"Berhenti gemetar Ana.. Aku bahkan belum menyentuhmu." Nada suara itu pelan, rendah, dan berbahaya membuat jantung Ana berdebar tak karuan. Pertemuan mereka seharusnya biasa saja, tapi karena seorang bocah kecil bernama Milo semuanya menjadi berubah drastis. Daniel Alvaro, pria misterius yang membuat jantung ana berdebar di tengah kerasnya hidup miliknya. Semakin Ana ingin menjauh, semakin Daniel menariknya masuk.Antara kehangatan Milo, sentuhan Daniel yang mengguncang, dan misteri yang terus menghantui, Ana sadar bahwa mungkin kedatangannya dalam hidup Daniel dan Milo bukanlah kebetulan,melainkan takdir yang sejak awal sudah direncanakan seseorang.
Bagaimana jadinya jika Ana ternyata mempunyai hubungan Darah dengan Milo?
apa yang akan terjadi jika yang sebenarnya Daniel dan Ana seseorang yang terikat janji suci pernikahan di masa lalu?
Siapa sebenarnya ibu dari Milo? apa hubungannya dengan Ana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lolos dari penculik
"Ughhh kepalaku."
Ana terbangun dengan kepala yang berdenyut tajam. Tenggorokannya terasa kering, begitu pula dengan tubuhnya yang menggigil.
Keringat dingin membasahi pelipisnya meski udara pagi masih terasa menusuk ke dalam tulang.
“Kenapa badanku sakit semua…” gumamnya lemah sambil memegangi dahinya.
Ia menyentuh kulitnya, panas. Pantas saja badannya terasa sakit semua.
Jelas ia demam. Mungkin karena kemarin ia sempat kehujanan, stres, dan tidak ada makananan yang masuk sama sekali ke dalam perutnya.
Ana hanya menghela napas panjang, ia memaksakan tubuhnya untuk bangkit.
Meskipun tubuhnya seperti mau roboh, ia tetap harus pergi sekolah. Absen terlalu banyak bisa membatalkan beasiswanya. Dan itu berarti ia tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Mau jadi apa nantinya dia? zaman sekarang sulit sekali mencari pekerjaan.
Dengan langkan gontai ia berjalan menuju kamar mandi, membersihkan dirinya dengan singkat . Dalam waktu 10 menit ia sudah keluar dari kamar mandi dengan seragam yang menempel di tubuhnya.
Ia merapikan seragamnya yang masih lembap, mengambil tas lusuh yang sudah mulai memudar warnanya, lalu keluar dari kontrakan kecil itu.
Angin pagi menusuk tulang seperti pisau kecil. Ana berjalan dengan pelan, memijak trotoar retak, melewati rentetan gang sempit yang menjadi jalur tercepat menuju sekolahnya.
Gang itu sepi. Beberapa rumah bahkan masih gelap, hanya suara ayam dan angin yang terdengar.
"Ayahh bagaimana ini. Hikss... Hikss.. Milo takut."
Milo masih terisak ketika Daniel menggendongnya sambil berjalan cepat menuju mobil. Tubuh kecil itu menempel erat di dada ayahnya.
“Ayah… orang-orang itu jahat… Mereka...mere--” suaranya bergetar bercampur dengan isak tangis.
Daniel mengusap rambut Milo dengan lembut “Ayah tahu. Kamu aman sekarang. Ada ayah di sini.”
Mereka masuk ke dalam sebuah mobil hitam mewah. Sopir langsung melaju menuju sekolah Milo. Daniel menatap kaca spion, rahangnya mengeras. Kedua tangannya mengepal menahan amarah
Milo, sejak lahir, memang membawa banyak masalah ahh bukan karena kesalahannya. Tapi karena masa lalu Daniel… masa lalu yang belum benar-benar selesai.
"tenang oke sayang." dengan lembut Daniel terus mengusap kepala Milo.
Di depan gerbang sekolah internasional tempat Milo bersekolah, suasana masih ramai. Para orang tua menurunkan anak mereka. Namun baru saja sopir hendak membuka pintu, Daniel tiba-tiba mengangkat tangannya.
“Jangan dulu.”
Dari sisi jalan, sebuah van hitam berhenti melambat. Di belakangnya, dua motor besar menempel. Orang-orang berbadan besar turun. Tatapan mereka tajam, mencari dan menelisik seolah memburu sesuatu.
Daniel langsung menunduk, memeluk Milo lebih erat di pangkuannya.
“Ayah… apa mereka datang lagi?” bisik Milo ketakutan.
“Dengar Milo,” ujar Daniel pelan tetapi tegas. “Kamu turun sekarang. Kamu lari ke dalam sekolah, jangan berhenti. Jangan lihat belakang. Kalau ada apa-apa, panggil Bu Rania, oke!”
Mata Milo melebar. “T-tapi Ayah sendiri?”
Daniel menangkup wajah Milo. “Ayah akan baik-baik saja. Kamu yang harus selamat. Kamu dengar Milo?”
Milo menganggukan kepalanya, air mata terus mengalir membasahi pipinya.
"Ingat kamu harus terus berlari! Mengerti! "
Mobil Van itu menepi. Para pria berbaju gelap dengan tubuh besar mulai bergerak cepat. Daniel tahu tak ada waktu.
Ia membuka pintu dan mendorong Milo pelan.
“Lari, Milo.”
Anak itu berlari sekuat yang ia bisa ke arah gerbang. Tas kecilnya memantul-mantul di punggungnya.
Sayangnya Salah satu dari para pria itu melihat Milo
“hEh! Anak itu lari! Cepat Kejar!”
Daniel keluar dari mobil dan langsung menghadang mereka. “Beraninya kalian menyentuh anak kecil,” geramnya.
"Jika sampai kalian berani menyentuh anakku, maka lihat saja apa yang mampu aku lakukan pada kalian! "
Tiga pria mendekat, siap menghantamnya. Daniel mencengkeram kerah salah satu dari mereka dan menghantamkan siku ke rahangnya. Dua lainnya datang, Daniel menepis tebasan pisau kecil dan menendang perut mereka dengan keras.
Tetapi ia tahu itu takkan cukup. Jumlah mereka lebih banyak. Ia akan kalah jika terus menerus melawan mereka.
“MILO! LARI!” serunya.
Sementara itu Milo berlari menyusuri trotoar, tapi gerbang sekolah sudah ditutup oleh satpam karena sudah telat dari jam masuk sekolah. Ia panik, menoleh ke belakang dua pria mengejarnya.
Tanpa pilihan lain, Milo berlari ke arah gang sempit di samping sekolah.
Nafasnya tersengal.
“Ayah… Ayah…” bibirnya gemetar.
"Tolong aku ayah. " Milo menangis ketakutan, ia terus berlari tanpa tahu kemana ia berjalan.
Di belakang, derap kaki berat semakin dekat.
Milo terus berlari, sampai masuk ke gang-gang kecil yang saling bersambung. Dindingnya lembab, sempit, dan gelap. Ia tak tahu ke mana, ia hanya ingin menjauh dari orang-orang itu.
“Berhenti, bocah!” teriak salah satu pria.
Milo menahan tangis.
Ia memeluk tas kecilnya sambil memaksa kakinya terus melaju.
Ana mengusap hidungnya yang memerah. Pusingnya semakin parah, namun ia tetap memaksakan langkahnya untuk terus maju.
Sesekali ia berdiri sambil memegangi dada, wajahnya masih pucat akibat demam dan tubuhnya terasa begitu lemas.
“TOLONG!!”
Suara anak kecil memecah kesunyian di gang sempit itu.
Ana terperanjat. Ia menghentikan langkahnya. Suara itu datang dari gang di sebelah kanannya gang sempit yang gelap, dan hanya cukup untuk satu orang lewat saja.
“LEPASKAN!! TOLONG.TOLONG...!”
Ana spontan berlari meski tubuhnya Hampir saja limbung.
Saat ia masuk ke dalam gang itu… matanya melebar.
Seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun berlarian sambil menangis, wajahnya penuh ketakutan. Di belakangnya, seorang pria berbadan besar mengejar, wajahnya garang seperti monster dalam mimpi buruk.
“Ayo sini kamu! Jangan kabur!”
"Heyyy bocah.. "
Anak itu tersandung dan jatuh. Pria itu semakin dekat.
"mau lari kemana kamu bocah? " Pria besar itu tertawa mengejek saat lihat Milo.
Ana melangkah dengan cepat menghampiri anak itu, ia tidak berpikir panjang, Tidak peduli pada tubuhnya yang lemah, tidak peduli bahwa ia bisa saja celaka.
“HEI!!” teriak Ana dari ujung gang, suaranya menggema. “Jangan sentuh dia!”
Pria itu menoleh, matanya menyipit. “Ada Urusan apa kamu?!”
Ana mendekat, menahan gemetar tubuhnya. “Dia anak kecil! Kamu nggak lihat dia ketakutan?!”
Pria itu mendengus lalu tertawa terbahak-bahak. “Anak ini bandel. Tugas gue bawa dia pulang. Minggir!”
Anak itu merangkak mundur, lalu memandang Ana dengan mata yang berkaca penuh ketakutan.
“Kak… tolong… tolong..dia orang jahat!” isaknya.
Deg.
Ana tidak tahan melihat tatapan itu. Tatapan yang sangat mirip dirinya ketika masih kecil tatapan penuh rasa takut, kesepian, tak ada siapapun yang melindungi.
“Kalau kamu mau ambil dia…” Ana menegakkan badan meski hampir pingsan, “…lewati aku dulu.”
Pria itu tertawa dengan kasar, matanya memandang Ana dengan remeh “Cewek sakit kayak lo mau sok jagoan hah?! jangankan melindungi bocah itu, melindungi diri sendiri pun aku ragu kamu bisa melakukannya. ”
Ia maju dan mendorong Ana dengan keras.
Ana kehilangan keseimbangan, tubuhnya hampir jatuh menabrak dinding, namun anak kecil itu langsung memeluk pinggang Ana dengan kuat, berusaha menopangnya.
“Kakak!! Hati-hati!”
Ana mengusap kepala anak itu pelan. “Nggak apa… Kakak di sini.”
Pria itu kembali melangkah, wajahnya penuh amarah.
Ana menggertakkan gigi dengan kuat berusaha menghalau rasa sakit di tubuhnya"Jangan sentuh dia."
Pria itu mengulurkan tangan hendak menarik anak itu paksa namun sebelum ia sempat menyentuh…
Ana berteriak sekencang-kencangnya.
“HELP!! ADA PENCULIK!! TOLONG!!”
Suara Ana menggema keras di antara gang-gang rumah warga.
"PENCULIK... TOLONG.. "
Pria itu kaget. “Sialan!”
Ia menoleh kanan-kiri. Warga mulai keluar dari rumahnya masing-masing, mencari sumber suara.
“Beruntung kamu!” geram pria itu pada Ana, lalu kabur menyusuri gang lain sebelum warga datang.
Meninggalkan Ana dan anak kecil itu dalam keheningan
Ana menghela napas panjang, tubuhnya bergetar hebat. Demamnya makin panas. Lututnya terasa lemas.
“Kakak…” Anak itu menatapnya dengan mata besar dan merah. “Kakak… terimakasih.. Kakak udah selamatin aku…”
Ana perlahan berjongkok. “Kamu nggak apa-apa?”
Anak itu menggeleng dan langsung memeluk Ana erat-erat.
“Sakit… aku takut…” suara tangisnya kembali pecah, penuh trauma.
Ana hanya bisa memeluk balik dengan lembut meski tubuhnya sendiri seperti akan tumbang.
Hati kecilnya menjerit kesakitan.
“Udah… Kakak di sini. Kamu aman,” bisik Ana meski suaranya gemetar.
Anak itu mengangkat wajahnya. “Aku… Milo…”
Ana tersenyum samar. “Nama kamu bagus… Aku Ana.”
Milo memegang tangan Ana erat, seolah takut ia akan hilang.
“Kak Ana… tolong jangan tinggalin aku…”
Hati Ana seakan diremas dengan kuat. Ia tahu bagaimana rasanya sendirian tanpa ada siapapun yang menemani.
dari kejauhan di ujung gang yang hampir tidak terlihat sepasang mata gelap memperhatikan mereka.