, tapi enak dijalanin.”
Arven bergabung tak lama kemudian, hanya duduk tanpa banyak kata. Tapi keberadaannya cukup menenangkan. Mereka bertiga menatap langit malam yang perlahan dipenuhi bintang.
Dan di antara bintang-bintang itu, sebuah cahaya jatuh cepat… bintang jatuh?
Bukan.
Sesuatu sedang datang ke arah mereka.
Sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih... lapar.
tapi kau di harapkan di dunia edheira