NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:814
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 30

Bau darah masih mengambang di udara, menyatu dengan aroma tembakau dan kayu tua di dalam ruangan yang remang-remang. Mayat yang baru saja dievakuasi meninggalkan jejak merah di lantai, seakan memberikan peringatan bagi siapa pun yang tersisa.

Amina berdiri di sudut, tubuhnya tetap tegap meski pikirannya berputar cepat. Ia tidak hanya harus memahami situasi, tetapi juga memastikan dirinya tidak ikut terjebak dalam pusaran paranoia yang kini melanda kelompok ini.

Di tengah ruangan, Alexander berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Rahangnya mengeras, dan matanya—biasanya penuh kendali—kini gelap oleh kemarahan yang membara.

"Kita dikhianati," suaranya berat, dingin seperti besi yang baru ditarik dari es. "Dan pengkhianat itu masih ada di antara kita."

Ruangan menjadi hening. Semua orang saling melirik, mencurigai satu sama lain.

Lorenzo menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya datar tetapi matanya waspada. "Kalau memang pengkhianatnya ada di antara kita, kenapa kita masih hidup?"

"Karena ini bukan sekadar pengkhianatan," jawab Michael, matanya menyipit. "Ini peringatan."

Dante menghela napas panjang, lalu bersandar pada dinding. "Kalau begitu, kita harus mencari tahu siapa yang mengirim peringatan itu. Dan lebih penting lagi, untuk siapa?"

Felix, yang sejak tadi diam sambil memutar cincin di jarinya, akhirnya bersuara. "Mungkin yang lebih penting adalah siapa yang akan jadi korban berikutnya."

Amina merasa tenggorokannya mengering. Situasi ini berbahaya. Salah langkah sedikit saja, nyawanya bisa menjadi bagian dari daftar panjang korban.

Ia menatap Alexander, yang kini menoleh ke arahnya. Tatapan pria itu terlalu tajam, seolah sedang membaca pikirannya.

"Amina," suaranya membuat semua orang ikut memandangnya.

Ia menelan ludah. "Ya?"

"Kau terakhir kali berada di ruangan ini sebelum mayat ditemukan. Apa yang kau lihat?"

Sekejap, semua mata di ruangan tertuju padanya. Jantungnya berdegup lebih kencang, tetapi wajahnya tetap tenang.

"Aku hanya lewat," katanya, suaranya stabil. "Aku tidak melihat siapa pun yang mencurigakan."

Alexander mengamati ekspresinya. Detik-detik berlalu, terasa seperti seabad.

Kemudian, ia mengangguk pelan. "Baiklah."

Amina menarik napas dalam-dalam. Untuk saat ini, ia selamat.

Tetapi pertanyaannya, sampai kapan?

Langit malam merayap di atas markas mafia, menyelimuti gedung dengan gelap yang terasa lebih pekat dari biasanya. Udara dingin membawa aroma besi dari darah yang baru saja dibersihkan, seakan mengingatkan semua orang bahwa kematian baru saja mampir.

Amina melangkah perlahan di koridor, ujung jilbabnya berkibar ringan saat ia bergerak mendekati lokasi pembunuhan. Kakinya berhenti di depan pintu yang setengah terbuka. Dari dalam, cahaya lampu redup masih menerangi ruangan yang kini kosong.

Ia menarik napas dalam.

"Baiklah, Amina. Tidak ada yang tahu kau di sini. Kau hanya perlu mencari sesuatu... sesuatu yang mungkin terlewat."

Dengan gerakan hati-hati, ia masuk ke dalam. Bau pembersih menyengat hidungnya, tetapi tidak cukup kuat untuk menghilangkan aroma kematian yang masih membekas.

Ruangan itu tampak normal, terlalu normal. Tidak ada benda yang tergeletak sembarangan, tidak ada barang pecah atau tanda perlawanan. Seolah-olah korban membiarkan dirinya terbunuh tanpa perlawanan.

"Atau dia mengenal pelakunya?"

Amina mulai memeriksa sekitar. Tangannya menyusuri tepian meja, mencari sesuatu yang tidak pada tempatnya. Matanya menangkap bekas gesekan samar di lantai, seolah ada sesuatu yang sebelumnya dipindahkan.

Lalu, ia menemukannya.

Di sudut, tersembunyi di balik rak, ada sebuah simbol kecil yang terukir halus di kayu. Bentuknya sederhana, hampir tak terlihat. Tapi Amina mengenalnya.

Matanya menyipit.

"Aku pernah melihat ini sebelumnya."

Sementara itu, di tempat lain...

Alexander duduk di ruang rapat, jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan tapi berbahaya. Di hadapannya, Lorenzo dan Michael saling bertukar pandang, keduanya tahu bahwa pria itu sedang dalam mood yang sangat buruk.

“Kita harus menemukan siapa yang bertanggung jawab,” suara Alexander dingin, memotong keheningan di ruangan. “Kalau kita membiarkan ini terus berlanjut, markas kita akan berubah jadi ladang pembantaian.”

Michael menghela napas. “Kami sudah mencoba melacak langkah terakhir korban. Tidak ada yang aneh… kecuali satu hal.”

Alexander menoleh. “Apa?”

Lorenzo yang menjawab. “Korban menerima pesan sebelum kematiannya. Seseorang menghubunginya, tapi dia tidak pernah membalas.”

“Hasil pelacakan?”

Michael menelan ludah. “Tidak ada jejak. Seolah-olah pesan itu dikirim oleh bayangan.”

Alexander menyandarkan punggungnya, lalu tertawa kecil. “Lucu.”

Lorenzo menaikkan alis. “Lucu?”

“Ya. Karena aku benci permainan seperti ini.” Tatapannya menggelap. “Dan aku akan memastikan orang yang bermain di belakang layar ini menyesal telah memulainya.”

Kembali ke Amina...

Amina masih berjongkok di sudut ruangan, jemarinya menyentuh ukiran simbol itu. Sebuah firasat buruk menjalar di tengkuknya.

"Simbol ini…"

Dulu, ia pernah melihatnya dalam sebuah kasus yang tidak pernah terpecahkan. Sebuah jaringan yang bekerja diam-diam, membunuh tanpa meninggalkan jejak. Jika mereka ada di balik kejadian ini...

Amina menyentuh simbol itu dengan ujung jarinya. Kayu di bawahnya terasa kasar, ukiran halus itu hampir tak terlihat jika seseorang tidak mencarinya dengan saksama.

"Ini bukan kebetulan."

Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini adalah petunjuk, sebuah pesan tersembunyi yang hanya dimaksudkan bagi mereka yang cukup teliti untuk menemukannya. Tapi pertanyaannya adalah, untuk siapa?

Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat di luar ruangan. Instingnya langsung bekerja. Dengan cepat, Amina berjongkok, meraih sebuah buku tebal dari meja, dan pura-pura membacanya.

Pintu terbuka.

Lorenzo muncul di ambang pintu, matanya menyipit curiga. “Amina?”

Amina mengangkat kepala perlahan, memasang ekspresi serileks mungkin. “Oh, kau.” Ia menutup bukunya, lalu bersandar di meja. “Aku sedang berpikir.”

Lorenzo menyandarkan tubuhnya ke pintu, kedua tangannya bersedekap. “Pikirkan apa?”

Amina melirik sekilas ke arah ukiran di kayu sebelum menatap Lorenzo lagi. “Tentang kasus ini. Sesuatu tidak masuk akal.”

Lorenzo tidak langsung menjawab. Matanya menyapu ruangan dengan cepat, seolah mencari sesuatu yang mencurigakan.

Amina memperhatikannya diam-diam.

"Dia juga mencari sesuatu? Atau... dia mencurigai aku?"

“Markas jadi tegang sejak kejadian itu,” kata Lorenzo akhirnya. “Alexander menambah pengamanan. Semua orang waspada.”

Amina mengangguk pelan. “Dan kau?”

Lorenzo menaikkan satu alis. “Apa?”

“Kau juga lebih waspada?”

Lorenzo tertawa kecil, meski tawanya terdengar datar. “Bukankah kita semua seharusnya begitu?”

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!