NovelToon NovelToon
Bola Kuning

Bola Kuning

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:93
Nilai: 5
Nama Author: Paffpel

Kisah tentang para remaja yang membawa luka masing-masing.
Mereka bergerak dan berubah seperti bola kuning, bisa menjadi hijau, menuju kebaikan, atau merah, menuju arah yang lebih gelap.
Mungkin inilah perjalanan mencari jati diri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Paffpel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Pagi itu, Juan keluar dari rumahnya. Dia menatap jalan yang biasanya dilewati dia dan Arpa. Tapi sejauh manapun matanya melihat, dia tidak melihat Arpa, dia jalan dengan pelan dan bahu yang turun, sesekali dia ngelirik rumah Arpa.

Dan Arpa, ternyata dia berangkat lebih pagi. Dia benar-benar berusaha menghindari Juan.

Pak Budi menyapa Arpa sambil tersenyum. Tapi Arpa hanya membalas dengan tatapan kosong dan pergi begitu saja.

Di kelasnya. Arpa ngeliat sekeliling kelas. Kelasnya masih sangat sepi. Tidak ada orang lain selain Arpa.

Arpa melangkah menuju kursinya. Dia menarik kursinya dengan pelan. Tapi tiba-tiba dia teringat jika dia harus benar-benar menjauh dari Juan dan Rian. Dia mendorong kembali kursinya dan melangkah ke ujung kelas.

Dia menatap sebentar kursi di ujung kelas sambil mengangguk pelan. “Ya… ini kursi yang cocok buat gua,” gumamnya.

Perlahan-lahan kelas mulai terisi dengan murid-murid. Sampai datanglah Kela dan Susi. Kela ngelirik Arpa yang lagi duduk di ujung kelas. “Woi, parasit kesepian, ngapain lu di situ? Ya gapapa sih, itu tempat yang cocok buat lu, haha,” Kela senyum miring.

Arpa cuman diam, tidak bergerak dan pandangannya lurus. Alis Kela mengkerut tapi nggak rapat dan kepala miring sedikit. Dia mengambil kertas dan meremas kertas itu hingga menjadi bola kertas, dan melempar kertas itu ke arah Arpa sambil tersenyum miring. Tapi Arpa tidak merespon dan tetap diam.

Kela meremas kertas lagi dan melempar lagi. Dia mengulangi beberapa kali hingga ada murid lain yang melihat Kela melempar kertas ke Arpa. Murid itu ikutan ngelempar bola kertas ke Arpa sambil ketawa-ketawa. Pelan-pelan semakin banyak yang melihat dan ikut melempar. Hingga setengah murid di kelas melempari Arpa dengan bola kertas. Tapi setengah murid lagi hanya diam. Ada yang tidak peduli, ada yang hanya tertawa, dan ada yang hanya memperhatikan mereka.

Mutia meremas roknya sambil menundukkan kepalanya. Dia menatap lembut ke arah Arpa dan bibirnya menipis. Dia ingin menghentikan semuanya, tapi Talita ikut melempar bola kertas. Dia benar-benar tidak bisa menentang Talita.

“Arpa… Maaf ya, padahal aku ketua kelas, tapi nggak bisa bantu, maaf ya,” kata Mutia di dalam hatinya. Dia menunduk dan sesekali ngeliat Arpa.

Pintu kelas terbuka. Itu Juan dan Rian. Mutia ngelirik Juan dan Rian. Bahu Mutia turun perlahan dan napasnya keluar panjang. “Syukurlah kalian berdua dateng, ayo, kalian pasti bisa bantu Arpa,” kata Mutia di dalam hati, dia menggenggam tangannya.

Juan dan Rian ngelirik Arpa yang ada di ujung kelas. Mata mereka berdua melunak dan alisnya turun sedikit. Bibir mereka menekan satu sama lain, tipis.

Mereka berdua berjalan ke kursinya masing-masing sambil memalingkan pandangannya.

Senyum tipis Mutia langsung hilang. Alisnya naik sedikit dan dia berkedip cepat. “Hah? Kenapa kalian cuman masang muka kaya gitu, terus mengabaikan Arpa?” kata Mutia di dalam hatinya.

Guru pun membuka pintu dan masuk ke kelas. Mereka yang ngeliat guru masuk langsung berhenti melempar dan langsung duduk.

Arpa tetap diam dengan muka yang datar. Juan dan Rian sesekali ngelirik Arpa.

“Yan… kita setiap hari harus begini? Ngeliatin Arpa di gituin?” tanya Juan ke Rian.

Rian menundukkan kepalanya. “Gua… enggak tau, Jun.”

Waktu berlalu begitu saja, bel istirahat berbunyi dan murid-murid menyebar ke seluruh sekolah. Ada yang makan di kantin, ada yang main bola, dan ada yang cuman ngobrol di kelas.

Arpa, dia hanya diam, sesekali dia bergerak tapi sangat kecil dan jarang. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.

Juan dan Rian. Mereka ke kantin dan kadang keliling sekolah tanpa tujuan. Tapi yang pasti, semangat mereka memudar.

Mutia terus mengamati mereka bertiga, Arpa, Juan dan Rian. Mutia sesekali melirik Arpa dan kadang melirik Juan dan Rian. “Kalian kenapa sih? Kenapa hubungan kalian meregang?” pikir Mutia. Alisnya mengkerut ke tengah dan kepalanya sedikit condong ke depan.

Tidak terasa tiba-tiba bel pulang berbunyi. kali ini Arpa merapikan alat tulisnya dan tasnya, lalu terdiam. Dia diam hingga kelas kosong dan tersisa Mutia yang sedang belajar.

Arpa pun berdiri dan melangkah pergi. Mendengar suara, kepala Mutia terangkat. “Loh? Masih ada orang?” tanyanya dalam hati.

Arpa pun melewatinya, membuka pintu dan pergi. Mutia ngeliat muka Arpa yang bener-bener lelah. Mutia reflek berdiri tanpa alasan. Dia buru-buru merapikan alat tulisnya dan ngejar Arpa.

Mutia ngejar-ngejar Arpa tanpa tau alasannya. Perlahan-lahan dia berhenti lari dan jalan. Dia ngos-ngosan. “Kenapa aku malah ngejar Arpa?” tanyanya dalam hati.

Mutia diam bentar sambil ngelirik sekelilingnya. “Hmm, ya udah deh, aku ikutin aja sekalian,” Mutia ngikutin Arpa pelan-pelan.

Arpa pun sampai di Taman Semut. Dia ngelangkah masuk Taman Semut dan duduk di ayunan.

Arpa cuman bengong sambil natap tanah dan nggak bergerak sama sekali. Mutia yang lagi ngumpet, sesekali ngelirik Arpa.

Mata Mutia mengerucut sedikit dan bibirnya membentuk senyum kecil. Dia pelan-pelan keluar dari persembunyian.

Dagu Mutia terangkat sedikit dan punggungnya tegak. Dia mendekati Arpa.

“Hai, Arpa,” Mutia melambaikan tangannya.

Arpa ngelirik Mutia dan memalingkan pandangannya. “Kenapa? Mau ngehina?” kata Arpa dengan nada yang datar.

Mutia menekan pelan bibirnya. Dia duduk di ayunan samping Arpa. “Nggak… aku cuman mau minta maaf, padahal aku ketua kelas, tapi nggak bisa ngebantu kamu.”

Mutia natap langit sambil menggoyangkan ayunannya. “Aku punya temen masa kecil, dia dulu baik dan perhatian, tapi semenjak kita SMP, dia berubah, dia tertarik sama Kela dan Susi, dia menjauh dari ku.”

Mutia menatap tanah sambil senyum tapi matanya nggak ikut senyum. “Tapi aku nggak nyerah, aku terus-menerus ngejar dia, karena dia berharga bagiku, dia Talita. Tapi karena itu, aku juga nggak bisa bantu kamu, karena Talita bagian dari Kela dan Susi, sekali lagi, maaf ya, Arpa.”

Pandangan Arpa lurus dan kosong dan mata yang setengah terbuka. “Itu bagus. Pertahanin aja pertemanan lu, hina aja gua demi temen lu, gapapa kok.” Arpa berdiri dan ngelangkah pergi pelan-pelan.

Mutia ngeliat mata Arpa yang sayu. Dia membuka bibirnya dan menekannya. Dia menggenggam erat dadanya dan matanya berkaca-kaca.

Mutia berdiri dan lari ke Arpa. Dia meluk Arpa dari belakang, air matanya keluar lumayan deras. “Maafin aku ya, maaf, maaf, padahal kamu sangat baik, h-hik… hhh,” mulutnya terbuka, berusaha menarik napas tapi tersangkut. Tangannya menggenggam erat baju Arpa.

Arpa nengok belakang dan ngelirik Mutia. “Iya… gapapa kok,” dia cepet-cepet memalingkan mukanya. Karena air matanya mengalir sedikit.

Arpa melepaskan tangan Mutia dari badannya dan langsung lari entah kemana.

Mutia melihat sekilas air mata Arpa yang mengalir sedikit. Dia menunduk sambil menutup mulutnya. Lututnya ingin terjatuh, tapi dia menahannya. Air matanya mengalir lebih deras.

1
HitNRUN
Nguras emosi
tecna kawai :3
Masih nunggu update chapter selanjutnya dengan harap-harap cemas. Update secepatnya ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!