Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Geletar-geletar aneh.
Aku menatap heran perubahan wajah Bastian yang mendadak lesu. Apakah dia sakit atau sedang menahan kesal? Karena kepindahanku kah? Atau dia tengah punya masalah dalam pekerjaan? Benakku sibuk bertanya plus penasaran.
"Mas Bastian, sakit ya?" ucapku sekenanya.
"Eh, tidak. Aku baik-baik saja. Kenapa?" manik matanya menatapku lembut.
"Eh, gak ada. Kupikir Mas sakit," sahutku jengah karena tatapan itu. Malu sendiri. Nyesal karena keceplosan bertanya.
Suasana kaku mendadak menyergap diantara kami. Aku seakan mati kutu karena Bastian termasuk cowok pendiam. Kalau ngomong banyak gak tentu jadwalnya.
"Atau Rania yang sakit. Kok mendadak bisu." celetuknya tiba-tiba. Ada senyum disudut bibirnya yang tidak ku mengerti. Menggoda kah atau sedang mengejek. Membuatku salah tingkah.
"Oke, kapan kamu pindah. Biar Mas bantu-bantu." Bastian berdiri. Mas? Aduh, Bastian kenapa sih kok sikapnya membingungkan. Tadi dia gak menyebut aku Mbak lagi, lalu ber aku menyebut dirinya. Sekarang menyebut Mas lagi manggil dirinya.
"Mas, baik-baik saja 'kan?" kali ini aku tidak bisa menahan keherananku lagi.
"What? Ada yang salah?" dia malah balik bertanya. Duh, beneran 'kan? Mas Bastian pasti lagi demam ini. Saking bingungnya aku maju memastikan dugaanku. Aku mendekat dan berjinjit memegangi keningnya. Normal kok? Mas Bastian tidak demam.
Bastian memegangi lenganku, merasa aneh juga dengan prilakuku.
"Kamu kenapa, Ra? Ngapain meraba keningku. Kamu tau tidak apa akibat perbuatanmu?" Mas Bastian menatapku lekat. Memegangi lenganku yang masih menggantung. Senyum itu makin melebar, menampakkan dekik lesung dipipinya. Manis sekali! Wajah yang tampan, tapi sayang dingin sama mahkluk hawa.
"Ih, sikap Mas aneh, kirain lagi demam. Rania cuma mau memastikan," sungutku pura-pura. Menyembunyikan kegugupanku. Selalu saja debaran aneh ini datang setiap kali aku berdekatan dengan Bastian. Beda dengan Arbian, reaksiku datar saja.
"Lho, Mas baik-baik saja kok. Kenapa dituduh lagi demam." Pupil mata itu bergerak lucu keheranan membuatku tidak bisa menahan geli karena lucu. Tiba-tiba aku tak sadar melepaskan tawaku begitu saja. Wajah tampan itu mengernyit kebingungan.
"Maaf ya Mas. Aduh, lucu sekali." aku berusaha menahan sisa tawaku.
"Gak lucu, kamu itu kenapa sih. Tiba-tiba berubah aneh." Protes Bastian makin heran.
"Maaf ya Mas. Justru sikap Mas yang membuatku aneh." Lalu aku menjelaskan beberapa sikapnya. Kenapa aku sampai meraba keningnya. Kini giliran Bastian yang tertawa lepas mendengar penjelasanku.
"Oh, oke, sekarang Mas paham." Senyumnya makin melebar, " sebenarnya Mas sedih karena kamu mau pindah. Rumah ini akan kembali sunyi." ungkapnya.
"Makanya Mas, buruan cari istri jangan mikir soal kerja mulu. Biar rumah ini rame karena celoteh anak-anak, Mas."
"Yah, soal itu sih, susah. Belum nemu yang cocok. Lagian mana ada cewek yang melirik, Mas." Bastian memainkan sebelah matanya.
"Itu karena Mas, pasip banget. Yang dipikirin pekerjaan mulu. Gak ada waktu buat diri sendiri. Mana menutup diri lagi, jelas aja cewek-cewek pada kabur. Padahal, Mas gak jelek-jelek amat. Ganteng malah. Cuma malas tuh dandan." Ceramahku panjang lebar.
Bastian malah tertawa ngakak mendengar kritikanku. Giliran aku yang bengong. Eh, salahku dimana? Apa aku ada salah ngomong.
"Dih, gak seru Mas. Kok malah ngakak sih," aku cemberut.
"Jadi, Mas harus dandan ya, biar dilirik cewek." Bastian makin ngakak membuatku kesal. Eh, Mas Bastian salah paham soal ucapanku. Dipikirnya kali aku sebut dandan itu bersolek kek anak cewek apa.
Maksudku 'kan biar Bastian lebih rapi dikit. Soalnya dia sesukanya aja berpakaian. Mungkin karena bawaan pekerjaan dilapangan. Tapi 'kan gak ada salahnya rapi dikit.
Jin's butut yang bagian lututnya bolong, sama kemeja yang jarang dikancing. Atau emang kancingnya udah pada copot dan dibiarkan lepas saja gitu. Sehingga menonjolkan dada bidangnya dibalik singletnya itu. Belum lagi topi yang sengaja dipakai terbalik. Cambang yang dipelihara dibiarkan gak beraturan.
Urakan!
Apa memang begitu ciri khas pekerja di lapangan, yang sering terpapar dengan matahari. Tapi kok kulitnya gak gosong ya, tetap halus lebih putih malah dari aku yang dibilang orang hitam manis, hehehe.
"Gak gitu juga, Mas. Maksud aku, Mas dikit lebih rapi aja. Trus membuka diri, kenalan sama cewek-cewek. Sesekali nongkrong kek, siapa tau ada yang menarik," ucapku sok pintar ngasih nasehat. Aslinya aku juga cuma punya teman seuprit.
"Oh, kalau gitu kenalin lah Mas sama teman-temannya. Siapa tau ada yang naksir. Juga soal dandan, kamukan suhunya. Gimana kalau bantuin Mas belanja. Milih-milh pakaian mana yang cocok. Terus terang koleksi di lemariku cuma hitungan jari." Bastian menanggapi serius ucapanku.
"Mas serius?" tatapku bengong.
"Lha iyalah. Kalo kamu yang pilih Mas pasti suka. Gimana kalau malam ini. Mumpung belum larut. Soalnya besok Mas mau menghadiri rapat juga."
Eh, aku berasa ditodong diminta menemaninya belanja. Senjata makan tuan. Dengan senang hati aku iyain saja tawarannya itu.
"Cabut yuk!" seruku antusias.
"Kamu gak malu 'kan jalan sama, Mas?" ucapnya lucu.
"Siapa rugi?" sahutku sekenanya. Aku pamit sebentar ke kamar mau salin pakaian. Mengganti rok dengan jins supaya lebih santai.
Saat aku keluar kamar, kulihat Bastian juga sudah bersiap. Dia mengenakan jaket membuat penampilannya lebih macho. Sepertinya dia memang sengaja menyembunyikan pesonanya. Karena sejujurnya meskipun cara berpakainnya agak urakan, tidak mampu menyembunyikan pesonanya.
Kisaran sepuluh menit kami tiba di tempat tujuan. Sebuah toko yang lumayan besar dengan aneka model pakaian.
Setelah pilah pilih, ada kisaran lima stelan jins dan kemeja, celana bermuda, kaos oblong. Semua pilihan diserahkan padaku padahal yang mau make dia. Semua pilihanku katanya sesuai seleranya.
Tak terasa waktu berjalan cepat. Tiga jam ternyata kami mutar-mutar, membuat lelah juga kaki ini. Bastian mengajakku ke mampir di sebuah kafe. Aku iyakan karena sudah haus juga.
"Bentar ya aku kesana dulu." Pamit Bastian masuk ke dalam. Mungkin dia mau ke toilet atau pesan makanan. Suasana kafe lumayan rame. Untunglah kami duduk di pojok jadi agak terlindung. Tapi angin malam yang leluasa masuk membuatku menggigil karena malam mulai larut.
Tidak berapa lama Bastian muncul kembali. Duduk dihadapanku dengan senyum melebar.
"Syukurlah, makanan favoritku masih ada. Biasanya sudah ludes kalau sudah selarut ini."
"Mas pesan apa rupanya." aku penasaran dengan menu yang dia pesan.
"Gak ada yang istimewa. Cuma bihun goreng kok. Tapi dijamin mantul rasanya." Mengacungkan jempolnya. Dalam hati aku tersenyum.
"Pasti enak ya." aku merapatkan kedua lenganku ke sisi tubuhku.
"Dingin ya?" aku mengangguk jujur. Bastian berdiri mendekatiku.
"Pakai ini saja dulu." Dia melepas jaketnya lalu mengenakannya ke tubuhku. Soal bau, ditahankan dulu." Candanya. Padahal jaketnya harum wangi parfum. Entah berapa botol tadi dia semprotkan ke jaket ini. Tubuhku terasa hangat. Dan geletar-geletar aneh itu kembali menjalar. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor